webnovel

Na&Ra Story

Kisah persahabatan Nayla dan Radit yang berakhir dengan cinta sendirian Nayla.

Violet_bluee · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
1 Chs

Lebih dari Teman

Sebuah undangan pernikahan berwarna merah tergeletak dengan rapi di atas meja di dalam kamar Nayla. Itu adalah undangan kesekian dari teman-temannya yang akan menikah di tahun ini. padahal baru minggu lalu ia juga menghadiri pernikahan sahabatnya. sementara dia masih betah dengan kehidupannya saat ini. kehidupan tanpa seseorang yang ia cintai.

Nayla memandang undangan itu sambil membaca setiap tulisannya yang berwarna emas "Undangan Siang, Rian dan Rani, 7 september 2019" lalu membuka undangan tersebut dan membaca isinya. Sama seperti undangan lain menurutnya. Lalu kemudian memasukkan kembali isi undangan itu ke dalam amplopnya. Dan selanjutnya ia meletakkan kembali barang tersebut ke atas meja.

Sebenarnya Nayla tidak begitu dekat dengan Rani, dia hanya tau kalau temannya itu adalah teman SMAnya namun di jurusan berbeda. Ia bahkan jarang berbicara dengan Rani kecuali ada hal penting seperti kegiatan OSIS atau ekskul. Selain itu ia tidak pernah berbicara dengan dia. Makanya ia sempat kaget saat salah satu temannya tiba-tiba datang ke rumahnya dan membawakannya undangan.

"tumben banget Han?" tanya Nayla saat itu karena Hana adalah salah satu temannya yang juga tidak begitu akrab dengannya.

"ahhaha, iya nih. Gue mau ngasih undangan." kata Hana sambil tersenyum. Walaupun tidak akrab, tapi setidaknya mereka tidak canggung saat ketemu.

"eh undangan? Siapa yang mau nikah? Kamu?"

"ye, bukanlah. Ini si Rani nitip undangan buat elu. Kebetulan kan rumah lo selalu gue lewatin. Jadi ya gue di titipin sama Rani buat ngasih elu" jelasnya sambil memberikan undangan berwarna merah itu.

"waah, makasih ya." Balas Nayla sambil menerima undangan yang cukup tebal itu. "eh, mau minum dulu gak?"

"ah? Gak usah. Gue mau lanjut lagi nih. Lagi mau ke seminar soalnya" tolaknya sopan lalu bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar. Nayla mengikuti dari belakang sembari mengantarkan tamunya keluar.

"yaudah deh, makasih ya." Katanya sambil mengibaskan undangan yang sudah ada di tangannya. "hati-hati." Lanjutnya sebagai kebiasaannya.

"yaps." Setelah itu, Hana menjalankan motornya meninggalkan area rumah Nayla. Dan sejak saat itu, ia baru membuka dan membaca isi undangan tersebut.

Tiba-tiba ponselnya yang ada di tempat tidur berbunyi membuat Nayla segera bergegas meraih benda tersebut dan menjawabnya.

"halo" tanya Nayla saat tersambung.

"oi Nay, hari ini jadi'kan?"

"jadi apa?" Tanya Nayla dengan kening berkerut. Kebiasaan gadis itu kalau lagi bingung. Dan kalau keseringan bisa-bisa dia jadi cepat tua.

"yaaa pikun. Lupa lagi kan lo!" yang di seberang mendadak kesal.

"ya emang apaan sih?"

"ke rumah barunya si Radit'kan? Masa lo gak inget? Kan waktu itu udah gue ajakin." setelah nama Radit di sebut, Nayla seketika terbelalak. Lalu buru-buru melihat kalender di meja kerjanya. Ia lupa kalau hari ini Radit bikin acara di rumah barunya. Dan ini pertama kalinya ia lupa suatu hal tentang pria itu.

Ia menggigit bibir dalamnya. Tiba-tiba ia jadi gugup.

Apa akhirnya ia akan bertemu Radit lagi setelah sekian lama tidak bertemu?

Apa ia akan canggung pas bertemu dengan pria itu?

Tiba-tiba Nayla jadi memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan. "oi, Nay? Lu masih disana kan?" Nayla tersadar lalu mengalihkan pandangannya dari kalender.

"a..ah? I....ya Gi, gue masih disini kok." Ucap Nayla yang tiba-tiba jadi gagu.

"ok! Jadi kita ketemu disana aja ya? Lo udah tau kan alamatnya?"

"kirimin ulang aja alamatnya."

"ok ok. Yaudah gue tutup dulu telponnya. Mau siap-siap nih gue." Dan setelah itu terdengar bunyi tuut tuut tuut dari ponselnya.

Nayla mengela nafas. Jadi ke rumah Radit ya? Ia kembali menggigit bibirnya. Kebiasaannya kalau lagi gugup. Atau menggigigiti kukunya. Tapi karena hari ini kukunya baru selesai ia warnai, jadi ia melampiaskannya ke bibir.

Ia nampak berfikir. Apa tidak usah pergi saja kali ya? Kan Radit tidak memanggilnya secara langsung. Ia hanya di ajak oleh Anggi saat mereka sedang makan siang beberapa hari yang lalu.

"eh hari minggu nanti kalian ke rumah Radit ya!" seru Anggi tiba-tiba saat mereka sedang dalam mode diam. Nayla yang lebih dulu habis makanannya lebih memilih memainkan ponselnya karena sedang tidak ada bahasan. Sementara Anggi dan Ica masih sibuk dengan makanan mereka. Memang di antara bertiga, Nayla lah yang paling cepat makan. Padahal porsinya sudah seperti kuli.

"tumben? Ada acara apaan?" tanya Ica setelah menyedot es jeruknya.

"rumah baru. Barang-barangnya udah ada disana semua. Jadi nanti habis acara, rumahnya bakal dia tinggalin deh."

"widih keren." Seru Ica yang kelihatannya bangga. Sementara Nayla hanya diam sambil memperhatikan keduanya berbicara.

"datang lu pada." Lanjut Anggi ke topik utama. "lu juga Nay, awas lu ga datang!" Anggi menekankan sementara Nayla mengangkat sebelah alisnya heran.

"iya deh, ntar di liat." Nayla menjawab cuek. Gadis itu memang selalu terlihat bodo amat.

"pokoknya lu harus datang. Masa udah di ajakin malah gak datang." Kali ini Ica yang memaksa. Dan tanpa Nayla sadari makanan mereka juga sudah habis.

"kan yang ngajakin Anggi bukan Radit'nya. Jadi gapapa dong kalau gue gak datang." Jelas Nayla yang sudah kembali dengan ponselnya.

"yah kan gue ceritanya perwakilan. Gimana sih?"

"yaudah, lu juga perwakilan gue kesana. Gimana?"

Ica dan Anggi menghela nafas kasar "susah emang ngomong sama orang yang gak move on." Sindir Anggi dan hanya di balas dengan anggukan acuh oleh Nayla.

Nayla lalu menghela nafas mengingat percakapan mereka. Ia dilema antara pergi atau tidak.

Sebenarnya dia tidak akan begitu pusing untuk memilih antara pergi atau tidak kalau seandainya kejadian beberapa bulan lalu tidak terjadi antara dia dan Radit. Saat dia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.

"jadi traktirannya es krim nih? Kebetulan banget gue mau nge'eskrim" seru Radit saat baru tiba di tempat makan eskrim dekat tempat kerjanya. Ia lalu mengambil kursi tepat di depan Nayla dengan meja di tengah sebagai penengah keduanya.

"wih keren dong gue, bisa tau apa yang lu mau." Nayla tampak berusaha santai walaupun sebenarnya ia sudah sangat gugup. "mau pesan apa lu?"

"gue coklat vanilla aja deh. Lu?"

"gue mix plus toppingnya kacang." Setelah itu, Nayla bangkit menuju kasir untuk memesan pesanan mereka sekaligus membayar. Setelahnya Nayla kembali ke tempat duduk mereka sambil memperhatikan Radit yang sibuk memainkan game online di ponselnya. Ia tidak mencoba mengalihkan perhatian Radit, jadi dia hanya duduk dengan diam sambil memperhatikan pria itu yang dengan serius bermain.

"apaan lo liat-liat?" Nayla terbelalak karena ternyata Radit menyadarinya. Tapi ia tidak berniat untuk mengalihkan pandangannya jadi ia hanya mengedikkan bahu sambil masih tetap memperhatikan pria itu.

"seru amat ya mainnya? Gue'nya sampai di cuekin." Sindir Nayla lalu mencoba mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel.

Merasa tersindir, pria itu lalu meletakkan ponselnya dan gantian memperhatikan Nayla. "yah, gantian gue yang di cuekin." Katanya sambil menopang dagu dan menatap Nayla. Nayla memperhatikan sekilas lalu kembali memainkan ponselnya. "jadi gue di cuekin nih? Yaudah gue lanjut main aja lagi."

"ya lagian lo duluan sih." Nayla tampak merengek.

"yaudah iya, gue gak main lagi nih." Lanjutnya sambil menunjuk kearah ponselnya yang layarnya sudah menghadap ke meja. Nayla memutar bola matanya lalu ikut meletakkan ponselnya tepat di sampingnya. Namun Radit tiba-tiba mengambil ponsel tersebut dan meletakkannya di samping ponselnya. "biar lu gak refleks ngambil ponsel lu kalau tau-tau ada notifikasi yang masuk."

"dih masa gitu?" Nayla tampak bingung. Sejak kapan mereka makan terus Nayla yang main hp? Yang ada harusnya ponsel Radit yang ia sita.

"tadi yang nyindir buat gak main hp siapa?" ledek Radit dengan muka mengejeknya.

"ya gue sih."

"kan!"

"tapi 'kan gue nyindir elu karena lu mainnya hp mulu kalo ketemuan. Padahal kan niatnya ketemu buat ngomong, bukan buat main hp."

"oooooh jadi mau ngomong? Ngomong apaan sih?" lagi lagi Radit memasang muka mengejek. Lama-lama jelek mukanya baru tau rasa.

Baru Nayla mau bicara, pesanan mereka sudah datang. Wajah Nayla yang tadi jutek karena Radit terus ngajak debat, seketika berubah saat pesanannya sudah ada di depan matanya.

"yeiiiiy eskrim.... Eskrim." Nayla langsung berubah menjadi mode anak kecil sangking senangnya.

"kasian, baru makan eskrim ya neng?" ledek Radit lagi karena melihat Nayla kegirangan.

"iya! Kenapa? Masalah?!" belum cukup semenit ia bahagia, ia segera kembali ke mode jutek karena ledekan Radit. Memang si Radit gak bisa ngeliat Nayla senang sebentar aja.

"jutek banget sih neng. Lagi dapat ya?"

"apa sih Dit. Makan aja tuh es krimnya. Keburu meleleh." Nayla mengacuhkan kalimat Radit lalu mulai menyantap eskrim pesanannya. Ia sampai lupa dengan tujuan utamanya mengajak pria itu ketemuan.

Radit juga mulai menyantap eskrim pesanannya. Dan mereka kembali dalam mode diam. Bukan karena ponsel, tapi karena sibuk menikmati eskrim mereka.

"eh Dit, gue mau tanya deh!" Nayla tiba-tiba bersuara di antara sesapan eskrimnya. Radit lalu mengangkat wajahnya mendengar Nayla mulai bersuara. "kan lu udah tau kalau gue suka sama elu. Nah, gue mau tanya, lu tau gue suka sama elu dari siapa?" Akhirnya. Setelah sekian tahun, akhirnya Nayla memutuskan untuk bertanya. Seketika eskrim di hadapannya jadi tidak menarik lagi baginya.

Radit mengerjap. Mungkin kaget karena Nayla terlalu tiba-tiba. Ia yang baru akan menyendokkan eskrim ke mulutnya mengurungkan niatnya. Ia mencoba mencerna kalimat yang baru di katakan Nayla barusan.

"muka lu biasa aja kali. Gausah kaget begitu." Nayla mencoba meredam rasa gugupnya. Padahal tangan dan kakinya sudah sangat dingin.

Radit tersenyum tipis sembari berdehem. Mencoba membersihkan kerongkongannya yang tiba-tiba menjadi sangat kering. "tumben banget lu?" hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Padahal sepertinya banyak hal yang ingin ia ucapkan.

Nayla tertawa. Terdengar jelas kalau tawanya sangat terpaksa. "ya gak tumben sih. Gue udah mau tanya lu dari jauh-jauh hari. Cuman ya kadang momentnya kurang pas. Jadi, mumpung hari ini gue ada janji buat traktir elu, yaudah, sekalian aja gue tanya'nya." Jelasnya sambil berusaha tersenyum walaupun Radit bisa tau kalau Nayla hanya pura-pura tenang.

Radit memperhatikan Nayla yang sudah kelihatan sangat gugup. Radit bisa tau walaupun gadis itu berusaha mati-matian menutupinya. Jadi ia berusaha untuk mengimbangi gadis itu biar tidak terlalu canggung. "mmm,,, gatau sih. Dari Anggi atau Ica, atau dari Reza mungkin. Gue juga lupa"

Nayla mengangguk paham lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada eskrim yang sudah mulai mencair itu. Entah kenapa ia jadi tidak minat untuk menghabiskan eskrim tersebut. Jadi ia hanya mengaduk-aduknya. Sementara Radit masih memperhatikannya.

"Nay..."

"Dit..."

Keduanya saling bertatapan setelah memanggil nama masing-masing.

"apaan?" Nayla mempersilahkan Radit. Entah kenapa ia jadi susah bernafas.

"gak. Gue Cuma manggil lu." Radit mencoba untuk tersenyum padahal ia sudah merasa aneh. "apaan?"

Nayla menggigit bibir, sembari memperhatikan ke luar ruangan, tidak berani menatap Radit langsung "Dit, kayaknya gue masih suka sama elu deh." Ungkapnya sedikit bergetar lalu memberanikan diri menatap Radit. Masih menggigiti bibirnya. "sorry ya." Dan seketika matanya mulai memanas, padahal ia tidak berniat untuk menangis. Jadi ia kembali mengalihkan pandangannya agar pria itu tidak melihat matanya yang sudah mulai berair.

"gue udah berusaha biar bisa lupain perasaan gue ke elu, tapi gatau kenapa sampai detik ini gue masih aja mikirin elu. Padahal gue udah tau kalau lu ga mungkin bisa suka sama gue tapi gue masih betah buat suka sama elu. Jadi gue pikir, kalau gue jujur sama elu, gue mungkin bisa ilangin perasaan gue. Biar lu gak gue gangguin lagi. Biar kalau ketemu gue bisa santai sama elu, gak ada perasaan baper-baper lagi kalau lu godain gue. Yah, pokoknya biar gue bisa lepas deh. Makanya hari ini gue mutusin buat ngomong sama lu langsung biar gue tenang." Nayla mengela nafas setelah pengakuan panjangnya itu. Ia lalu mengusap air matanya yang sempat mengalir ke pipinya. Lalu mencoba menatap Radit yang ternyata tidak pernah mengalihkan pandangannya dari Nayla.

Gadis itu lalu tersenyum. Lembut banget. Membuat Radit yang melihatnya jadi merasa jahat.

"sorry kalau gue tiba-tiba nangis. Lagian dulu lu juga udah liat gue nangis 'kan?!" Lanjut Nayla sambil nyengir membuat Radit ikut tersenyum tipis.

"Nay,," panggil Radit terdengar seperti bisikan namun masih bisa di dengar Nayla. Sementara yang di panggil hanya menampakkan raut wajah penasaran. "makasih ya udah mau jujur." Nayla baru akan membalas tapi di tahan oleh Radit. "iya, gue tau lu bakal bilang 'santai aja sih Dit.'" membuat Nayla terkekeh untuk pertama kalinya. "harus gue akuin kalau lu itu keren karena berani ngomong langsung, tapi karena gue baru pertama kali ngerasain yang kayak begini jadi gue merasa aneh, tau gak? Gue sama sekali gak nyangka kalau lu bakalan 'confess' perasaan lu ke gue. Padahal gak lu bilang juga sih gue juga udah tau. Jadi gue gak ada bayangan buat jawab apaan ke elu karena elu juga tiba-tiba ngomongnya. Yah, intinya sih gue mau terima kasih udah mau nyimpen perasaan lu ke gue selama ini dan pada akhirnya lu ngelepasin perasaan lu hari ini. Gue tau pasti berat banget, jadi gue sangat sangat berterima kasih sama elu" mendengar pengakuan panjang Radit membuat Nayla tersenyum. Tapi Nayla dapat intinya. Ia di tolak oleh pria itu. Yang berarti ia harus menghindari pria itu untuk sementara waktu.

"siip, sama-sama. Lagian gue udah lega. Setidaknya gue jadi gak penasaran lagi sama perasaan elu, iya kan?!" Radit menaikkan sebelah alisnya sebelah, bingung. Tapi saat baru akan berbicara Nayla kembali berbicara "yah, eskrimnya jadi cair gini." lanjutnya mencoba mengalihkan topic setelah melihat ekspresi wajah Radit. Radit yang mengerti hanya menatap eskrimnya tanpa minat sedikitpun.

Akhirnya keduanya memutuskan untuk diam-diaman selama beberapa menit sampai Nayla berbicara "eh, lu masih pengen disini apa nggak? Soalnya gue mau balik duluan. Tadi udah janjian sama temen soalnya." Nayla berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat santai.

Radit yang baru akan bersuara, terkejut karena Nayla sudah berdiri. Padahal masih ada yang mau dia bicarakan dengan gadis itu tapi melihat gadis itu tampak buru-buru, iapun mengangguk "gue disini aja dulu. Mau lanjut ngegame." bohong. Radit bahkan tidak bersemangat untuk sekedar pegang hp. Jadi ia hanya membuat alasan.

"oh. Oke! Gue duluan kalo gitu. Bye!" Nayla tersenyum lalu berjalan meninggalkan pria itu. Tanpa sadar ia kembali menggigit bibirnya. Entah kenapa matanya kembali panas. Jadi ia berjalan secepat mungkin agar kalau air matanya kembali tumpah, Radit tidak melihatnya. Tapi belum jauh ia berjalan, ia mendengar suara Radit memanggilnya. Nayla berhenti. Lalu mengatur nafasnya agar air matanya tidak jatuh saat berbalik.

"Hp lu ketinggalan." Nayla terkejut. Perasaan ia tidak mendengar suara langkah kaki pria itu, kenapa bisa ia sudah ada di belakangnya.

Nayla menelan liurnya kasar. Harusnya ia terkejut karena ponselnya ketinggalan tapi malah terkejut karena Radit sudah berdiri di hadapannya. "o..oh, astaga hampir ketinggalan. Makasih ya." Sahut Nayla lalu meraih ponselnya. Setelahnya, gadis itu tersenyum lalu kembali meninggalkan Radit.

Sementara Radit hanya berdiam sambil memandangi punggung Nayla yang mulai menjauh. Dan ia tidak tau kalau hari itu adalah pertemuan terakhir mereka. Karena Nayla mulai menghindarinya.

.

.

.

Nayla sudah berdiri di depan pagar rumah abu-abu yang bertuliskan nomor A4 pada ujung atas temboknya. Di dalam sudah ramai. Sepertinya banyak keluarganya yang datang. Ia juga melihat orang tuanya yang sibuk melayani tamu. Lagi-lagi ia menggigit bibirnya. Apa ia pulang saja? Seharusnya ia tidak usah datang. Ia mulai menyesali dirinya yang nekat mengambil resiko untuk tetap datang ke rumah baru Radit. Jadi ia memutuskan untuk kembali ke ujung jalan tempat mobilnya terparkir. Tapi, "Nay..." itu suara Radit. Itu jelas suara Radit. Padahal sudah 5 bulan berlalu tapi ia masih ingat dengan jelas suara itu. Dan bisa ia tebak, pria itu pasti berjalan menghampirinya. Jadi ia berusaha sesantai mungkin agar ia tidak kelihatan kaku.

"oh.. hai." Gagal. Sangat terdengar jelas kalau dirinya sangat canggung bertemu dengan pria itu.

"ngapain berdiri di luar sini? Yuk masuk." Nada suara Radit terdengar lebih lembut dan.... Oh Tuhan, jangan perasaan itu lagi.

"mmm... Anggi sama Ica?" tanya Nayla mencoba meredam perasaan aneh yang ia rasakan.

"belum datang. Tapi kemungkinan udah dekat." Jelas Radit membuat Nayla terbelalak. Kalau Anggi sama Ica belum datang, lalu dia sama siapa?

"dih, yaudah deh. Gue tungguin mereka di mobil aja dulu."

"dih, ngapain? Mending langsung masuk aja. Ada Mamaku kok di dalam." Nayla menelan liurnya kasar. Kenapa harus Mama'nya sih? Kenapa gak sekalian 'ada tukang masak kok di dalam.' Atau 'ada makanan kok di dalam.' Kan lebih santai jadinya. Ia lalu melirik Radit yang sudah berjalan selangkah di hadapannya. Tidak ada yang berubah dari pria itu. Tingginya masih sama. Senyumnya masih sama. Oh tidak. Ia berubah jauh lebih rapi. Nayla tersenyum tipis memikirkan semua itu.

"Dit." Panggil Nayla pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Radit karena pria itu sempat berbalik. "selamat ya." Ucapnya sambil tersenyum menatap Radit yang mulai kebingungan. "selamat soalnya udah punya rumah sendiri. Kapan ya, gue bisa punya rumah hasil keringat gue?"

"cewek tuh gausah punya rumah sendiri. Kan kalau nikah bakal tinggal di rumah suami." Ucap Radit membuat Nayla sedikit kesal. Kesal karena yang di katakan Radit memang benar.

"berarti lu udah siap nikah dong?" pertanyaan Nayla membuat Radit kembali kebingungan. "kan lu udah punya rumah sendiri. Berarti udah siap nikah dong."

"Dit..." Radit dan Nayla berbalik mendengar suara Mama Radit. Seketika Nayla tersenyum saat mata mereka bertemu.

"Assalamualaikum tante." Ucap Nayla sopan sambil menjabat tangan wanita tersebut.

"Waalaikum salam sayang. Sendirian datang'nya?" jawabnya ramah. Nayla tidak heran kalau Radit bisa ramah ke semua orang, Mamanya juga sangat ramah ke semuanya.

"iya Tan, katanya yang lain masih di jalan."

"Yaudah, langsung masuk aja." Wanita berumur sekitar 50 tahunan itu merangkul pundak Nayla lalu membawa gadis itu menuju meja makan. Nayla hanya bisa mengikuti wanita tersebut.

"makasih Tante." Nayla tersenyum saat Ibunya Radit memberikan piring kepadanya.

"gausah malu-malu kalau sama Tante." Nayla tertawa garing. Siapa yang tidak malu kalau berhadapan dengan orang tua dari orang yang kamu suka? Tapi melihat Ibu Radit sangat peduli padanya, ia jadi senang.

Setelah mengambil beberapa makanan ringan –karena ia akan makan berat bareng Anggi dan Ica-, Nayla lalu berjalan keluar rumah mencari sosok Radit. Karena tidak mungkin ia bergabung dengan keluarga Radit di dalam rumah.

"apa kabar nih?" tanya Radit setelah Nayla duduk di sebelahnya bersama sepiring kue di pangkuannya.

Nayla terkejut karena Radit tiba-tiba bertanya padahal ia baru saja duduk di kursi kosong di samping pria itu. "ah? Baik kok."

Pria itu hanya tersenyum lalu kembali memeriksa ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. "ada dimana sih lu? Lama banget sih?" Radit keliatan cukup kesal dengan orang yang sedang menghubunginya.

"lah? Terus gimana?"

"Nayla udah disana?"

"Iya. Lu buruan kesini." Sementara Radit sibuk dengan ponselnya, Nayla lalu mengambil ponselnya. Berniat untuk memainkan benda tersebut selagi Radit menerima telpon dan menunggu kedua sahabatnya yang belum juga datang. Tidak berapa lama Nayla menangkap Radit sudah selesai menerima telpon.

"siapa?" Tanya Nayla yang penasaran.

"mmm, itu. Kayaknya Anggi sama Ica gak bisa kesini deh. Soalnya mereka kena tilang." Nayla kembali terkejut karena penjelasan Radit.

"lah? Kok bisa?"

"ya bisa lah."

"maksud gue, alasan mereka kena tilang tuh kenapa?" Nayla mulai kesal karena Radit hanya menjawab seadanya.

"ya gak tau, mereka juga gak bilang alasannya. Mereka cuma bilang kalaupun datang pasti agak lamaan jadi mereka gak bisa janji." Jelas Radit karena tau kalau Nayla sudah kesal akan susah buat balikin moodnya jadi ceria lagi. Kalaupun tidak ceria, setidaknya ia tidak memasang muka jutek. Itu menurut Radit.

"yah, yaudah deh, habis ini gue langsung pulang aja." Keluh Nayla karena ia merasa sangat asing di tempat itu.

"dih, gak boleh. Lu bahkan belum makan."

"terus ini apaan?" tanya Nayla sambil mengangkat piring yang berisi beberapa brownis.

"kue"

"kue, makanan atau bukan?"

"kue bikin kenyang gak?" bukannya menjawab, pria itu malah ikut memberikan pertanyaan.

"tapi ini'kan makanan."

"iya 'kan levelnya beda, sayang. Ini tuh cuma cemilan."

"iya 'kan tadi lu.... Heh! Lu bilang apa barusan? Jangan bikin gue baper lagi ya! Gue beneran pulang nih!" Nayla mencoba memperingatkan setelah sadar dengan ucapan Radit barusan. Kalau seperti ini, sampai kambing bertelur Nayla bakal gagal Move on kayaknya.

Sementara Radit hanya tersenyum tipis "makanya jangan pulang dulu, soalnya gue masih kangen sama elu."

"di bilangin jangan bikin....."

"Dit, sini dulu deh" ucapan Nayla terputus saat tiba-tiba kakak Radit memanggilnya dan tanpa menunggu lama pria itu meninggalkan Nayla untuk memenuhi panggilan pria barusan.

"Nay, gue pinjam Raditnya bentar ya." Seru pria itu lalu menarik Radit meninggalkan gadis itu yang setengah sadar. Dia tidak terlalu mendengar kalimat kakak laki-laki Radit karena sudah focus dengan satu kata yang di ucapkan Radit barusan. Apa dia bilang? Kangen? Dasar pria tukang modussss... tapi kenapa Nayla masih deg-degan? Padahal sudah 5 bulan mereka tidak bertemu. Harusnya kan sekarang ia sudah bisa santai kalau di modusin sama pria itu.

.

.

.

"jadi udah mau pulang?" tanya Radit sembari memperhatikan jam tangannya.

Nayla tersenyum sambil mengangguk "iya nih, udah malam juga." Jawab gadis itu sopan lalu bangkit dari kursinya. "mau pamit sama Mamamu dulu" Nayla berkata pelan membuat Radit sedikit membungkukkan badannya karena tidak mendengar ucapan Nayla. "mau pamit sama Mamamu." Kali ini suara Nayla sedikit keras jadi Radit bisa mendengarnya dengan jelas.

"Ma..." seru Radit saat melihat Mamanya yang kebetulan keluar rumah. Wanita paruh baya itu segera berbalik kemudian tersenyum saat mendapati anaknya bersama Nayla berjalan menghampirinya.

"Nayla mau pamit dulu Tante. Makasih udah di undang" katanya lalu menyalimi tangan wanita tersebut.

"makasih juga loh udah datang. Sering-sering aja main kesini." Ucapan wanita tersebut membuat Nayla bingung. Menyadari ekspresi wajah Nayla yang kebingungan, wanita itu kembali bersuara "bercanda Nay. Yaudah, kamu hati-hati ya." Karena tidak tau mau membalas apa, Nayla hanya tersenyum lalu berbalik.

"gue balik dulu ya." Katanya pada Radit yang kini berdiri di hadapannya.

"gue anterin sampai mobil."

"gausah. Gue bisa sendiri kok."

"gue yang gak bisa, Nay." Mendengar ucapan Radit, Nayla mengerutkan keningnya heran. Sepertinya sifat bercanda Radit turun dari Mamanya deh.

"apa sih, Dit? Jangan mulai deh." Nayla yang mulai merasa jenuh kemudian berjalan selangkah di hadapan Radit.

Radit hanya tersenyum tipis tanpa bersuara namun masih tetap mengikuti Nayla.

"apaan sih, Radit?" walaupun Nayla sedikit kesal, ia mencoba untuk mempertanyakan sikap Radit barusan, dan beberapa jam yang lalu. Jadi ia menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Radit yang juga sudah berhenti berjalan.

"gak ada apa-apa. Lu pulang aja. Udah malam." Radit mencoba meredam perasaan aneh yang ada di dalam dirinya. Jadi ia mencoba mengabaikannya dengan menyuruh gadis itu pulang.

Nayla menghela nafas kasar. Entah kenapa ia ingin mempertanyakan banyak hal. Ia masih penasaran dengan Radit. Tapi melihat pria itu baik-baik saja, ia menahannya. "yaudah, gak usah ngikutin kalau gak mau ngomong." Jelasnya lalu kembali melanjutkan langkahnya

"dih ngambekan lu." Ledek pria itu sambil tetap mengikuti langkah Nayla.

"bodo amat. Gak usah ngikutin."

"Nay....." Nayla segera berbalik saat namanya di panggil oleh pria itu, tapi tiba-tiba ia sudah merasakan tubuh mereka menyatu. Pria itu dengan cepat memeluk Nayla saat gadis itu berbalik.

Nayla mencoba membaca situasi mereka saat ini. Situasi yang tidak pernah ia alami selama hidupnya. Membayangkannya saja tidak pernah. Apa Radit memeluknya? Di jalanan? Tapi kenapa? "Dit..." Nayla mencoba memanggil nama Radit walaupun sebenarnya rasanya sulit untuk bersuara.

"Nay..."

"Dit, ini di tempat umum loh." Nayla mencoba mengingatkan setelah ia tersadar sepenuhnya.

"Gak bakal ada yang liat. Lagian udah malam juga."

"RADIT!"

Setelah teriakan itu, Radit melepas pelukannya lalu memberi isyarat ke Nayla agar gadis itu tidak ribut.

"lagian elu sih. Ngapain pake peluk sih?"

"kan tadi gue bilang kalau gue kangen."

Nayla menghela nafas kasar. Sudah muak dengan gombalan temannya itu.

"kali ini gue beneran kangen sama elu." Nayla memperhatikan ekspresi wajah Radit di bawah sinar lampu jalan. Tidak seperti biasa saat sedang bercanda. Kali ini Radit tampak serius. Dan itu membuat Nayla tambah gugup. Padahal ia sudah berusaha agar tidak gugup di depan Radit. "sejak waktu itu, gue sadar lu menjauh. Tau gak? Rasanya aneh pas gak ada yang gangguin gue. Biasanya lu bakal ribut kalau debat sama gue. Padahal yang di perdebatkan bukan hal yang penting." Radit menghela nafas pelan. Mungkin memang seharusnya ia mengatakannya malam ini, sebelum gadis itu menghilang lagi.

"Nay, sorry kalau sangat mendadak. Atau mungkin terlalu lama? Intinya, gue butuh elu. Sudah cukup 5 bulan ini gue gak ada yang gangguin. Gue kangen pas elu datang ke ruang kerja gue cuma sekedar bawa susu bear brand. Atau elu yang tiba-tiba semangatin gue di what's app pas gue lagi stress karena pekerjaan. Atau, pas lu minta traktiran yang gue fikir bakal makanan elit tapi ternyata cuma bakso di dekat tempat kerja gue. Gue kangen sama semua hal yang lu lakuin ke gue. 5 bulan udah cukup buat gue pusing karena gak bisa ngehubungin elu soalnya elu blokir gue di semua social media.

"Jadi, malam ini, sebelum lu kembali menghilang, gue mau ngungkapin perasaan gue." Jelas Radit tanpa mengalihkan tatapannya dari mata Nayla. Ia ingin membuat gadis itu percaya kalau kali ini dia tidak sedang bercanda.

"Dit..." nayla menelan liurnya dengan susah payah. Situasi ini sungguh jauh di luar bayangannya. Ia tidak pernah menyangka kalau temannya itu akan membalasnya. Tapi setelah berbulan-bulan? "tau gak kenapa gue menjauh?" mendengar pertanyaan Nayla, Radit segera menggeleng. "karena gue takut kalau gue ketemu sama elu, ternyata gue gak bisa konsisten sama ucapan gue dulu. Gue ngejauhin elu karena gue pikir dengan cara itu gue bisa lupain elu. Tapi ternyata gue salah. Bahkan setelah beberapa bulan gue lewatin, hanya dengan liat elu jalan ngehampirin gue tadi, gue sadar kalau usaha itu gak berpengaruh. Karena ternyata perasaan itu masih ada.

"tapi, gue juga gak pernah membayangkan kalau lu bakal balik suka sama gue. Gue takut kalau gue berharap, gue malah kecewa. Sumpah Dit, ini tuh di luar bayangan gue. Jadi gue gak tau harus gimana." Jelas Nayla yang tanpa sadar sudah meneteskan banyak air mata.

"Nay, sumpah. Gue gak ada maksud buat bikin lu menunggu, atau kecewa, atau apapun itu. Gue cuma takut kalau langkah yang gue ambil ternyata salah."

"lalu sekarang? Lu udah yakin sama langkah yang lu ambil?" Tanya Nayla mencoba membuat suaranya setenang mungkin.

Radit terlihat mengangguk mantap "kali ini gue serius Nay."

"kalau ternyata perasaan gue udah berubah?" Nayla bertanya penasaran. Bagaimana pun tadi ia sudah mengatakan kalau perasaannya masih sama.

"berarti gue harus terima. Karena gue sadar, usaha gue gak sebesar usaha elu." Jawab Radit santai. "jadi kalau memang ternyata lu udah gak seperti dulu, yaudah. Gue gak bakal gangguin elu mulai sekarang." Nayla mendengus mendengar jawaban Radit. Ia kesal, kenapa pria itu selalu bisa membuat dia percaya dengan kata-katanya. Sementara Radit tampak tersenyum lebar. Ia tau kalau Nayla pasti kesal sama dia "jadi?" tanya Radit kemudian sambil menaik-turunkan alisnya. Ia juga sedikit mencondongkan badannya agar bisa menyamai tinggi gadis itu.

"apa?" tanya Nayla tanpa menatap kearah Radit. Ia sadar kalau pria itu hanya mau mempermainkannya padahal ia yakin kalau Radit sudah tau jawabannya.

"jadi gak nih?" ledek Radit sambil memainkan kepalanya di hadapan gadis itu.

"apa sih Dit. Kalau udah tau gak usah di tanya kali."

"apaan? Gue gak tau makanya gue nanya. Gimana sih?"

Nayla kembali mendengus lalu bergegas meninggalkan Radit tapi pria itu menahan tangan gadis itu.

"iya iya. Gak usah ngambek gitu kali." Ledek Radit sambil mencolek dagu Nayla.

Nayla merengut "gue gak ngambek tau. Gue malu!"

"diiih, bisa malu juga lu?"

"ya bisalah. Emangnya elu, gak tau malu"

"gak tau malu gini, tapi lu betah betah aja suka sama gue"

"udah ah, gue mau pulang aja. Kelamaan disini bisa-bisa tekanan darah gue naik lagi." Keluh gadis itu lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Ia menyesal kenapa tadi ia harus memarkir mobilnya sangat jauh?

Sementara Radit di belakang hanya tertawa melihat Nayla yang sudah mulai mengeluhkan banyak hal.

"Nay..." panggil Radit lembut. Sementara yang di panggil hanya menyahut singkat tanpa menghentikan langkahnya.

"Naay..." Radit kembali memanggil, kali ini lebih keras, tapi Nayla tetap menolak untuk berhenti dan berbalik.

"Naaaaay"

"Apa sih Radit?" karena tau pria itu akan terus memanggilnya jadi ia memutuskan untuk berbalik sebentar. Dan, lagi-lagi Radit memeluk gadis itu. Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka berpelukan, tapi Radit sudah kangen dengan tubuh ramping gadis itu. Dan tentu saja, kali ini Nayla membalas pelukan tersebut.

"Makasih yah."

"jangan mulai Dit. Lu gak liat apa tadi gue udah nangis gara-gara elu."

"kan nangisnya nangis bahagia." Seru Radit sembari mempererat pelukan mereka. Nayla tersenyum sambil membalas pelukan mereka dan memhirup aroma pria tersebut. "Nay...."

"hmm..." tanya gadis itu lembut.

Radit kemudian melepaskan pelukan mereka "pulang gih."

Nayla menautkan alisnya heran. Apaan sih Radit? "tadi gue udah mau pulang tapi lu manggil-manggil mulu. Sekarang tiba-tiba di suruh pulang. Aneh banget sih lu?"

"iya, apalagi kalau gak ada elu, aneh banget perasaan gue."

"GAK JELAS. Udah ah, beneran pulang gue." Katanya acuh lalu membuka pintu mobilnya.

Radit tertawa lepas. Mengerjai Nayla memang selalu membuatnya bahagia. Entah kenapa gadis itu selalu membuatnya tersenyum.

Nayla menurunkan kaca mobilnya untuk menghilangkan jarak pandang mereka. "gue pulang ya?!"

"iya. Hati-hati lu." Radit memperingatkan.

"siap boss" Nayla memberikan postur hormat kearah Radit sambil tertawa. "bye" katanya lagi lalu mulai meninggalkan Radit.

Dan siapa yang sangka kalau ternyata perasaan sabar Nayla selama 5 tahun membuahkan hasil bahagia malam ini? ia jadi mau berterima kasih dengan sahabatnya yang menyuruhnya datang tapi ternyata malah mereka yang batal, dan jadilah ia banyak meluangkan waktunya bersama Radit sampai akhirnya malam ini perasaan keduanya bisa lepas dengan beban penasaran dan berakhir bahagia.

.

.

.

Halo, selamat datang di cerita ku. Ngomong-ngomong ada yang baca kan?

Kalau ada yang baca terus suka komen ya? :)

Karena ini cerita yang baru dengan penulis yang baru, saya mohon maaf ya kalau ada kalimatnya yang tidak tersampaikan di pembaca, soalnya saya baru menulis lagi setelah sekian lama jadi mungkin kalimatnya ada yang sedikit kaku, mohon di maklumi ya.

Terima kasih sudah membaca. :)

Salam 'Violet_bluee