webnovel

Satu Di Antara Seribu

Hari ini aku benar-benar merasa begitu sial. Keberuntungan sedang tidak memihak kepadaku. Bagaimana tidak? aku harus membeli tiket pesawat sebanyak dua kali. Semua ini karena aku salah mengingat jadwal keberangkatanku menuju Jakarta. Jadwal yang tertera pada tiketku adalah pukul 10. 30 pagi, tapi yang kupikirkan adalah pukul 11.30. 

Benar-benar menyebalkan. Tidak mungkin pula aku membatalkan kepergianku hari ini. Sebagai jalan satu-satunya yang bisa kuambil adalah embeli tiket untuk jadwal penerbangan yang lain. Untuk penerbangan pukul 11.30 menuju Jakarta. Untunglah aku masih bisa mendapatkan tiket di waktu waktu yang begitu mendesak walaupun aku harus membayar dengan total yang lebih mahal.

Selama berada di bandara keberangkatan suasana hatiku kacau. Semua karena kesalahanku yang tidak teliti. Entah apa yang terjadi padaku sampai aku tidak memeriksa tiket keberangkatanku lebih jelas. Segala hal kecil yang tidak sesuai dengan kehendakku membuat emosiku semakin membumbung tinggi. Sekuat apapun aku berusaha untuk mengendalikan emosi, tetap saja ada celah-celah kecil bagi emosiku untuk meloloskan diri.

Aku baru bisa bernapas lega setelah tubuhku ini bersandar pada kursi pesawat. Rasanya tidak ada lagi ketegangan, walaupun perasaan jengkel masih tetap ada di dalam dadaku. Bagaimana tidak, aku kehilangan sejumlah uang yang sebelumnya akan kugunakan untuk keperluan lain.

Sebisa mungkin aku mendamaikan hatiku yang sedang bergejolak. Berulang kali aku mengatakan kepada diriku jika apa yang terjadi pada hari ini bukanlah masalah besar. Akan ada saatnya nanti aku memiliki kembali uang-uang yang sudah kukeluarkan dengan percuma itu.

Tidak ada banyak hal yang bisa kulakukan selain berdiam diri menatap ke arah jendela pesawat. Melihat bagaimana lautan luas membentang di bawah sana. Sesekali awan tebal dengan berbagai rupa dilintasi pesawat yang kutumpangi.

Berulang kali aku berusaha memejamkan mataku, tapi turbulensi yang terjadi membuatku merasa tidak aman jika harus memejamkan kedua mataku. Ada sedikit perasaan was-was yang muncul di dalam hatiku, tetapi ketika melihat bagaimana orang-orang di sekitarku tampak tenang, aku pun berusaha untuk menenangkan diriku. Tidak mungkin pula jika aku menunjukkan ketakutanku di tengah kedamaian yang sedang mereka rasakan.

Beberapa pramugari berlalu lalang di lorong pesawat menawarkan beberapa makanan kepada penumpang. Mengingat aku belum juga mengganjal perutku sejak pagi tadi, kuputuskan untuk membeli sedikit makanan kepada pramugari tersebut.

Untunglah pramugari itu bersikap ramah dan tidak memancing kemarahanku yang mulai mereda. 

Aku sama sekali tidak peduli dengan orang-orang yang berada di sampingku. Beberapa kali kudapati mereka menatapku dengan tatapan yang tidak bersahabat. Aku menerima itu karena aku  tahu di mana letak kesalahanku. Aku sama sekali tidak bertegur sapa atau sekadar berbasa-basi menawarkan makanan kepada dua orang tua yang duduk di sampingku.

Kuhela napasku dan kunikmati makanan itu dengan perasaan tidak senang lantaran mendapat tatapan yang demikian. Aku berusaha tidak peduli dengan apa yang sedang mereka katakan dan pikirkan tentang diriku. Aku hanya ingin ketenangan menikmati makananku dan melihat pemandangan di luar sana. 

Setelah kurang lebih dua jam mengudara, akhirnya pesawatku tiba dengan selamat di tempat tujuan. Selepas mendarat, kuputuskan untuk tidak bangkit terlebih dulu dari kursiku. Bukan karena menunggu antrian yang panjang, tapi lantaran dua orang tua yang berada di sebelahku masih betah berlama-lama di kursinya.

Sebenarnya aku sudah geram dengan tindakan mereka yang sama sekali tidak membuatku nyaman. Akan tetapi tidak mungkin pula bagiku untuk mengganggu ketenangan mereka di dalam pesawat selepas mendarat ini. Biarlah kudiam menanti hingga keduanya benar-benar beranjak.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya tiba giliranku untuk meninggalkan pesawat. Kuraih beberapa barangku yang kuletakkan di atas kabin pesawat sebelum akhirnya aku meninggalkan pesawat itu bersama dengan penumpang yang lain.

Semua baik-baik saja ketika aku meninggalkan pesawat. Tapi setelah beberapa langkah berjalan aku mendapati ada sesuatu yang berubah dari ekspresi para penumpang pesawat yang lain. Aku bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi hingga banyak dari mereka yang memasang wajah tegang, bahkan banyak pula di antara mereka yang menangis.

Mendapati situasi seperti itu, muncullah rasa penasaran dari dalam hatiku. Apa gerangan yang membuat mereka bersikap demikian. Perlahan-lahan aku melangkah berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga seorang perkataan seorang petugas terdengar oleh telingaku.

"Pesawat menuju Jakarta dari Yogyakarta mengalami kecelakaan."

Sontak perkataan itu membuat langkahku terhenti dengan seketika. Wajahku mengeras dan pikiranku berusaha untuk mencerna informasi itu sebaik mungkin. Itu adalah pesawat yang seharusnya kutumpangi untuk menuju Jakarta.

Kugenggam tas yang bersandar di bahuku dengan erat. Aku merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Semakin tidak percaya dengan kenyataan jika aku lolos dari peristiwa yang mungkin saja sudah merenggut nyawaku.

Kupaksakan kedua kakiku melangkah maju ke depan, menyusul orang-orang yang sudah berlalu hilang di balik pintu kaca. Tapi apa yang terjadi saat ini benar-benar membuatku tidak bisa berpikir dengan baik. Seluruh tubuhku bergetar tanpa bisa kukendalikan.

Aku sudah tidak mampu mengendalikannya lagi. Pandanganku mulai mengabur. Segera kuraih sebuah kursi yang berada tidak jauh dari diriku. Aku menopangkan tubuhku pada sandarannya. Aku berusaha mengembalikan kesadaranku walaupun apa yang kuterima ini sungguh mengguncang ketenanganku.

Kuatur napasku sebaik mungkin. Aku seperti kehilangan pasokan oksigen untuk keberlangsungan hidupku. Pikiranku kembali berkelana, apa jadinya jika aku tidak salah memperkirakan waktu keberangkatan. Mungkin hari ini aku sudah tidak bertemu lagi dengan orang-orang terkasihku.

Setelah cukup lama berdiam dan mengendalikan diri di tengah ketegangan yang sedang berlangsung. Kuputuskan untuk menguatkan diri dan beranjak dari tempatku. Walau langkah kakiku rasanya begitu lunglai, kali ini aku benar-benar tiba di depan pintu kedatangan.

Akan tetapi sebelum itu, sekali lagi aku melihat berita kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi. Sekali lagi aku terpaku dengan berita yang tengah ditayangkan di layar televisi. Aku diam seribu bahasa menatap layar televisi yang sedang menampilkan informasi terakhir dari pesawat yang seharusnya kutumpangi itu.

Untunglah kali ini kesadaranku masih menduduki pikiranku. Kuraih ponselku untuk memeriksa panggilan-panggilan yang mungkin saja muncul. Benar saja, setelah ponsel kembali kuaktifkan, muncul puluhan panggilan tak terjawab dari layar ponselku.

Panggilan terbanyak berasal dari Toni, selanjutnya dari orang tua dan kerabatku.

Kuhembuskan napas sekali lagu untuk mengatur ketenangan hati, kemudian kutekan nomor panggilan Toni. Aku memilih untuk menghubunginya terlebih dulu karena yang seharusnya kutemui pertama kali adalah Toni. Dia menungguku di balik pintu kaca yang kini berada tepat di hadapanku.

Belum lagi panggilan itu berdering kuputuskan untuk menghentikannya. Lebih baik kutemui Toni secara langsung. Tapi apakah dia masih berada di sana ataukah ia sudah pergi ke suatu tempat untuk mencari keberadaanku.

Aku melangkah dengan pasti walaupun wajahku begitu tegang melihat orang-orang yang berada di hadapanku. Mataku mulai mencari di mana laki-laki yang begitu kucintai itu berdiri menanti kedatanganku. Berbagai sudut kuperhatikan dengan seksama, berharap menemukan dirinya yang sedang berdiri menatapku. Tapi tidak ada ada sosok Toni yang sedang kucari.

Sepertinya aku melakukan kesalahan, bagaimana bisa aku tidak menghubunginya setelah peristiwa besar yang mungkin juga telah sampai pada Toni. Aku melangkah ke arah kiri meninggalkan kerumunan orang-orang yang menanti sanak keluarga mereka dengan perasaan cemas. Di saat itu pula aku menemukan sosok Toni yang berdiri seorang diri. Menatapku dengan wajah penuh dengan kecemasan yang tidak bisa lagi ia sembunyikan.