webnovel

Diajak Ke Bali

Shona bangun lebih dulu. Di dalam dekapan Ghevin yang hangat dan wangi. Kali ini tangannya tidak caper menggrepe ke mana-mana sampai ke area sakral pria itu, tapi terlipat rapi di dada Ghevin.

Tidak ingin merasa jengah lebih lama, Shona menyingkirkan lengan Ghevin dari atas pinggangnya, kemudian beringsut perlahan keluar dari dalam pelukan pria itu.

Di lantai, Shona hampir menginjak kemeja Ghevin yang dicampakkan begitu saja tadi malam. Dipungutnya kemeja itu lalu dicantelkan ke sangkutan yang ada di belakang pintu kamar.

Setelah cuci muka dan gosok gigi, Shona ke dapur bergabung bersama Rawuni dan Ibu Panti untuk menyiapkan sarapan. Saat masih di panti, menyiapkan sarapan adalah rutinitas paginya setiap hari.

"Ah, pengantin baru kita sudah bangun," goda Rawuni saat melihat Shona muncul.

Shona hanya bisa tersenyum. Kalau saja Rawuni tahu kalau Shona dan Ghevin  belum satu kali pun melakukan aktivitas perkembangbiakan, pasti mencelat biji matanya saking terkejut.

"Sana, buatkan kopi untuk suamimu. Siapkan juga sarapan buatnya lebih dulu. Mungkin dia harus buru-buru berangkat kerja," suruh Ibu Panti.

"Ah, orangnya aja masih ngorok," tukas Shona.

Dehaman Ghevin terdengar di dapur. Shona kaget, karena Ghevin ternyata sudah bangun. Ibu Panti dan Rawuni cuma tersenyum.

"Sho," panggil Ghevin.

Shona meletakkan peralatan dapur dan berjalan menuju Ghevin yang berdiri di ambang pintu. "Sarapannya belum jadi. Kalau lapar tahan dulu. Semua orang juga lapar, jangan manja!"

"Shona, sama suami gak boleh ngomong kayak gitu. Nanti dikira panti kita gak ngajari sopan santun."

Shona manyun gara-gara ditegur Ibu Panti. Saat kembali berbicara pada Ghevin, suaranya dibuat semanis mungkin. 

"Suamiku, ada apa gerangan? Apakah suamiku sudah lapar? Sabar sebentar lagi, ya, sarapannya sedang Adinda siapkan."

"Dasar Shona geblek!" ujar Rawuni lalu terkikik. "Tuan Ghevin, walau berat, tolong maafkanlah dia."

"Shona gak salah. Dia hanya sedang menggoda."

Oh, baik betul Tuan Ghevin Aditama Jansen ini. Shona memutar bola mata. "Ada apa?" tanya gadis itu lirih.

"Aku takut kita harus pulang sekarang," ujar Ghevin setengah berbisik. "Aku diburu waktu. Banyak pekerjaan yang harus diurus hari ini," lanjutnya.

"Kamu boleh pulang duluan, gak apa-apa. Nanti aku naik taksi."

"Kita harus pulang bareng. Aku memaksa."

Mereka bertatapan. Shona melihat ada keseriusan dalam tatapan Ghevin. "Oke. Tapi sebaiknya kita sarapan dulu. Gak enak sama Ibu."

Ghevin mengangguk setuju. "Please, kalau bisa cepatlah."

Setelah sarapan dan berpamitan, mereka berdua masuk mobil dan Ghevin mengemudi pulang. Sepanjang perjalanan, raut Ghevin tampak serius. Shona yakin pasti ada kaitannya dengan pekerjaan pria itu.

"Ada apa? Orang tuamu mau datang dan menguji kelayakanku sebagai istrimu?" 

Meski menduga raut serius Ghevin karena urusan pekerjaan, Shona sengaja mengajukan pertanyaan berbeda. Berharap bisa mengalihkan keseriusan Ghevin ke tempat lain.

Ghevin menggeleng. "Bukan kapasitas mereka untuk mengintervensi aku nikah sama siapa."

"Terus, kenapa Tuan Ghevin kayak abis nelen tang begitu mukanya?"

Ghevin mendesah. "Aku baru dikabari kalau ada kendala yang gak bisa dihandle pegawaiku di Bali. Sepertinya aku harus ke sana dan mengurusnya sendiri."

"Di Bali? Pekerjaan apa? Melihat bule wanita berjemur? Gak apa-apa pergi aja."

"Aku akan membangun hotel dan resort di sana," jawab Ghevin, mengabaikan sinisme Shona.

"Ya udah. Tinggal pergi aja, kan?"

Ghevin diam sejenak. Jawabannya kemudian membuat Shona tersentak. 

"Aku benci harus meninggalkanmu jauh di sini. Aku juga belum tahu akan berapa lama sampai urusannya beres. Pengalamanku, urusan membebaskan lahan biasanya gak cukup waktu sehari."

Shona terdiam lama sekali. Jawaban Ghevin benar-benar memeranjatkannya. "Aku gak akan kabur, kok. Tuan Ghevin gak perlu takut meninggalkanku di sini."

Ghevin menggeleng-gelengkan kepala. "Kita akan ke Bali bersama."

"Eh, apa?" Shona kaget lagi.

"Kita. Ke Bali," ulang Ghevin.

"Gak mau. Aku mau di sini aja."

"Kuliahmu belum aktif, masih proses birokrasi. Ikut aku ke Bali gak akan mengganggu rencana kuliahmu. Jadi aman."

"Aku gak mau pergi!"

"Ya, kamu akan ikut aku."

"Gak mau!"

"Jangan kayak abege, Shona!"

"Kalau-kalau Tuan Ghevin lupa, umurku baru lewat delapan belas."

Tentu saja Ghevin tidak lupa berapa usia Shona. Kalau saja tidak takut terjerat masalah hukum karena menikahi anak di bawah umur, sudah dari setahun lalu dia mengambil Shona jadi istri. 

Jadi, lamaran untuk Shona sama sekali tidak mendadak, tapi sudah sejak lama direncanakan, hanya menunggu gadis itu cukup umur. Hanyalah kebetulan kalau saat Shona cukup umur, SMAnya juga selesai.

Ghevin tentu saja merasa tidak perlu dan belum saatnya menjelaskan semua itu kepada Shona. Pria itu belum siap untuk kemungkinan terburuk; ditinggalkan Shona dan membuat kesempatannya menebus dosa lenyap.

"Aku tahu umurmu jalan sembilan belas. Umur segitu sudah dianggap dewasa."

'Pokoknya aku gak mau ikut ke Bali. Balikin aja aku ke panti."

"Apa saat ini aku terlihat gak sanggup mengangkatmu lalu kujebloskan dalam pesawat?" 

Ghevin tampak serius dan yakin dengan ucapannya, membuat Shona merasa takut dan terintimidasi. Imej Ghevin saat bersama anak-anak panti tadi malam lenyap seketika di kepala Shona. 

"Kamu milikku, Shona. Bersedia atau gak bersedia, suka gak suka, kamu akan ikut aku ke Bali. Akhir diskusi," tegas Ghevin.

Shona hilang suara. Aura Ghevin saat ini benar-benar berkuasa. Apakah ini sosok Ghevin yang sebenarnya? Apakah Ghevin yang tadi malam bersama anak-anak hanyalah kamuflase belaka? Jangan-jangan Ghevin Aditama Jansen ini tipe bunglon.

"Kapan kita akan berangkat?" tanya Shona akhirnya.

"Sekarang kita sedang menuju bandara."

"APAH!"

Shona kejang-kejang. Sebenarnya, siapa Ghevin Aditama Jansen yang dia nikahi ini?

"Tuan Ghevin, who are you, truly?!" tanya Shona.

Ghevin diam.

"Aku bahkan belum mandi, dan kamu masih pakai baju kemarin. Bagaimana mungkin kita bisa langsung ke bandara?"

"Tanpa mandi pun kamu masih cantik, Shona Jefika."

Shona mendesah tertahan, lalu geleng-geleng kepala. Dia pasti telah menikah dengan orang gila. "Bisakah setidaknya kita pulang dulu dan bersiap-siap?"

"Jangan kuatir. Berkas-berkas yang kuperlukan sudah disiapkan pegawaiku di bandara."

"Berkas-berkasmu?!" pekik Shona. "Bagaimana dengan beha-behaku?! Aku juga butuh persiapan. Kita pergi jauh, bukan cuma ngesot ke kampung sebelah."

Ghevin melirik Shona sekilas lalu kembali fokus ke jalan. "Apa saat ini bagimu aku terlihat cukup miskin untuk mengkhawatirkan soal pakaian?"

Ah, kalimat pembungkaman yang sangat Ghevin sekali. Shona bahkan sudah hapal ucapan Ghevin semacam ini. Dasar pria angkuh.

"Uangku banyak, Shona. Kamu gak nikah sama pria kere yang untuk beli pakaian saja perlu menabung lama."

Shona melongo, lebar sekali. Untunglah mereka sedang di dalam mobil mahal full pendingin. Coba kalau di pasar ikan, pasti saat ini mulut Shona sudah kemasukan laler ijo sekeluarga.

"Oh, baiklah, Tuan Ghevin yang kaya raya. Apa pun kata Tuan."

"Kalau kamu mencemaskan penumpang pesawat dan orang-orang di bandara akan menatapmu aneh, karena belum mandi dan cuma berpakaian rumah begitu, tolong, Shona ... itu gak perlu. Kalau ini bisa mengenakkan perasaanmu, kita gak akan bertemu banyak orang."

Apa maksudnya itu? Shona memang belum pernah naik pesawat, tapi dia tidak bodoh untuk mengetahui kalau di bandara itu ramai orang. Dia tidak mungkin jadi penumpang satu-satunya di dalam kabin pesawat, kan? 

Karena lelah berdebat dengan Ghevin, Shona memilih diam dan menelan dongkolnya sendiri.