"NAARA, NlIIN,
BINGGO?!!!" Seluruh anggota Garuda Merah kompak memasang wajah kaget saat mendapati ketiga sosok tersebut telah ada di markas. Pasalnya sudah dua hari dua malam mereka mencari ketiganya. Yyug terlihat sudah dibuat teler karena keseringan membuka tutup lubang dimensi miliknya. Ryukei dan Levi bahkan sampai sekarang belum kembali.
"Niin, Naara, Binggo, kalian tidak apa-apakan?" tanya Naena dengan nada lembutnya.
"Um." Niin dan Binggo mengangguk sementara Naara cuek saja.
"Haah ... aku lega sekali Niin baik-baik saja," Jeki menunjukkan kelegaannya, yang ia khawatirkan Niin saja.
"Ya baik sih tapi aku hampir mati, humpt." Binggo berucap lirih. Wajahnya jadi pucat biru saat membayangkan dirinya yang terjebak di kandang singa.
"Binggo ada apa?" tanya Reen menyadari ekspresi Binggo dan Binggo menjawab tidak spa-apa walau terlihat jelas di wajahnya ada kekesalan.
"Kau yakin?"
"Hm."
Reen beralih melihat Nacima. "Kirim pesan pada pimpinan kalau Naara, Niin dan Binggo sudah kembali."
Di tangan Nacima sudah ada seekor kutu. Nacima memberinya pendaran qiwer setelah itu kutu tersebut segera terbang untuk menjalankan tugas.
*
Angin berhembus mengayunkan beberapa helai rambut di pelipis Naara yang sedang berdiri di atap markas. Aroma embun pagi sangat menyegarkan dan memanjakan paru-parunya.
Matanya yang sejak tadi terpejam, terbuka saat mendengarkan suara langkah kaki mendekat.
"Naara."
Naara sedikit menoleh.
"Kau di sini?"
Orang yang datang itu adalah Reen.
Naara tidak mengatakan apa-apa, ia malah berbalik untuk meninggalkan tempat tersebut, kedatangan Reen mengganggu ketenangannya
tapi setelah beberapa langkah ia berhenti. "Ngomong-ngomong kapan pak tua itu kembali?"
"Maksudmu pimpinan? Aku rasa pesan yang dikirim Nacima sudah sampai, jadi mungkin sebentar lagi. Memangnya ada apa?"
Naara tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya, meninggalkan Reen yang sepertinya ingin berusaha akrab.
Naara terus mengikuti arah ke mana kakinya melangkah, menyusuri lorong sambil memikirkan kembali tentang pertarungannya dengan Seno. Ia baru mengingat kalau di saat terakhir Seno mengatakan sesuatu yang penting.
{"K-kau tidak a-akan bisa me-mengalahkannya. Kekuatannya itu se-setara dengan Dewa ....
"Ji-jika Evill Flower imitasi be-berhasil dibuat maka d-dia be-benar-benar akan me-menjadi de-dewa ....."}
"Dewa? Omong kosong!" Ia mengepalkan tangannya lalu berpikir apa yang dimaksud Seno dengan Evill Flower imitasi? Ia bertanya-tanya sampai tidak sadar kalau dia sudah sampai di ambang pintu belakang markas.
Ternyata Niin dan Binggo sedang berada di halaman belakang.
"Tuan Naara!" Binggo berlari menghampiri sesaat setelah menyadari kedatangan Naara sementara Niin, wajahnya langsung bersemu merah saat melihat Naara, mengingat kalau ia dan Naara sekarang adalah suami-istri.
"Gu-Guru ...."
Naara terdiam, terbayang dengan masa lalu Niin yang ia lihat. "Apa kau masih ingin belajar ilmu pedang?" tanyanya setelah beberapa saat, membuat Niin merasa terkejut.
"Apa?"
"Kalau tidak mau terserah."
"Bu-bukan begitu. Aku, aku hanya kaget saja ... i-iya aku mau."
"Kalau begitu bersiap-siaplah kita mulai latihan sekarang."
"Eh, sekarang? Mendadak sekali."
"Kalau tidak mau terserah."
"Bu-bukan begitu. Ba-baik."
Niin berlari masuk ke markas dan beberapa saat kemudian ia kembali dan terlihat sudah mengganti gaun putih beraksen garis-garis hijau yang pernah diberikan Naena kepadanya dengan kaos polos merah dan celana pendek hitam, tentu saja itu diberikan oleh Naena juga.
Ia menghampiri Naara dan Binggo yang berdiri di bawah tebing. "Aku sudah siap," ucapnya setelah tiba.
"Bagus." Naara berbalik menghadap Niin. Beberapa burung kecil melintas di langit, hembusan angin mengubah bentuk awan secara tak kasat mata. "Sebelum mulai aku ingin tahu apa alasanmu ingin menjadi kuat?"
Lima detik Niin terdiam memandang lekat mata pria di depannya. "Kebebasan," jawabnya.
Seketika Naara teringat dengan ingatan masa lalu Niin yang terkurung di dalam tabung lalu teringat saat Niin meminta dijadikan murid. Waktu itu Niin juga mengatakan kalau dia ingin bebas. Siapa sangka kalau bertahun-tahun gadis itu menjalani hidup dalam tahanan Thougha, sekarang dia memang sudah bebas tapi belum sepenuhnya bebas karena orang-orang Thougha masih mencarinya. Setiap saat merasa cemas, merasa takut, bersembunyi dan melarikan diri. Dia pasti merasa sesak, hidup seperti itu sangat melelahkan. Kurang lebih Naara mengetahui seperti apa rasanya.
"Binggo!" Naara membuka suara untuk kambing yang sejak tadi diam memerhatikan.
"I-iya Tuan."
"Mulai ajari dia pelatihan dasar," titahnya lantas berjalan menuju pohon di pinggiran kolam yang tak jauh dari sana.
"Tu-tunggu, ta–"
"Sudahlah, aku yang akan mengajarimu pelatihan dasar setelah kau lulus Tuan Naara akan mengajarimu level selanjutnya."
Entah kenapa Niin merasa kecewa saat tahu kalau bukan Naara yang mengajarinya.
Setelah Naara pergi, Binggo mengarahkan Niin ke tengah halaman dan meminta gadis itu melakukan pemanasan terlebih dahulu. "... kita melakukan ini untuk menghindari cidera, sekarang perhatikan dan ikuti aku." Ia mulai memeragakan dan Niin mengikutinya.
Beberapa saat kemudian.
Host ... host ... host ....
"AYO CEPAT LARI KAU MASIH HARUS MELAKUKAN LIMA BELAS PUTARAN!!" Binggo berseru.
Napas Niin sudah hampir putus karena berlari lima belas putaran, mengitari halaman yang luasnya sepertiga hektar sekarang harus lari lima belas putaran lagi? Hah kambing itu mencoba membunuhnya.
Di atap bangunan, Reen masih belum beranjak dari tempatnya, ia fokus memerhatikan Niin yang sedang berlari, ia punya beberapa pertanyaan di benaknya tentang gadis itu.
Tidak lama Naena, Nacima, Jeki dan Yyug datang menghampiri.
"Reen." Naena memanggil.
"Hm? Oh, Nacima, Jeki kalian sudah pulang, cepat sekali."
Tadi Nacima dan Jeki pergi belanja membeli kebutuhan sehari-hari, karena status mereka yang buronan mereka harus menyamar dan itu sangat merepotkan juga menjengkelkan terutama bagi Jeki, hal itu membuat dia tidak bisa menunjukkan ketampanannya dengan maksimal. Setiap kesempatan dia akan mengeluh soal itu.
"Hahaha mau bagaimana lagi." Reen tertawa setelah mendengar keluhan Jeki. "Hn? Nacima, apa itu?" Ia melihat pada gulungan kertas coklat yang dipegang Nacima
"Itukan poster buronan," ucap Yyug saat Nacima membuka gulungan tersebut.
Gulungan itu terdiri dari delapan lembar kertas yang di setiap lembar tersebut terpampang wajah mereka semua.
"Ini adalah poster buronan yang baru dibuat oleh anoa. Beberapa anoa tadi membagikannya di pasar. Kejadian di Aladian membuat harga kepala kita melonjak tinggi," jelas Nacima sambil membagikan poster kepada masing-masing pemiliknya.
Reen melihat deretan angka yang ada di bawah gambar wajahnya. Di sana terlampir 1200000 Bol.
Naena melihat harga barunya juga. 600000 Bol.
Yyug melihat 800000 Bol.
"Harga Binggo dan Naara juga naik." Nacima melihat poster Naara, harga pedang buta itu sekarang 1000000 Bol. Ia menggeser poster Naara dan melihat poster Binggo di bawahnya. Harga kepala kambing itu sekarang adalah 150000 Bol lalu ... "Mereka juga sudah menetapkan harga untuk Levi." Ia melihat poster buronan baru anoa. Levi Lavende, 100000 Bol.
"Dcak, sebenarnya anoa itu sekaya apa dan kenapa mereka menghargai kepalaku sangat rendah? Bagaimana bisa harga bogeng lebih mahal? Menjengkelkan." gerutu Jeki menatap angka 750000 Bol. Ia benar-benar kecewa dengan itu.
"Sudah jelaskan itu karena aku lebih hebat," ucap Yyug tersenyum bangga pada dirinya sendiri
"Cih, begitu saja sombong!"
"Kalian ini bodoh atau memang tidak punya otak, Apa bagusnya jika kepala kalian dihargai tinggi. Semakin tinggi harga kepalamu maka semakin banyak orang yang mengincar nyawamu, paham tidak?!" Nacima tak habis pikir.
"Harga baru sudah ditetapkan. Seperti biasa pemburu uang imbalan akan gencar mencari kita, aku ingin kalian berhati-hati," ucap Reen yang mendapat anggukan oleh Naena dan yang lain.
Putaran angin muncul di jarak sekitar satu meter dari mereka dan segera menjelma menjadi Ryukai.
"Pimpinan?"
"Ke ruang pertemuan, sekarang!"