webnovel

Takut Papa

"Ayolah Nal, iyain kek sekali-kali."

Aku menggeleng mendengar desakan Anis.

Karena ini hari sabtu, Anis, Hana, dan teman-teman sekelasku yang lain berencana untuk pergi ke kota sepulang sekolah nanti. Katanya sih buat Jeje, atau istilah gahoel zaman sekarangnya hangout.

"Nggak ah. Takut Papa marah," jawabku jujur.

Hana langsung mendengkus mendengar jawabanku, "Papa lagi. Papa lagi. Anak Papa banget sih kamu, Nal," omelnya.

Aku hanya mengangkat bahu. Memang benar, papaku itu tidak suka kalau aku pergi kemanapun tanpa seijin Beliau. Dan Papa akan marah kalau aku melanggarnya. Percayalah, Papaku itu kalau marah menyeramkan.

"Nala nggak asik," keluh Anis.

Disaat teman sekelasku yang lain berdiskusi ceria tentang rencana jalan-jalan mereka di akhir pekan. Aku, Anis dan Hana, hanya bisa duduk cemberut di pojokan kelas.

"Hai Laaa."

Aku melirik sekilas dan mendapati Kala dalam balutan seragam olahraga duduk di sebelahku. Dia terlihat basah oleh keringat. Sepertinya habis main bola.

"Nanti kamu ikutan nggak? Kalau ikut juga nanti aku bonceng pakai motor," tawaran Kala yang menggiurkan membuat kami bertiga makin cemberut.

"Ada apa?" Kala mengernyit saat kami hanya diam tak menjawab celotehannya, "Kok pada diam dan manyun gitu?"

"Nala nggak bisa ikut,"jawab Anis pendek.

"Kenapa?"

"Biasalah. Takut sama Papanya," kali ini Hana yang membantuku menjawab.

"Takut Papa?"

"Iya. Takut Papa," jelas Hana dengan nada menjengkelkan, "ini anak kalau diajak kemana-mana nggak mau. Nggak bisa. Alasannya ya itu! Takut Papa marah. Takut Papa ini, takut Papa itu. Nyebelin banget kan?"

Kala menetapku dengan sebelah alis terangkat, "Papa kamu galak, Nal?"

Aku meringis, "Ya gitu deh," sambil menggaruk kepala.

"Jadi kamu nggak pernah kemana-mana karena takut sama Papa kamu yang galak?" Sorot mata Kala berubah perihatin menatapku. Dan aku tidak suka itu.

"Iya."

"Ckckck." Tiga temanku yang durjana ini langsung mengeluarkan decakan menyebalkan dan koor-an kompak, "Kasihan amat hidupmu, Nal."

"Sialan."

***

Orang-orang bilang, aku anak yang beruntung. Lahir dan besar dalam keluarga berkecukupan dengan orangtua yang sangat menyayangiku. Saking sayangnya Papa dan Mama padaku, aku sampai tidak pernah melakukan pekerjaan apapun di rumah dan kemana-mana aku harus selalu 'dikawal.'

Mungkin bagi orang yang melihat, hidupku rasanya seperti di Surga. Tapi buatku ini rasanya ... seperti separuh jiwaku tersiksa.

Aku yang tumbuh menjadi mahluk malas yang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah apapun, bermetamorfosa dari anak kesayangan menjadi mahluk malas tidak berguna di mata Papa dan Mama. Dan saat melihat anak gadis orang lain memegang sapu atau ember, mereka akan langsung membandingkan aku dengan anak gadis orang itu, dan berharap kalau anak orang itu adalah anak mereka. Menyebalkan.

Kadang aku juga ingin seperti teman-teman perempuanku yang lain, bebas. Jalan-jalan keluar rumah untuk mencari kesenangan. Tapi aku tidak bisa, aku takut. Aku tidak mau Papa dan Mama marah. Mungkin mereka khawatir kalau aku pergi, atau mungkin juga mereka malu karena punya anak dengan bentuk tubuh sepertiku.

"Nal. Nalaaa."

Suara Mama dan ketukan dipintu kamarku, membuat lamunanku teralih.

"Iya Ma."

"Keluar Nak, ada temanmu nungguin tuh."

Aku mengernyit. Teman? Teman yang mana? Anis sama Hana nggak mungkin, mereka paling anti datang ke rumahku setelah lihat muka galaknya Papa tempo hari.

Setelah memastikan penampilanku rapi, aku segera keluar untuk menemui temanku itu, dan ..., "Kala?" Aku melotot ketika melihat Kala sedang duduk anteng di sofa ruang tamu rumahku.

"Hai Nala," sapanya sambil tersenyum manis.

"Ngapain kamu disini?!" Aku hampir berteriak histeris. Ini bocah kok bisa lolos sampai ruang tamu? Apa Papa nggak ada di depan? Kalau ada Papa, aku sama Kala bisa mati.

"Mau jemput kamu. Kita ke KoBi bareng."

"APAAA?" LU UDAH GILA YA BOY?!

"Udah sana cepetan ganti baju," desak Kala.

"Tapi ...."

"Aku udah ijin sama Mama kamu. Papa kamu juga lagi nggak ada."

"A-anu ...."

"Cepetaaan."

Aduuuh.