webnovel

Oh, My Bos

konten 17+ Seorang gadis biasa bernama Silia Anastasya, tidak pernah menduga, bos barunya di tempatnya bekerja saat ini adalah seniornya dulu di kampus--Snapp Edward. Lima tahun yang lalu, Snapp pernah membully Silia di depan para mahasiswa lainnya hingga menangis. Takdir memang tidak bisa di tebak, kini mereka di pertemukan kembali dalam lingkungan kerja. Silia adalah gadis berpenampilan tidak modis, sedangkan Snapp begitu sempurna dan di puja para wanita. Dengan ketampanan, kepandaian serta kekayaanya, Snapp bisa dengan mudah mendapatkan gadis manapun yang ia mau. Namun ... bagaimana dengan Silia? Mungkin ini yang di namakan musuh bebuyutan selalu bertemu, apakah pertemuan kali ini dapat menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya? Atau malah tidak akan pernah menyatu sama sekali. find me ig : evayunita7458

Eva_Yunita_9816 · สมัยใหม่
Not enough ratings
300 Chs

Oh... Astaga, hampir saja!

POV SNAPP

Aku baru saja akan memasuki ruang kerjaku pagi ini, dan ku lihat gadis itu-- Silia. Sudah berdiri di dekat pintu untuk menyambutku.

"Selamat pagi tuan muda Snapp..." Sapa Bu Seina yang kebetulan juga ada disitu. Tapi tatapanku malah tak bisa lepas pada gadis itu. Dia terlihat begitu pemalu. Terus saja menundukkan kepalanya dan sepertinya enggan untuk menatapku.

"Selamat pagi." Dia turut menyapa  dengan kaku. Di saat yang bersamaan dia mengangkat kepalanya. Mata kami bertemu. Detik berikutnya matanya seolah memperhatikan sesuatu. Apa dia sadar aku ganti warna dasi pagi ini? Bolehkan aku menganggapnya itu sebagai tanda ia perhatian padaku?

"Pagi Nona Silia..." Jonathan tiba-tiba menyela.  Menyapanya dengan ceria. Dan anehnya perasaan ku mendadak sesak.

"Pasti berat ya, jadi asistent tuan muda Snapp?"

"Tidak... tidak, tidak berat kok."

Jonathan berhasil menggodanya hingga membuat pipi putih gadis itu jadi bersemu merah muda.  Ekspresinya terlihat begitu lepas. Sangat berbeda bila berhadapan denganku, dia lebih banyak menundukkan kepala.

Apa aku menakutinya?

"Aku masih menyimpan surat cintamu, apa masih ingin di ambil kembali?"  Jonathan seolah bisa membuat bunga yang kuncup jadi bermekaran. Lagi-lagi Silia tersipu malu di buatnya.

Seharusnya aku biasa saja melihat pemandangan ini. Tapi kenapa dadaku perlahan terasa panas, seperti baru saja keluar dari tungku yang mendidih.

Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi padaku?

"Menganggap surat pengunduran diri sebagai surat cinta, apa kau sungguh kurang kerjaan?"

Sergahku pada Jonathan begitu kami memasuki ruangan ku. Aku sudah tidak tahan meluapkan kekesalanku yang sejak tadi berusaha ku tahan mati-matian.

Jonathan hanya terkekeh geli mendengar celotehanku. Seperti tak ingin menanggapinya dengan serius, dia malah sengaja duduk di atas mejaku, menyeruput kopiku denkgan santai. "Aku hanya heran, kenapa kau tiba-tiba memperkerjakan karyawan baru untuk menjadi asistent mu?" Pertanyaan itu malah membuatku seolah mati kutu.

Apa sekarang pria ini sedang mengintrogasi ku? Setelah tadi berhasil membuatku naik darah.

"Kerena Dia punya kemampuan."

"Banyak yang punya kemampuan." Sangkalnya sambil menerbitkan senyum penuh arti. Aku tahu tidak akan pernah menang jika harus beradu argument dengannya.

"Karena aku suka lihat dia." Bagus sekali, pasti sekarang dia senang mendapatkan jawaban yang ia mau.

"Oh..."

"Aku suka ketenangan." Lanjutku

Ku pikir dia tidak akan bereaksi. Tapi setelah melihatnya tertawa penuh ejekan. Aku baru menyadari. Dia sedang mempermainkanku rupanya.

"Jadi... menurutmu, wanita yang ada di sekelilingmu selama ini, terlalu tergila-gila padamu." Sudah ku duga, memang ini tujuannya, ku biarkan saja dia puas mengejekku. "Apakah dia pernah menolakmu?" Lanjutnya menahan tawa.

Entahlah, kali ini aku enggan untuk menjawab pertanyaannya. Atau sebenarnya aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Aku hanya merasa wanita itu berbeda.

"Astaga... Aku tidak menyangka ada wanita yang akhirnya tidak tertarik padamu. Hahaha." Pria itu sungguh terlihat bahagia melihatku yang tak bisa berkutik.

Kalo tidak ingat dia temanku, rasanya aku ingin sekali meninjunya agar tawanya yang menyebalkan itu terhenti.

Sayangnya aku tak mungkin melakukannya, itu bukan gayaku.

"Tidak mau bonus bulan ini?" Karena aku punya cara yang lebih jitu untuk membalasnya. Haha.

***

POV Silia

Saat ini aku sedang bersama sekertaris Hana. Kami sedang melakukan tour keliling melihat-lihat ruang kerjaku... ralat maksudku ruang kerja kami nantinya. Ya... karena mulai hari ini kami telah menjadi rekan satu team.

"Nona Silia, sebagai asistent pribadi tuan Snapp banyak yang harus di kerjakan. Jam kerja di perusahaan adalah jam 9 pagi. Tapi kita harus tiba 30 menit lebih awal." Sembari berkeliling, Nona Hana menerangkan hal apa saja yang perlu aku ketahui.

"Baik." Aku sibuk mencatat apa saja yang perlu ku catat di buku agendaku. Agar aku tidak lupa dan bisa mengingatnya selalu.

"Dan... meja kosong yang ada di ujung sana adalah meja kerjamu." Aku mengikuti arah telunjukknya. "Di ruang kejar ini, hanya ada tiga orang, termasuk aku, kamu dan satu lagi, manager Jonathan." Lanjutnya menjelaskan.

Setelahnya aku mencoba duduk di meja kerjaku yang baru untuk pertama kalinya. Aku tidak percaya bisa naik jabatan secepat ini. Jujur aku merasa senang, juga sekaligus sedih. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Alya. Tiba-tiba saja dia mendiamkan ku tanpa sebab. Kemarin, aku mengajaknya makan siang bersama, namun dia buru-buru menolak. Apa karena sekarang aku di sini? Lebih dekat dengan tuan muda Snapp yang selalu menjadi pujaannya?

Nona Hana terkenal sebagai wanita yang cantik namun sangat dingin. Dia hanya akan tersenyum pada tuan muda Snapp saja. Suasana kerja disini terasa begitu canggung. Rasanya aku jadi sedikit merindukan suasana kerja di devisi keuangan. Meskipun orang-orang disana banyak yang memusuhiku. Tapi di sana ada Alya yang membuatku tidak merasa kesepian lagi.

"Sudah terbiasa dengan pekerjaan baru?"

Aku sedang asik melamun saat tiba-tiba saja suara itu mengagetkanku dari arah belakang.

Snapp....

Reflek aku menoleh, membuat mata kami lagi-lagi bertemu. Dengan.jarak sedekat ini, aku seperti baru saja di tenggelamkan di dasar samudra hingga membuatku sulit untuk bernafas.

"Lu-mayan." Bibirku lagi-lagi gemetar karena gugup.

Ekpresi wajahnya yang suka berubah-rubah, membuatku bingung seksligus takut. Sedetik yang lalu ia baru saja menatapku dengan sorot mata lembut namun menikam. Lalu detik berikutnya ia menatapku dengan tegas dan serius. "Lain kali, kalo ku tanya, kamu hanya cukup jawab, Ya atau tidak. Aku tidak suka mendengar jawaban yang tidak jelas seperti itu. Mengerti?"

Seketika aku seperti tercekik oleh udara di sekitarku. Bahkan aku bisa merasakan telapak tanganku yang mulai mendingin. Apa dia sedang mengintimidasi ku?

"Ya." Pelan aku menjawab.

Sudut bibirnya kini membetuk satu garis tipis. Kedua bola matanya menyorot penuh arti. "Aku ingin jawaban yang tepat." Jelas itu titah, sepertinya ia benar-benar ingin mengujiku.

Kalo begitu baiklah....

"Dalam satu Minggu, aku pasti akan terbiasa dengan tempat ini, aku juga akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan anda tidak akan menyesal memilihku." Ku katakan semuanya dengan lantang dan tegas, meskipun dadaku di rayapi rasa gugup. Karena aku sudah bertekad. Untuk tidak kalah dengan keadaan dan perasaanku sendiri.

Mataku berkedip sangat cepat saat Snapp kembali mencondongkan badannya ke arahku. Perlahan aku melangkah mundur untuk menghindarinya, namun ia terus smengejarku, membuat punggungku akhirnya membentur dinding, di ikuti kedua tanganya yang di letakkan ke dinding mengunciku. aku terjebak dan tak bisa berkutik. Nafasnya yang hangat dan beraroma mind mulai terhirup oleh hidungku.

"Emm... Snapp, maksudku tuan muda Snapp. Aku... aku... mohon jangan begini."

"Kenapa?"

Aku sampai memejamkan mataku dengan tubuh yang sudah mulai gemetaran. Ketakutan ku pasti terpancar jelas di kedua bola matanya, tapi ia tak berniat sedikitpun untuk melepaskan ku. Aku malah merasakan jarak di antara kami semakin dekat. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika seseorang tidak buru-buru datang dan menggagalkan aksi pria playboy ini.

"Snapp..."

Suara itu mengagetkannya, dan membuatnya reflek menoleh ke asal suara. Sedangkan aku... aku akhirnya bisa bernafas lega karena akhirnya dia gagal mencuri ciuman pertamaku.

Oh... astaga... hampir saja...

Bersambung.