POV Silia
Aku terkejut ketika tiba-tiba saja Bu Seina sudah ada di sisi meja. "Silia, datanglah ke ruangan ku." Titahnya tanpa basa-basi. Aku tak bisa berbuat banyak selain menurut.
Ku langkahkan kakiku menuju ruangannya sambil menebak-nebak apa yang akan wanita paruh baya itu sampaikan padaku. Apakah syarat pengunduran diriku telah di setujui olehnya? Ku harap berita baik itu yang akan ku dengar.
"Tadi tuan muda Snapp menelpon ku, dan memintamu untuk menjadi asistent pribadinya. Selamat! Kamu telah naik jabatan." Namun yang ku dengar malah sebaliknya, dan tentu saja ini membuatku syok. Aku bahkan hampir tersedak oleh air liurku sendiri.
"I-ni... tidak mungkin." Bibirku bergetar. Sebenarnya apa yang di pikirkan pria itu? Aku mengajukan surat pengunduran diri. Dan sekarang ia malah menaikkan jabatan ku untuk menjadi asistent pribadinya.
"SNAPPAY GROUP adalah perusahaan yang menjanjikan, banyak yang ingin bekerja disini tapi sangat sulit. Sekarang tuan muda Snapp sudah sangat baik hati menaikkan jabatanmu, seharusnya kamu tidak kepikiran untuk mengundurkan diri kan?" Aku tahu dia sedang ingin membujukku. Tapi sungguh aku tidak tertarik dan ingin tetap memilih keputusan awalku.
"Maaf, Bu. Tapi aku tetap ingin mengundurkan diri." Kilahku tanpa ragu. Apa yang sebenarnya ku pikirkan? Tidak, Ini pasti keputusan benar. Diam-diam aku terus membulatkan tekad.
Mata Bu Seina mendadak melebar. "Apa? Apa tidak salah, padahal kamu baru saja naik jabatan untuk jadi asistent pribadi tuan muda Snapp, Loh!" Pasti keputusan dariku ini sulit di percaya olehnya, jangankan beliau. Detik ini juga aku jadi sedikit tidak yakin. Apa benar aku akan merelakan kesempatan emas ini? Sebagian dari diriku seolah meronta.
Astaga... Justru dia alasanku tidak ingin bekerja disini lagi. Jujur, kehadiran Snapp beberapa hari ini di hadapanku, membuat ketenangan hidupku jadi sedikit terusik. Juga... dengan hatiku. Ada apa dengan hatiku. Aku tidak ingin pria itu memberi rasa yang berbeda di dalam sana. Bisik yang sebagian lagi.
"Bu, kapan dia kembali dari liburannya?" Aku bermaksud ingin menyerahkan langsung surat pengunduran diriku padanya.
"Ah... aku tidak tahu soal itu." Wanita paruh baya itu menatapku dengan tatapan bertanya-tanya. Pasti dia mengira diriku ini sungguh aneh. Dimana semua gadis ingin mendapatkan posisi sepertiku agar bisa dekat dengan pujaan mereka. Nyatanya aku malah melakukan hal sebaliknya. Tapi bolehkah aku tidak menyukai Snapp? Meskipun semua gadis menyukainya?
Snapp... sedikitpun aku tidak ingin berada di tempat yang ada kaitannya denganmu.
***
POV SNAPP
Aku baru saja turun dari pesawat ketika para wartawan sudah berhamburan untuk menyerbuku. Mereka sedang berebut untuk mewawancarai ku. Tapi... ku rasa itu wajar. Itu semua karena gadis yang bersamaku kali ini adalah seorang pemain film juga model ternama di kota ini. Dan kami baru saja pulang dari berlibur. Bahkan mereka terlihat rela berdesakan demi mendapatkan sebuah berita.
"Presedir Snapp... sejak kapan anda menjalin hubungan dengan nona Ara? Apakah nona Mia sudah menjadi masa lalu?" Begitulah kira-kira pertanyaan yang di lontarkan setiap wartawan kepadaku.
"Presedir Snapp... Presedir Snapp... mohon jawab pertanyaan kami." Mereka seolah tak pernah menyerah untuk memburuku dan terus mengikutiku hingga ke mobil.
Aku baru bisa menghembuskan nafas lega ketika aku berhasil masuk ke dalam mobilku dan menutup semua jendelanya. Aku harus memberikan pujian untuk asistent pribadi ku kali ini, karena sudah dengan sigap menyiapkan sebuah mobil di tengah berondongan para wartawan. Namun, aku merasa ada sedikit kejanggalan di sini. Darimana para wartawan itu tahu aku baru saja pulang dari berlibur hari ini?
"Snapp... aku juga ingin tahu, apakah kita sungguh sedang pacaran?" Ara bertanya dengan mata penuh harap. Dan itu membuatku sadar. Mungkin semua ini adalah bagian dari rencananya.
"Ara... aku tidak suka wanita yang suka memainkan permainan membosankan ini? Kamu paham?" Pipinya yang putih berubah merah padam. Pasti dia tidak menduga, kalo aku bisa menebak apa yang sudah ia lakukan. Dia pikir aku pria bodoh. Aku sudah sering mengalami hal ini. Wanita-wanita yang dulu ku kencani juga pernah melakukan hal yang sama. Mereka sengaja ingin tahu. Apa setatus mereka bagiku?
Tentu saja bukan seorang kekasih. Tapi hanya sebagai FWB (Friend whit benefit). Dan sudah ku peringatkan berkali-kali pada mereka untuk tidak melibatkan perasaan. Apalagi mengharapkan setatus hubungan yang jelas denganku.
Mobil terhenti tepat di depan sebuah bangunan mewah berlantai dua. "Ara... kamu turunlah, sekarang sudah sampai di depan rumahmu." Awan mendung seolah menyelimuti wajahnya. Suaraku pasti membuat gadis itu terhenyak, seolah dia baru saja sadar dari lamunannya.
"Snapp... Apa kau akan datang lagi untuk menemui ku?" Bibirnya bergetar. Raut wajahnya makin terlihat di selimuti kekhawatiran.
"Tentu saja, karena kau sungguh memikat." Perlahan, kesedihan di wajahnya memudar, ku rasa apa yang ku katakan tadi membuatnya sedikit tenang. Padahal aku tidak sungguh-sungguh saat mengatakannya, tapi mereka tetap saja senang jika aku melakukannya.
Ara menerbitkan senyum sembari melambaikan tangan. "Daaa... Hati-hati ya?"
"Kamu juga, jaga kesehatanmu." Dia mengangguk makin sumringah. Aku tidak percaya ini. Ternyata kaum wanita memang senang dengan perhatian meski itu palsu.
"Jonathan?" Pekikku saat mobil kembali melaju. Aku terkejut saat mengetahui bahwa yang sedang menyetir di depan saat ini bukanlah asistent pribadiku. Melainkan pria yang ku sebutkan namanya tadi. Aku baru mengenalinya ketika ia mulai membuka tutup kepalanya. Menoleh ke belakang dan terkekeh.
Apa-apaan pria ini?
"Kenapa kamu masih begitu, tidak baik berbohong pada wanita." Kelakarnya memperingatkan ku. Dia adalah salah satu managerku, dan sekaligus sahabat dekatku.
"Kapan kamu kembali dari Inggris?" Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan mengganti topik pembicaraan. Aku tidak ingin ia terus-terusan memojokkanku tentang hubunganku dengan banyak wanita.
Sudah semenjak satu bulan yang lalu aku mengirim Jonathan ke luar negri untuk menandatangani kontrak disana. Meskipun terlihat urakan, tapi dia cukup berbakat dalam berbisnis dan bernegosiasi.
"Kemarin. Sekarang aku langsung jemput kamu di bandara, sengaja menyelamatkanmu dari situasi sulit tadi. Apakah tuan muda Snapp akan menaikkan gajiku?" Kelakarnya lagi. Selain itu dia memang orang yang ramah juga jenaka.
Ku hembuskan nafas kasar. "Baiklah... Naik sepuluh persen."
"Haha... terimakasih." Dan seperti biasa. Dia hanya terkekeh.
***
POV Silia
Aku baru saja keluar dari lift, ketika Snapp dan seorang pria lainnya berjalan memasuki loby kantor. Sontak aku teringat tentang surat pengunduran diriku yang ingin ku serahkan langsung padanya. Dan kebetulan, aku sedang menggenggamnya saat ini.
"Tuan muda Snapp!" Seruku sembari berlari ke arahnya. Wajahnya tampak terkejut dan langkahnya seketika terhenti.
"Tuan muda Snapp, aku ingin bicara padamu." Kataku Dengan nafas yang masih ngos-ngosan saat sudah tiba di hadapannya. Raut kebingungan pun kian terlukis di wajahnya.
"Ada keperluan apa nona Silia?" Ujarnya dengan bola mata penuh tanya.
"Ini..."
"Apa ini?"
Aku menjulurkan surat pengunduran itu padanya, kemudian ia meraihnya dengan sedikit ragu.
"Wah...Snapp, begitu pulang, langsung mendapat surat cinta? Astaga... Nona... kamu agresif sekali." Celetuk pria yang sejak tadi berdiri di sebelahnya dengan tiba-tiba. Aku terkesiap, dan mataku sontak mendelik ke arahnya.
Surat cinta? Surat cinta apanya?
Dengan wajah tanpa dosanya dia malah terkekeh. Sedangkan kepanikan mulai melandaku, semua mata dari berbagai penjuru sudah mulai memandang ke arahku sekarang. Ku rasa sebentar lagi gosip baru akan tersebar. Ini semua gara-gara mulut pria sialan ini? Mengatakan hal omong kosong dengan suara keras. Apa dia benar-benar sedang senggang hingga membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu ini?
"Bukan... Bukan... ini...." Belum sempat ku selesaikan kalimat penyangkalan, Snapp sudah lebih dulu menyela.
"Bicara di ruangan ku." Titahnya dingin.
Dua pria itu pun langsung melenggang dengan langkah besar-besar. Meninggalkanku di belakang yang menyusul mereka dengan tergopoh-gopoh.
Bersambung.