webnovel

Sebelum Memutuskan

Sekalipun kebiasaan Devan sama, ada yang berubah dari pria itu beberapa hari terakhir ini. Caranya mengontrol nada suaranya tidak baik. Apalagi sengaja memotong pembicaraan. Benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi?

"Sudah bicara, belum?" tanya Devan sekali lagi, lebih ke arah mendesak Nanda yang tak kunjung menjawab. "Kalau belum, Len, sini. Kita bicarakan di luar saja."

"Saya belum selesai bicara dengan-"

"Sini." Devan seakan menekankan peringatannya untuk terakhir kali. Bukan siaga, tapi sudah mengiris Lentera untuk segera menaatinya kalau tak ingin hal buruk menimpa mereka berdua.

Mengecam tanpa kata-kata yang berlebihan. Auranya menarik Lentera untuk diam dan mengikutinya ke mana pun Devan ingin. Membuntutinya tanpa ada perlawanan. Lentera layaknya dihipnotis di sini. Tak sadar, langkah Devan sudah berhenti untuk berhadapan dengannya.

Sempat Lentera lupa bagaimana harum Devan tercium dalam radius jauh. Semakin tajam pula harum tubuhnya dalam jarak dekat, dan itu cukup mengalihkan ketegangan Lentera menjadi sesuatu yang nyanan. Pikirannya sempat terbang lagi sampai ditarik Devan kembali untuk menjawab pertanyaannya.

"Jawaban kamu apa?"

"Hm?" gumam Lentera menjepit dua buah bibirnya. "Jawaban apa?"

"Nanda belum kasih tahu kamu?" tanyanya datar lagi.

Lentera spontan menggeleng polos. Bahkan ia yang mau bercerita jadinya, bukan Nanda lagi.

Helaan napas diembuskan Devan kacau. Jari besarnya itu menyugar rambutnya naik. Merusak lagi tatanan rapi yang terbentuk di sana. "Siap-siap. Lima belas menit lagi kita pergi. Nggak ada alasan untuk kamu nolak."

"Ke mana?"

"Bukan kewajiban saya untuk jawab hal itu," sahut Devan setelah sekian lama diam. Kemudian kakinya melangkah berbalik masuk lebih dalam ke ruang kerjanya. "Nggak usah pakai yang formal. Dress, jeans, apa pun itu asalkan rapih. Kemudian untuk Nanda, saya sudah memperingatkan kamu, ya, Len."

"Oh, jadi kamu boleh melakukan apa yang kamu mau sedangkan saya nggak? Saya harus nurut sama semua keputusan yang kamu buat?" Lentera mulai meninggikan intonasinya emosi. Kecewa, lebih tepatnya. "Saya kira kamu datang untuk minta maaf. Kamu masih aja sama."

"Saya memang begini dan kamu harus terima, Len."

"Kalau begitu kamu juga harus terima kalau saya nggak mau pergi," cetus Lentera bersedekap dada. Berhasil membuat perhatian Devan dari mejanya teralih kepadanya. "Adil, kan?"

Demi membuktikan keberaniannya, Lentera mengambil langkah tegap maju cepat. Sebenarnya, ia memang ingin cepat-cepat menghilang dari percakapan satu arah ini. Sempat ia mengira Devan orang baik, tapi ternyata otoriter. Lembut juga hanya separuh. Sisanya ... bisa ditebak sendiri.

"Jangan jalan lagi, bisa?"

Sungguh luar biasa nada bicaranya tak berubah menjadi lebih tegas. Masih sama, hanya berisi peringatan lebih membludak. "Kecuali ada yang mau kamu jelaskan."

Pria itu kembali terdiam. Entah dalam lamunannya atau tengah menyusun kata-kata yang baik dan pantas. Sampai-sampai Lentera mengira Devan membatalkan niatnya menghentikan Lentera.

Tapi semuanya sirna kala suara beratnya terdengar lagi. Diam-diam ia mengembuskan napas leganya. Pertanda Devan mengalah kepadanya. Sebuah kemajuan.

"Duduk dulu," usul Devan meredakan gejolaknya sendiri. Dirinya bangkit, tapi berjalan berlawanan arah. "Saya seduhin teh dulu untuk kamu."

Kali ini Lentera tak berani bertingkah macam-macam lagi. Toh tak ada yang menyinggungnya. Jadilah usulan Devan diterima ringan. Tak ada beban seperti mengikutinya di awal.

Sekejap mata, kepulan teh sudah tersaji di depannya. Pun, Devan membawa cangkir yang sama. Cara minum teh sesungguhnya. Dihirup, dipandanginya, kemudian barulah diseruput. Tampak sangat menikmati cairan cokelat beriak itu.

Sementara Lentera tak bisa mengikuti kenikmatan tersebut. Ia penasaran, setengah mati. Semakin disembunyikan, Lentera semakin ingin tahu. Sifat dasarnya. "Jadi?"

Devan tersenyum simpul. Tahu kalau Lentera bukan orang yang bisa diajak basa-basi. "Ketemu teman saya. Dia mau ketemu kamu. Keberatan nggak?"

"Katanya teman kamu sedikit!" protes Lentera agak mencak-mencak. Sedikit tak mempercayai Devan karena perangai lelaki itu yang tak sebaik di perkenalan awal mereka.

"Itu, yang kemarin kamu protes makanannya, Len." Devan tampak menahan kekehan geli yang ingin sekali terbit. Sayang sekali dicegahnya. "Muka kamu langsung pucat pasi begitu? Kenapa?"

"Kamu ... nggak ngaduin saya, kan? Atau suruh saya tanding masak?"

"Ya, nggak, Len. Dia cuman mau dikenalin saja sama kamu," kata Devan menenangkan lagi. Kembali menyeruput sekilas setelah melihat Lentera tidak berniat menimpali. "Kalau ada apa-apa, selain Nanda ada yang bisa jagain kamu."

"Kamu ... kasih tahu ...."

"Nggak," jawab Devan tegas. "Nggak, nggak. Saya nggak bicara apa pun tentang kamu dan milikmu, Len. Dan jangan sekali-sekalinya kamu membocorkan urusan itu. Juga, saya ingin berbicara mengenai kamu dan Nanda. Jangan terlalu dekat."

"Alasannya dulu." Lentera menggeleng tak setuju. "Saya mau kamu mendasari semua pelarangan kamu atau hal lainnya berdasarkan alasan, Dev."

"Saya nggak bisa kasih tahu ke kamu. Coba saja kamu tanya Nanda, dia juga akan menolak pertanyaan kamu."

Wajah merengut Lentera ditunjukkan lagi. Devan tak punya pilihan lain selain menjelaskan hati-hati padanya. Apa boleh buat. "Len, dengar. Ini baru bagian luarnya yang kamu ketahui tentang saya. Banyak yang menunggu saya di belakang sana. Saya tidak mau kamu terlibat terlalu jauh. Berbahaya untuk kamu."

Sedikit tidak adil. Tidak, ini sangat tidak adil untuknya. Bukan ia ingin mengetahui seluk beluk Devan. Sama sekali bukan. Tapi ... semuanya terasa sangat janggal untuknya.

Devan hangat untuk Nanda, tapi di lain kesempatan sikap yang ditunjukkan Devan membatasi interaksi keduanya.

"Di saat kamu sudah siap, Len," ujar Devan lagi. "Di saat saya memastikan kamu bisa berdiri sendiri dengan benar. Saya akan memberitahu hal itu kepada kamu. Sekarang, kamu siap-siap dulu. Sakitnya masih terasa nggak?"

"Masih, tapi jauh lebih baik." Demi menghormati usaha Devan, Lentera yang tak ingin memamerkan senyumnya terpaksa merentangkannya lagi. Suasana hatinya tak membaik, sebelum mendapat jawaban yang diinginkannya. "Lima belas menit dari sekarang?"

"Hm," jawab Devan mengulas senyum tipisnya. "Maaf, Len."

Kata-kata itu tak ditanggapi Lentera. Pembicaraan mereka tertutup tanpa pamit dari Lentera.

***

Tiga garis tercetak di kening polos Lentera. Untaian poni tipisnya tak mampu menangguli dahi terang benderangnya itu. "Hm? Kenapa bawa makanan ke sini?"

"Tunggu kamu beres-beres lama banget, Len." Nanda terkikik geli, sekaligus menyodorkan piring berisi buah-buahan merah, hijau, juga oranye. "Mau, Len?"

"Bagi sedikit, ya?"

Nanda mengangguk enteng. Piringan itu ditaruhnya tepat di atas meja, selagi Nanda mengambil salah satu buah favoritnya. "Makan aja, Len. Setelah sarapan, kamu nggak makan apa-apa lagi, kan?"

"Mm." Secara otomatis cetakan bibirnya tercipta antusias. Pudar sudah muram durjanya semenjak kembali dari perpustakaan Devan. "Nan, kamu tahu alasan temen kalian mau ketemu sama saya, nggak?"

"Karena kamu tinggal di rumahnya Devan, Len," kata Nanda. "Setidaknya dia mau ketemu kamu dulu sebelum memutuskan."