Hari ini rumahku terlihat lebih ramai daripada biasanya. Kakak Ayahku dan anak-anaknya yang dari Jakarta datang mampir ke Rumah, katanya sih untuk bersilaturahim, tapi aku tidak percaya. Menurutku mereka cuma datang untuk pamer kehidupan mereka yang 'wah' dan berada. Dengar tuh suara cempreng Uwak Hartati, istri Kakak Ayahku, yang sedari tadi tak bisa berhenti membicarakan harga mobil yang baru mereka beli, harga pakaian anak-anaknya, dan bahkan harga pakaian dalam yang mereka pakai. Ck.
Uwak Ibrahim dan Uwak Hartati memiliki tiga orang anak, Nesya, Pata, dan Syarka. Pata seumuran denganku. Dia anaknya baik, cuek, dan tidak peduli pada apapun kecuali makanan. Menurutku dia itu sejenis mahluk pemakan segala. Dia tidak pernah mengeluh tentang menu makanan. Berikan dia nasi putih hangat dan garam, insyallah dua piring habis. Hehehe. Makanya wujudnya sebulat bola. Tapi aku suka sepupuku yang satu ini, dia ramah dan tidak sesombong orangtuanya. Beda dengan si kembar Nesya dan Syarka, mereka itu plek-plek anak Bapak dan ibunya deh. Tidak perlu diterangkan lagi sifat mereka sama.
"Makan yang banyak Nala, biar gemuk." Si Uwak nyinyir seperti biasa, "contoh tuh adik kamu Nesya," mulai membandingkan badan cungkringku dengan body big anak remaja tanggungnya, "dia makan mulu banyak, nggak dikit-dikit kayak kamu, makanya badan dia bagus walaupun masih SMP."
Aku ingin mengatakan, "Anak Uwak kan emang jago makan dan nggak tahu malu," cuma kalimat itu tertelan di ujung lidah ketika melihat pelototan Ayah. Ayah memang selalu bilang kalau dia malu punya anak kurus-kayak-orang-kurang-gizi sepertiku. Jadi ketika topik soal masalah tubuhku disinggung, aku akan menjadi objek yang selalu salah di mata Ayah. Walau aku coba mencari pembenaran kalau badan kurusku ini akibat sering sakit (dan ini memang benar!) itu tidak akan ada gunanya.
Jadilah kegiatan makan bersama keluarga Uwak Ibrahim menjadi kegiatan merundungku.
***
"Kamu disini, La?" Pata mendapatiku sedang duduk menyendiri sambil membaca komik di teras belakang. Menghindari anggota keluargaku dan Uwak Ibrahim yang lain. Serius. Aku bosan jadi bahan hinaan karena bentuk tubuhku. Kalau saja orang-orang itu tahu apa saja yang sudah kulakukan untuk mendapatkan bentuk tubuh normal seperti remaja-remaja perempuan lainnya ... Mereka mungkin akan sedikit respect? Atau tidak peduli sama sekali?
"Iya. Baca komik," jawabku masam.
"Boleh aku duduk?" Tanyanya sambil menunjuk kursi plastik yang ada di sebelah kursiku.
"Duduk aja," aku mengangguk, "kok nggak gabung sama yang lain?"
"Males. Papa sama Mama mulai bongkar-bongkar aib aku sama Paman dan Bibi." Pata cemberut.
"Kok?"
"Paman, Ayah kamu, nyuruh aku diet dan rajin olahraga biar bisa jadi Tentara kayak Beliau. Trus Papa, Mama, sama dua adik durjana itu malah nambah-nambahin 'si Pata beginilah, si Pata begitulah' kan sebeel."
Aku tertawa. Pata senasib denganku.
"Senggaknya kalau mereka mau ngomongin aku, ngomongin di belakang lah. Kan aku nyelekit kalau diomongin di depan," curhat Pata. Nada bicaranya dramatis sekaliiii.
"Kalau begitu buktikan sama orangtua kamu, kalau kamu bisa punya badan proporsional buat jadi tentara." Aku berusaha memberi semangat pada Pata. Dia sepupu yang baik.
"Kalau begitu apa kamu juga tidak mau membuktikan pada orangtuamu dan orangtuaku kalau kamu juga bisa punya badan proporsional seperti cewek-cewek normal lainnya?"
Aku terdiam mendengar perkataan Pata yang membalikkan kalimatku.
"Walau kita kasusnya beda, tapi aku tahu apa yang kamu rasain Nal. Rendah diri. Minder karena bentuk tubuh."
Iya, benar. Aku sering merasa rendah diri. Aku jarang bergabung dan bergaul dengan teman-temanku yang lain, karena minder. Aku kurus dan sepucat hantu, sedangkan mereka cantik-cantik dan sehat. Aku selalu minder ketika teman-teman perempuanku mulai bercerita tentang pacar, gebetan, atau orang yang naksir mereka. Aku berpikir, tidak akan ada yang suka pada gadis kurus sepucat hantu sepertiku. Jadi aku memilih untuk belajar dan mulai mengembangkan hobi membacaku, agar aku teralihkan dari pikiran tentang cowok dan juga tekanan tentang bentuk tubuh.
"Teman-teman sekolahku sering ngatain aku badak, kuda nil bego, kulkas dua pintu, dan segala macamnya. Kalau Syarka sama Nesya malah lebih parah, mereka sering ngatain aku babi gendut." Aku menatap Pata perihatin, dia lebih parah dariku. Setidaknya aku hanya mendapat tekanan dari pihak keluarga dan juga orang-orang yang hanya berani berbisik di belakangku, sementara dia langsung dibully oleh teman-teman dan juga keluarganya sendiri di depan wajahnya, "Tapi aku cuma nebelin muka dan nuliin kuping. Aku tahu mereka hanya main-main dan tidak bermaksud jahat. Aku menganggap kalau itu adalah semacam motivasi agar aku tidak segendut Babi, Badak, atau kuda Nil."
Aku meringis mendengar kalimat terakhir Pata. Aku tidak tahu dia ini terlalu baik atau terlalu bego?
"Terus kalau hinaan itu kamu anggap motivasi, kenapa kamu nggak kurus-kurus?"
"Karena udah takdirnya aku gemuk," jawabnya sambil tertawa.
Aku juga ikut tertawa. Keceriaan Para menular.
"Oh ya, La. Berhenti minder dan rendah diri. Jangan putus asa ya? Teruslah berusaha punya postur badan normal seperti anak-anak lainnya. Dan kalaupun nggak bisa, tetap sayangi diri kamu. Kamu udah cantik kok."
Aku terdiam. Pata melempar senyum tulus padaku. Aku jadi merasa iri melihat ketegarannya. Dia yang biasa dibully karena gendut, malah memberiku hiburan dan motivasi.
"Makasih ya, Ta."
"Hmm."
***
Acara kumpul-kumpul Kakak-Adik di rumahku masih belum berhenti sampai maghrib. Aku dan Pata ditugaskan oleh Ayah dan Uwak untuk membeli Bakso Surabaya di dekat Cabang Tente.
"Porsi dua mangkuk, Ta? Seriusan?" Aku melongo ketika Pata memesan pada si Mas kalau satu bungkus bakso (jatah dia) dibuat porsi dua mangkuk. Yang benar saja?
Pata nyengir, "Mau gimana lagi, La? Aku kan suka banget sama bakso, jadi satu mangkuk aja nggak akan cukup."
"Ini gimana kamu mau diet buat jadi tentara?" Aku mulai mengomel.
"Hahaha, santai aja La. Aku nggak ada niatan buat jadi tentara, aku maunya jadi penjual bakso yang sukses."
Si Mas Bakso tertawa mendengar perkataan Pata.
"Cita-citanya keren Mas."
"Hahaha Iyo mas. Kan selain kenyang saya juga bisa dapat banyak uang kayak si Mas, iya nggak?" Pata berakrab ria dengan Mas penjual bakso.
"Tapi, kalau kamu yang jualan bakso, bukannya dapat banyak uang karena untung. Tapi bakal rugi. Tekor. Nggak balik modal gara-gara baksonya kamu makan semua."
Pata cemberut, sementara si Mas Bakso tertawa makin keras melihat interaksi kami.
"Baksoku jangan lupa dipisahin." Pata lagi-lagi mengingatkan ketika kami berjalan menuju tempat parkiran motor.
"Iya. Iya. Bawel."
"Lho? Nalaaa!" Seseorang memanggil namaku dan aku kenal suara itu.
Aku menoleh, "Kala?" Dan mendapati Kala juga sedang berada di parkiran motor depan warung bakso. Dia sedang menggendong seorang bocah laki-laki kecil.
"Hei," Kala tersenyum lebar, "beli bakso ya?"
Aku mengangguk.
"Ngeborong kayaknya," katanya, mengacu pada plastik bakso yang kubawa.
"Buat keluarga yang ada di rumah juga. Lagi ada acara kumpul-kumpul."
"Oh." Kala mengangguk.
"Kamu juga beli bakso?" Aku balik bertanya. Sial, kok aku malah basa-basi sih?
"Iya. Bareng Kakakku sama ponakan."
"Itu ponakanmu?" Aku menunjuk bocah dalam gendongannya.
"Iya. Namanya Dendy."
"Ganteng," pujiku.
"Ya harus ganteng dong, biar kayak pamannya," sambar Kala sambil mencium gemas pipi gembul ponakannya.
Aku tertawa.
"Nala pulaaang!" Sial! Aku melupakan Pata, " kalau kalian satu sekolah, lanjutin pacarannya besok aja di sekolah. Sekarang pulang dulu! Perutku sudah lapar."
Wajahku memerah mendengar kalimat terakhir Pata. Si Gendut itu benar-benar ya! Kulihat Kala tersenyum geli. Sebelum Kala mengatakan sesuatu, aku kabur dari hadapannya.
Awas ya kamu, Gendut!
Di atas motor, Pata berteriak kesakitan karena cubitan pedasku di pinggang berlemaknya.
"Ampunnnn Nalaaa. Jangan maen cubit, nanti kita jatuh!"