webnovel

Jalan-Jalan Melihat Suasana Era Modern

Ren ingin jalan-jalan melihat suasana era modern ini ditemani Fei, dan dia meminjam paksa pakaian kasual terbaik milik paman Win. Sedangkan ketika dia melihat penampilan Fei dengan baju berwarna lusuh, dahinya berkerut.

Tak bicara panjang lebar untuk mendesak Fei, Ren segera menemui Nai. "Kau, pinjami Fei baju kasual terbagusmu. Cepat!"

Nai melongo. Meminjamkan baju terbaiknya untuk Fei? Ia sudah hendak menjerit ketika teringat bahwa lelaki di depannya ini penuh kuasa dan memiliki kekuatan aneh.

Menahan emosi yang sudah di ujung kepala, Nai berjalan menghentakkan kaki ke kamarnya dan mencari satu stel pakaian kasual di lemarinya. Kemudian, menyodorkan ke Ren dengan wajah cemberut.

"Sungguh ini baju terbagus milikmu?" Ren menatap tajam ke Nai. "Aku bisa membuatmu bisu, tentu juga bisa membuatmu buta, atau tuli, atau …."

"Aaaahhh!" Nai memutar tubuhnya dan kini benar-benar mencari baju kasual dia yang menurutnya bagus. Kali ini dia tidak ingin membodohi Ren. Bisu begini saja sudah mengerikan bagi Nai, kenapa harus ditambah dengan lainnya?

Menerima setumpuk baju dari Nai, Ren pun tersenyum senang. "Gadis pintar. Lebih baik kau tak usah melawanku atau kau tak hanya kubuat menjadi bisu saja, mengerti?" Lalu, Ren menyuruh Nai keluar dari kamar itu sebelum dia menyerahkan tumpukan baju tersebut ke Fei. "Nah, ganti bajumu dengan yang ini, terserah yang mana asalkan tidak selusuh itu." Dagunya menunjuk ke baju yang sedang Fei pakai saat ini.

Fei malu sendiri dan tundukkan kepala. Bukan mau dia untuk memiliki baju-baju lusuh. Semuanya sudah diatur oleh bibinya, dia tak diperkenankan melawan jika sang bibi sudah berkeputusan untuk dirinya.

Tak lama kemudian, Fei keluar dari kamarnya dan penampilannya berubah.

Melihat perubahan Fei, senyum Ren pun terbit. "Nah, kalau begini sudah pantas. Bajumu makin menampilkan kecantikanmu."

Fei tersipu akan pujian Ren dan keduanya pun keluar rumah setelah pamit pada paman Win.

Di sepanjang jalan menuju ke gerbang depan kompleks perumahan rakyat itu, Fei berulang kali membungkuk hormat sambil menyapa beberapa tetangga yang sedang berada di depan rumah mereka.

"Mau ke mana, Fei?"

"A-Ahh, jalan ke depan sana, Bu Cipto."

"Wah, Fei, tumben kamu pakai baju bagus. Mau ke mana?"

"Ja-Jalan ke taman depan sana saja, kok Bu Rina."

"Mari, Pak Anwar."

"Wah, Fei, tumben keluar rumah. Hei, itu siapa? Pacarmu?"

"Bu-Bukan, Pak Anwar, ini … ini …." Fei kebingungan memperkenalkan Ren.

"Saya kakaknya Fei." Ren menjawab dengan suara yakin membuat Fei sedikit termangu. Kakak, yah?

"Ohh, kakaknya Fei, kok seperti jarang terlihat, yah?" Istri Pak Anwar menimpali.

"Saya baru pulang dari pergi jauh." Ren tersenyum singkat.

"Oohh …." Pak dan Bu Anwar bersama-sama menyahut.

Kemudian, Fei pamit pada pasangan itu dan lekas memimpin jalan menuju gerbang depan yang sudah tak jauh lagi.

Mencapai gerbang depan, Ren melihat kendaraan lalu-lalang di depan mata. Wajahnya berubah takjub. Wajar saja jika demikian karena baru kali ini dia melihat sesuatu seperti sepeda, motor, mobil dan yang lainnya.

Ren sudah pernah menyerap semua informasi mengenai era modern melalui otak Fei, sehingga dia sudah tahu apa saja nama transportasi yang berseliweran di depan hidungnya. "Wah, ternyata itu yang namanya motor. Luar biasa. Tidak memerlukan kuda, manusia bisa menunggangi hal sehebat itu. Hm, mobil … benar-benar kereta kuda modern!"

Fei melirik ke samping dan bertanya, "Mas, jadi jalan-jalan?"

"Ohh, jadi." Ren tersadar dari lamunan takjubnya.

"Kita ke sana, tak apa kan?" Fei menunjuk ke sebuah area di seberang jalan.

"Apa itu?"

"Itu adalah taman kecil, Mas. Biasanya digunakan warga sini untuk bersantai."

"Baiklah, ayo coba ke sana." Ren mengangguk setuju.

Keduanya melangkah menyeberangi jalan menggunakan jembatan penyeberangan kecil di dekat pintu gerbang perumahan. Ketika tiba di taman tersebut, ada banyak pedagang kaki lima dan keluarga kecil beserta anak-anak mereka yang menikmati siraman mentari di akhir pekan begini.

Fei dan Ren berjalan santai mengelilingi taman. Mata Ren terus menatap sekeliling, mempelajari berbagai hal yang dia lihat sambil menggumamkan ketakjubannya.

"Mas, ingin duduk?" tawar Fei setelah mereka lama berjalan.

"Aku ingin mencoba naik ke mobil seperti orang-orang itu. Bisa?" Ren menunjuk ke barisan mobil-mobil berwarna kuning yang berderet di sepanjang tepi jalan di seberang sana.

"Ohh, angkot, maksudnya?" Fei paham. Dia mengambil dompet dari dalam tas kecilnya dan menghitung dulu isi di sana. Sepertinya cukup untuk naik angkot berdua ke pusat kota. Fei mengira Ren pasti akan lebih gembira jika melihat tempat yang lebih ramai lagi. "Yuk, Mas!"

Keduanya menyeberang hati-hati dengan Fei mau tak mau memegangi tangan Ren agar lelaki itu tidak melangkah keliru dan terburu-buru saat menyeberangi jalan.

Setelah sampai di seberang, Fei dan Ren masuk ke salah satu angkot yang bisa membawa mereka ke pusat kota. Mata Ren terus memandang sekeliling dengan tatapan takjub dan antusias.

Jika biasanya dia naik dokar atau kereta kuda kerajaan, kini Ren akan merasakan naik mobil. "Wow!" Ren sedikit terpekik kaget ketika angkot mulai berjalan setelah semua penumpang menjejali mobil kuning itu.

Beberapa orang melirik ke arah Ren karena heran dengan reaksi lelaki itu hanya karena angkot melaju. Namun Ren tak perduli. Ini adalah pertama kalinya dia menaiki kereta tanpa kuda dan bisa melaju! Bahkan cepat melebihi laju kuda!

Ketika angkot berhenti di dekat sebuah mall besar, Fei mengajak Ren turun dan membayarkan uang ke kernet angkot. "Yuk, Mas." Ia memimpin jalan.

Ren mengikutinya sebelum berjalan menjajari Fei. "Ini … tempat apa ini? Ramai sekali!"

"Ini disebut pusat perbelanjaan, Mas. Ada banyak sekali toko dan warung makan. Segala ada jika ingin beli kebutuhan. Apakah Mas ingin mencoba masuk ke mall?" Fei menunjuk ke bangunan terbesar di tempat itu.

"Boleh." Ren mengangguk. Dia benar-benar antusias ingin mengetahui seluk-beluk era modern.

Keduanya berjalan-jalan di mall meski tak bisa membeli apapun karena Fei tak memiliki uang berlebih. Uang yang tersisa di dompet kecilnya hanya cukup untuk biaya mereka kembali ke rumah menggunakan angkot seperti tadi.

Puas berkeliling saja di mall, Fei mengajak Ren keluar dari sana dan menuju ke taman asri di seberang mall. Taman itu jauh lebih besar dari yang di depan perumahannya.

"Kita duduk dulu di sana, yuk Mas." Fei menunjuk ke sebuah bangku semen yang kosong.

"Ayo." Ren patuh saja dan mengikuti Fei ke bangku semen tersebut.

Setelah duduk, Fei mengusap kening basahnya dan berkata ke Ren, "Mas, maaf yah, kita tidak bisa beli apa-apa dari tadi. Uangku tak cukup."

"Ohh, tidak masalah." Ren tidak menaruh perhatian akan hal itu. Dia sudah senang dengan acara jalan-jalan begini meski tidak membeli apapun. "Oh ya, Fei, aku boleh tanya?"

Fei berdebar-debar, kira-kira pertanyaan macam apa yang akan dilontarkan Ren? Dia meneguk salivanya dan berkata, "Si-Silahkan, Mas."