webnovel

Masalalu itu Bernama Kala

Namanya Kala, lengkapnya Ekalawya. Aku mengenalnya saat duduk di bangku kelas dua SMA, sekitar tahun 2006. Dia teman satu sekolah, sekaligus teman satu kelasku.

Awalnya aku tidak mengenal Kala, aku hanya sering mendengar namanya disebut oleh teman-temanku dan juga guru-guru, sebagai murid yang hampir satu semester tidak pernah hadir ataupun menampakkan batang hidungnya di kelas. Dari kabar yang beredar, Kala katanya sakit keras saat itu, sampai harus menginap di rumah sakit selama beberapa minggu.

Kala sama seperti kebanyakan anak laki-laki Bima lain, memiliki badan gempal dan kulit gelap terbakar matahari (karena keseringan membantu orangtuanya di sawah). Tapi ada satu hal yang membuat Kala terlihat menarik di mataku, dan mungkin juga mata perempuan-perempuan muda lainnya---yaitu senyumnya yang terlampau manis yang memperlihatkan sebelah lesung pipinya.

Aku bertemu Kala di hari pertama masuk di awal semester dua di kelas dua. Hari itu Kala datang lebih awal dari murid-murid lain, duduk di bangku pojok kanan belakang sambil mendengarkan lagu dari mp3 ponsel (Sonny Ericsson)-jadulnya. Waktu itu aku tidak mengenal Kala, aku mengira Kala adalah murid dari kelas lain yang hanya numpang duduk di kelas kami.

Menyadari kehadiranku, Kala mendongak. Dia tersenyum melihat yang berdiri kikuk di depan pintu kelas.

"Hai ayo masuk," sapanya ramah, "kamu anak kelas XI Bahasa juga kan?"

Aku masih berdiri kaku di depan pintu kelas. Bingung mau masuk atau tidak, murid yang hadir baru kami berdua.

"Masuk aja. Aku nggak gigit kok, aku juga nggak rabiesan," gurau Kala masih memamerkan senyum dengan lesung pipinya yang menawan. "Nah gitu dong," katanya saat melihat aku melangkah masuk kelas dengan ragu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," jawab Kala kembali menekuri ponselnya. Dia sedang asyik mengganti-ganti lagu ketika aku berhenti di samping bangku yang dia duduki.

"Ada apa?" Tanyanya sambil mendongak, menatapku bingung. "Mau kenalan?"

Aku menggeleng cepat untuk menjawab pertanyaannya yang terakhir, "Kamu duduk di bangku saya," beritahuku gugup.

"Eh?"

"Kamu duduk di bangku saya," beritahuku lagi saat melihat dia kebingungan.

"Seriusan nih, kamu cewek tapi duduk di pojokan gini?" Dia tak percaya.

"Ada yang salah kalau saya duduk di belakang?"

Dia menggeleng, "Nggak. Cuma biasanya cewek-cewek suka duduk di bangku depan, biar dianggap rajin dan pintar sama guru."

"Saya lagi malas dianggap rajin," jawabku ketus karena dia masih belum mau bangun dari bangkuku.

Kala tertawa, "Ada gitu orang yang malas dianggap rajin?"

"Ada. Saya!" Aku berubah dari gugup menjadi judes. Dia menyebalkan di pertemuan pertama kami.

"Kalau nggak mau dianggap rajin, jangan datang kepagian Non," cemoohnya.

Aku menghela nafas frustrasi, datang terlalu pagi ke sekolah memang sudah menjadi kebiasaanku. "Yeaaah terserah kamulah. Sekarang bisa pindah ke bangku lain nggak? Atau ke kelas lain aja sekalian."

"Kala tertawa, dia bangun sambil membawa tasnya, "Aku nggak bisa pindah ke kelas lain, Non. Kelasku emang disini," gumamnya sembari beranjak dari bangkuku, "Dan ... Jangan galak-galak jadi cewek. Ntar jodohnya jauh lho."

"KAMU NYUMPAHIN SAYA JAUH JODOH!"

"Ebuju busyet galak amat. Bukan nyumpahin, Non, cuma ngasih tahu," dia meringis, "Anak bahasa kan? Bedain dong mana yang nyumpahin mana yang ngasih tahu."

Memutuskan untuk mengabaikan 'anak baru' menyebalkan itu, aku duduk di bangkuku dan mulai mengeluarkan catatan pelajaran untuk jam pertama.

"Ckckck, muka boleh kalem. Tapi emosi beuuuh," dia yang sudah duduk di bangku pojok kiri belakang langsung cengengesan ketika aku memelototinya, "Hehehe hati-hati darah tinggi, Non. Emosi itu nggak baik lho buat kesehatan."

Tarik napaaas.

Keluarkan.

Tarik napaaaas.

Keluarkan.

Oke Nala, abaikan dia.

"Hei. Pssst. Hei."

Aku memelototinya lagi ketika dia memanggilku.

"Kita belum kenalan kan?" Aku diam, "Namaku Ekalawya Pratama. Di rumah aku dipanggil Eka, tapi teman-teman yang lain biasa manggil aku Kala. Aku dari Nata," jelasnya panjang -lebar, "Aku juga murid kelas XI Bahasa seperti kamu. Tapi baru hadir hari ini karena baru sembuh dari sakit."

Aku masih diam. Dia ini anak laki-laki yang cerewet dan banyak omong ya?

"Kalau kamu siapa?" Tanyanya penasaran.

"Nala."

"Cuma Nala aja?"

Aku tak menjawab karena kembali fokus membaca catatan Sastraku. Dan dia juga sepertinya tak memaksaku untuk bicara lagi, karena dia kembali sibuk dengan ponselnya yang sekarang sedang menyenandungkan lagu hitz dari Jikustik, Setia.

Tak lama kemudian teman-teman sekelasku yang lain mulai berdatangan.

***

Aku sebenarnya bukan anak yang pintar-pintar amat. Aku beranggapan kalau aku hanya beruntung berada di kelas yang murid-muridnya tidak terlalu pintar, hingga aku bisa menjadi yang terbaik diantara mereka.

Hanya saja ... Menurutku menjadi yang terbaik diantara teman-teman sekelasku itu merepotkan.

Contohnya sekarang. Ketika bel pulang berbunyi, Pak Gaufar, wali kelasku, malah menahanku selama beberapa menit di kelas untuk bicara dengannya. Beliau menyuruhku membantu salah satu teman yang ketinggalan pelajaran selama satu semester karena sakit. Dan teman yang ketinggalan pelajaran itu tak lain adalah si anak baru menyebalkan yang tadi pagi. Aku ingin menolak, tapi Pak Gaufar tidak memberiku kesempatan untuk bicara. Dia malah meninggalkanku berdua dengan si Ekalawya.

"Jadi ...." Kala menggaruk belakang kepalanya sambil berjalan mengikutinya, "nama kamu Naladipa Harini?"

"Udah tahu nggak usah nanya deh!"

"Ya ampun Non, jangan galak-galak gitu dong sama aku. Ntar kamu naksir aku lho."

Kala tertawa saat aku membuat suara dan gerakan seperti orang yang ingin muntah.

"Waduh Nala, ini hari pertama kita ketemu. Aku belum kan belum apa-apain kamu, kok kamu udah mau muntah aja!" Kala berseru dengan tampang sok polos, membuat murid-murid yang kami lewati di koridor menatap kami penasaran.

Aku mendelik ke arah Kala. Kesal dengan lelucon tak sopannya. "Memangnya kamu pikir saya cewek apaan?"

Kala menggeleng, "Aku nggak pikir kamu cewek 'apa-apaan' Nal. Aku cuma mikir kalau kamu itu cewek galak yang lucu."

"Oh ya ampunnnn. Mimpi apa aku semalam sampai bisa dapat teman bimbingan macam ini," aku menggerutu sambil meremas gemas selempang tasku.

"Pasti mimpinya yang indah-indah."

"PULANG SANA!"

"Ini juga udah mau pulang, Nalaa. Santaaaai." Kala berjalan santai mendahuluiku. Dia terlihat menuju tempat parkir.

"[$%#&]#$_&-+()/!"

Tak lama kemudian sebuah motor besar berhenti tepat di depanku. Aku cemberut menatap pengendaranya.

"Pulang bareng yuk," tawar Kala.

"Nggak usah, beda arah."

"Kuantar pulang?" Tanyanya lagi.

"PULANG AJA SENDIRI SANA!" Kesabaranku benar-benar habis.

Kala (lagi-lagi) tertawa melihat kemarahanku. "Bye Nalaaaa." Dia melakukan motornya dengan gembira.

Sepertinya kedongkolanku menjadi kebahagiaan untuknya. Sialan bener.

***

"Ngapain kamu disini?" Hari berikutnya, ketika aku sampai di sekolah, aku kembali bertemu dengan Kala yang menyebalkan itu. Dia kembali duduk santai mendengarkan musik di bangkuku.

"Sekedar informasi Non, kalau kamu lupa, aku juga murid kelas Bahasa," katanya santai.

"Dan sekedar informasi juga kalau kamu lupa. Bangku yang kamu duduki itu bangku saya."

"Ck." Kala berdecak cemberut, "Pelit amat cuma bangku doang. Sekedar informasi juga ya, ini bangku sekolah bukan bangku pribadi kamu," gerutunya tapi tetap menurut untuk pindah.

"Suka-suka saya dong," sebelah alisku terangkat melihat Kala yang malah pindah ke kursi di sampingku. Kami tetap satu bangku, "ngapain lagi kamu disitu?"

"Ya duduklah. Nggak liat?"

"Itu tempatnya Hana. Cari bangku lain gih," usirku berusaha menyelamatkan 'tempat duduk' Rohana. Teman sebangkuku. Aku tidak rela kalau harus punya teman duduk manusia menyebalkan yang suka bikin darah tinggi macam Kala.

Kala mendesah, binar mengejek terlihat di matanya ketika dia menatapku. "Kamu lupa ya apa yang disuruh Pak Gaufar kemarin?" Dia mengingatkan, dan aku langsung mendengus tak suka, "dia nyuruh kamu bantuin aku buat belajar. Biar aku nggak tinggal kelas. Gimana kamu bisa bantuin aku kalau kita duduknya jauh-jauhan?"

"Biar saya nyamperin meja kamu aja kalau ada pelajaran yang nggak dimengerti."

"Repot."

Kamu emang ngerepotin! Aku cemberut.

"Kalau kamu nggak mau duduk bareng aku di sekolah, kamu bisa datang ke rumah aku buat ngasih les," usulnya yang membuat cemberutku makin permanen.

"Nggak usah duduk aja disitu!"

"Nah gitu dong," Kala tertawa menang.

***

Aku yang ketika jam istirahat biasanya menghabiskan waktu di dalam kelas untuk membaca buku, sekarang lebih memilih pergi ke kantin bersama teman-teman demi menjauhi Kala. Anak satu sangat pintar membuat emosiku meledak-ledak.

"Tumben La," tegur Anis sambil menggedikan kepalanya ke arahku.

"Tumben apaan?" Pura-pura tidak mengerti.

"Tumben ikut ke kantin. Biasanya ngeram mulu di kelas, kayak ayam yang takut telurnya hilang," sindir Anis.

Aku mendengus. Sementara Hana tertawa.

"Kan di kelas ada Kala, Nis," sambar Hana.

"Kala yang baru datang sekolah itu kan?"

"Hmm. Kala sama Nala kan nggak akur, mereka selalu berantem kalau ketemu," jelas Hana, "Lebih tepatnya sih Nala yang selalu darah tinggian tiap ketemu Kala."

Anis tertawa. "Serius?"

"Dia nyebelin sih," sungutku.

"Nyebelin apa nyebeliiiin?" Anis menyenggol ku dengan pundaknya.

"Ihh. Anisa jangan ikutan nyebelin jugaaa!" Pekikku gregetan. Anis dan Hana tertawa.

"Oh ya, kayaknya Kala populer juga tuh," kata Anis tiba-tiba. Matanya menatap serius ke arah belakangku dan Hana.

Kami berdua pun menoleh, dan melihat Kala dan beberapa teman laki-lakinya sedang bercanda dengan sekelompok kakak kelas cantik di sudut kantin.

"Wuih. Itu kan Kak Dina cuy," komentar Hana takjub. Kak Dina itu kakak kelas kami dari kelas XII IPS2 yang terkenal paling cantik di sekolah ini. "Keren belum juga seminggu masuk sekolah, si Kala udah dapet gebetan kakap."

"Hu'um," Anis mengiyakan, "temanmu oke juga Nal."

"Dia bukan temanku!" Pekikku sebal menarik perhatian murid-murid di kantin.

Aku cemberut dan malu, mataku melotot sebal pada Anis dan Hana yang tertawa-tawa. Tampak puas menggodaku.

"Eh ada Nalaaa!"

Suara itu ...! Tuh kan, Kala pasti menyadari keberadaanku karena Anis dan Hana yang gencar menggodaku.

"Tumben-tumbenan ke kantin," katanya ceria, "yuk gabung kemari."

Aku menoleh, menatap Kala judes. "Makasih. Nggak perlu! Aku mau balik kelas," sahutku.

"Lho Nal, mie rebusnya?" Tanya Hana mengingatkanku pada mie yang aku pesan.

"Buat kamu aja," jawabku sembari bangkit dan meninggalkan Kantin.

***

Dedeq lapar qaqaaa. Ciyus.

Menghabiskan waktu jam pelajaran terakhir dengan perut lapar itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku menyesal karena tadi sudah sok-sokan judes pada Kala, dan memberikan mie rebusku pada Hana dan Anis. Akibatnya sekarang aku terduduk lemas di bangkuku, sambil berharap bel pulang cepat berbunyi. Materi pelajaran Bahasa Jerman tentang menemukan informasi penting dalam wacana, yang diajarkan oleh Bu Supriati, masih belum bisa masuk ke otakku.

Hiks. Perut lapar benar-benar berpengaruh pada kinerja otak ya?

Suara gemericik pelan plastik dari sebelah terdengar. Aku malas menoleh, karena aku sedang tidak punya tenaga untuk berurusan dengan mahluk bernama Kala.

"Nih!"

Aku tersentak saat Kala tiba-tiba menyodorkan sesuatu di depanku.

Sebungkus roti?

"Ini?" Aku menatap bingung pada roti yang diletakkan di atas meja depanku.

"Untuk kamu," ucap Kala sambil melirikku sekilas dan tersenyum.

"T-tapi ...."

"Itu roti isi kelapa. Kata anak-anak lain sih enak, aku coba tadi enak kok. Cobain deh."

"Aku nggak ...." Kriuuuk. Perutku berbunyi tak tahu malu ketika aku hendak menolak pemberian Kala.

Aku meringis malu, sementara Kala tersenyum geli. Untung yang mendengar suara perutku tadi cuma dia. Jadi rasa maluku belum seberapalah, masih bisa ditanggung.

"Makan aja buat ganjal perut," katanya.

Takut-takut aku melirik Ibu Supriati yang masih sibuk menjelaskan materi di depan papan. Kena teguran guru gara-gara makan di kelas waktu jam pelajaran berlangsung itu, akan lebih memalukan daripada suara perut yang bunyi kelaparan dan didengar teman.

"Posisi kita kan di pojokan, makan aja pelan-pelan. Aku bakal jagain biar nggak ketahuan," janji Kala, "suer deh!"

Aku mengangguk, lalu mulai membuka bungkusan roti dan makan pelan-pelan sambil melihat ke depan.

"Gimana? Enak?"

Aku mengangguk dengan mulut yang sibuk mengunyah roti, "Makasih," ucapku pelan.

"Sama-sama. Kita kan teman, sebagai teman kan kita harus saling membantu dan berbagi. Berbagi makanan dan juga jawaban PR dan ulangan."

Kalimat terakhirnya membuatku memelototi Kala.

"Hahaha bercanda. Tapi serius juga nggak papa sih," Kala nyengir, "oh ya Nal. Lain kali makan ya, jangan biarin perutmu kosong. Ntar sakit lho."

Aku tertegun mendengar kalimat terakhir Kala. Duh perhatiannyaaaa. Tapi kok perutku mendadak melilit-lilit aneh ya? Jantungku juga berdebar lebih kencang dari biasanya. Jangan-jangan ... Kala masukin racun atau obat sakit perut ke roti ini. Tapi nggak mungkin ah. Ini mungkin efek karena aku telat makan siang aja.