webnovel

SENJA KUNING DI PANTAI JODOH

Mata gadis itu menatap tak berkedip pada lautan yang terhampar di hadapannya. Kuasan senja cakrawala pantai Jodoh Teluk Gusung begitu mempesonanya. Damai, dia rasakan dalam hatinya. Angin bertiup mengibarkan kerudungnya yang dia pakai seadanya. Anak rambutnya menari seakan tak mau kalah mengikuti permainan sang angin. Debur ombak menempur batu-batu karang yang besar-besar terserak di tepi pantai. Gadis itu duduk di salah satu batu karang. Dia sedang menunggu seseorang. Dibelakang sang gadis berdiri kokoh kaki pegunungan Bamega yang rimbun menghijau. Sarat misteri, yang tak bisa dijangkau oleh akal manusia biasa selain gadis itu. Dari arah gunung itu kekasihnya selalu datang dengan senyum yang mengembang. Memenuhi rindu dan mengobarkan bara asmara yang ada dalam jiwa gadis cantik mendekati umur dua puluhan. Gadis itu tersenyum sendirian mengingat setiap pertemuan dengan sang kekasih. Tak hanya sekali dua, bahkan setiap kali dia berhasil menjejakkan kaki di pantai itu, kekasihnya akan datang dengan pelukan hangat dan kabar berita. Tak jarang sang kekasih membawakan makanan yang tak pernah dia tahu apa namanya. Bahkan kadang hanya sekedar sepundut nasi kuning dengan lauk telur atau ikan haruan untuk mereka makan bersama. Di tepi pantai Jodoh Teluk Gusung mereka makan bersama, sambil menikmati mentari pagi atau saat sanja kuning mulai merayunya untuk turun dari rumah kayunya.

Sama seperti saat ini, ketika pantai jinak tak bergelombang pasang. Sanja kuning mengundang rasa melankolis. Dia bertemu kekasihnya saat bermain di pantai. Dijejakkan kakinya yang tanpa alas di pasir pantai yang basah. Ketika ombak menempur pantai, hilanglah jejak kakinya, membuat dia terkikik kegirangan dan dia pun akan melakukannya sekali lagi. Berulang kali dia candai ombak dan buihnya. Sampai akhirnya sepasang kaki milik seseorang berdiri tepat di hadapannya. Di dongakkannya kepalanya, dia melihat sosok laki-laki dengan rambut panjang sebatas telinga, dengan tatapan mata bak elang dengan alis bertaut. Cambang tipisnya membuat laki-laki itu terlihat jantan. Gadis itu belum pernah melihat laki-laki bercelana selutut itu sebelumnya. Menilai dari baju kaos dan hem kotak-kotaknya yang tak berkancing tertiup angin, sepertinya orang berada. Tak mungkin laki-laki itu nelayan lokal yang bau laut dan ikan. Terlalu rapi dan bau parfumnya yang wangi terhembus angin menyapa hidung si gadis. Dia juga bukan laki-laki seperti tipe pemuda kampung yang suka bersemir rambut blonde bergaya ala korea lokal padahal kulitnya cokelat sawo matang. Darimana dan kapan laki-laki itu datang, dia tak tahu. Si gadis polos pun tersenyum menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi.

"Pian yang ngarannya Saniah?" tanya laki-laki itu dengan ramah dalam bahasa Banjar

Si gadis yang bernama Saniah itu mengangkat alisnya. Dia merasa aneh.

"Darimana pian tau ngaran ulun Saniah?" tanya gadis itu.

Laki-laki itu tersenyum sambil menyibak rambutnya yang panjang tertiup angin.

"Nini pian adakah bepadah tentang ulun?" tanya laki-laki itu.

Saniah pun mengernyitkan dahi mengingat sesuatu.

"Apa yo lah? Owh ada pang ulun dipadahi Nini jar ditunggu saja kaina ada ja lakian yang bedatang hari ini, makanya ulun di suruh ke sini," jawab Saniah polos. "Piankah yang ngarannya Anshari?" tanya Saniah lagi.

Laki-laki itu menganggukkan kepala. Mereka saling melempar senyum. Saniah merasa beruntung, apa kata Nini nya benar-benar menjadi kenyataan. Hari itu, di Pantai Jodoh, dia bertemu dengan seseorang yang memiliki benang merah takdir dengan dirinya.

Matahari semakin tak tahan lagi ingin segera masuk ke peraduan, garis merah semakin menambah kemisteriusan lembah gunung Bamega. Seram. Dari arah hutan Anshari muncul lalu berjalan ke arah Saniah.

"Saniah," sapa laki-laki itu sambil berdiri di belakang si Gadis

Saniah pun menoleh, lalu mengulas senyum.

"Sudah lama ulun nunggu pian Kak ae," ucap Saniah.

"Maaflah mun ulun lambat datang. Dah makin gelap harinya. Kuantar bulik ke rumah lah," ajak Anshari.

Saniah menganggukkan kepala lalu turun dari batu karang dengan bantuan Anshari. Laki-laki itu dengan hati-hati memegangi Saniah agar tak jatuh terpeleset. Mereka berdua berjalan menuju ke jalanan kampung yang tak jauh dari bibir pantai. Azan magrib sayup terdengar dari masjid. Saniah dan Anshari berjalan berdua sambil mengobrol. Mereka berpapasan dengan dua orang bapak-bapak yang berjalan menuju masjid. Tatapan mata mereka kasihan pada Saniah, tapi gadis itu tak peduli. Dia memiliki dunianya sendiri bersama sang kekasih yang dijodohkan Nininya.

"Saniah...Saniah...umak eh kasihan banar si aluh" ucap salah seorang bapak yang memakai kopiah putih geleng-geleng kepala.

"Kapan Nininya tobat mendukun leh?" tanya seorang lagi. Yang ditanya hanya mengangkat bahu tak mau tahu. Orang kampung sudah kenal siapa Nininya Saniah. Tak ada yang berani masuk halaman rumahnya walau hanya setapak.

Saniah sudah sampai di depan rumah. Dia harus berpisah dengan Anshari. Kekasihnya tersenyum dan melambaikan tangan. Saniah membalas lambaian tangan Anshari lalu naik tangga masuk ke teras rumah. Nini Saniah sudah berdiri menunggu cucunya di depan pintu rumah kayu bumbungan tinggi. Semak belukar tumbuh di sekitar rumah yang sudah berumur ratusan tahun itu. Anshari menatap tajam pada Nini Saniah lalu berbalik dan berjalan menjauh dari rumah Saniah. Laki-laki itu lenyap ditelan gelap. Sanja kuning berlalu. Angin malam berdesir menyapa rindu di hati Saniah, sambil menunggu Anshari datang lagi lain waktu.