webnovel

My Soully Angel (Jodoh Sang Dewa Api)

Yafizan - Diturunkan ke bumi akibat serangan fatal dari kekuatannya membuat seorang gadis meninggal karena melindungi adik calon suaminya. Dia selalu bersikap arogant dengan emosi yang meluap - luap karena sifat alami apinya. Tinggal di bumi hampir seribu tahun lamanya bersama asisten yang diperintahkan untuk menjaganya selama di bumi. 1000 tahun kemudian dia dipertemukan dengan reikarnasi gadis yang tanpa sengaja diserangnya, dan gadis itu selalu menolongnya sedari kecil - Soully. Kejadian tak terduga membuatnya keduanya terikat dalam pernikahan.

GigiKaka · แฟนตาซี
Not enough ratings
100 Chs

Bab 66

Seorang pengawal beserta dayang muda yang lain berlari tergopoh menghampiri sang ratu.

"Maaf, Yang Mulia. Pangeran, dia..." ucap mereka dengan gugup.

Tanpa menunggu apa yang ingin dikatakan mereka, ibu ratu segera menuju ke arah depan.

***

"JAWAB?!! Apa aku MONSTER jahat?!!!" teriak Yafizan penuh penekanan. Ia sudah mencengkram leher sang penjaga pintu tadi yang terjebak dalam situasinya.

"Ti-tidak, Tu-an," ucap penjaga merasa tercekik.

Tangan kiri Yafizan sudah mengangkat ke atas seakan ingin segera melepaskan bara apinya.

Menjadikan korban dari salah satu pengawal sudah tak asing bagi lingkungan istana karena sikap arogant tuan mudanya yang begitu emosional. Mereka sudah mengetahui sifat buruk tuan mudanya itu. Namun, tak pula menghilangkan sikap hormat pada tuan mudanya karena kebaikannya yang lebih dominan.

"HENTIKAN, NAK!" seru ibu ratu.

Teriakannya membuat Yafizan berhenti dan melepaskan cengkramannya, namun tak bisa menghilangkan bara api dari jiwanya. Penjaga itu pun terbatuk memegang lehernya.

"Ibu...Hhh, apa Ibu juga sama takutnya padaku?" ucapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Tidak, Nak." Ibu ratu mendekat.

"JANGAN MENDEKAT!!" Teriak Yafizan. "Aku bisa menyakiti ibu. Tangan sialan ini juga menyakiti tunanganku, Bu..." Yafizan melihat kedua telapak tangannya yang sudah mengeluarkan cahaya merah. Bahkan, iris matanya pun kini memerah.

"Tidak, Nak. Jangan seperti itu. Tenanglah..." Ibu ratu menenangkan, ia tahu putranya sudah di luar batas. Kekuatannya harus dilampiaskan agar menjadi normal kembali.

"Bahkan ibu juga menangis..." Yafizan terisak parau, walaupun dirinya sudah seperti monster yang siap menyerang dan memporak-porandakan sekitarnya . "Aku memang tidak berguna, bahkan calon istriku sendiri takut dan selalu menghindariku." Ia berjalan mundur. "Tapi kalian juga sama, kalian takut padaku! Apa aku memang MONSTER yang menakutkan?!!" tatapannya kembali nyalang menatap sang penjaga yang tak sempat melarikan diri.

Yafizan mengangkat tangannya, siap menyerang. Ingin melampiaskan bara apinya yang sudah mendarah daging di seluruh jiwanya. Orang-orang di sekitarnya sudah menunduk, bergidik ngeri. Sudah terbayang apa yang akan terjadi kepada korban pelampiasan tuan mudanya itu selanjutnya. Walaupun sesudahnya, pihak keluarga istana termasuk sang tuan muda akan bertanggung jawab sepenuhnya atas perlakuannya.

TAPP

Seseorang menangkap tangannya. Memegangnya dengan erat, menurunkan tangan yang sempat terangkat ingin menghempaskan kekuatannya.

"Kau tidak menakutkan, tapi kau sungguh menyebalkan!" seru seorang gadis mungil yang tingginya hanya sedada lelaki yang ada di hadapannya itu. Malika.

Cahaya merah itu seketika berubah menjadi biru dengan sentuhan putih yang menyejukkan. Bara panasnya, mendingin. Yafizan menatap dalam wajah gadis yang berani memegang tangannya, bahkan mencengkramnya erat.

"Kau bukan monster, tapi kau hanya banteng yang sembarangan mencium orang lain." Malika melepas genggamannya, lalu ia menundukkan tubuhnya, berjongkok ke bawah di hadapan pria yang sedang tak bergeming di tempatnya.

Tanpa segan dan merasa canggung, Malika mengangkat kaki Yafizan. Hampir saja Yafizan kehilangan keseimbangannya, seketika ia mencengkram ornamen hiasan rambut kepala Malika hingga terlepas, gulungan hiasan rambutnya yang tadinya mengembul ke atas, kini terurai hingga terjatuh menjuntai dengan indahnya, membentuk rambut ikal yang cantik.

Yafizan menyaksikan langsung keindahan rambut panjang yang tergerai indah itu, walaupun Malika dalam posisi tertunduk. Malika tak mempedulikan hiasan rambutnya, ia memang merasa nyaman tanpa banyak hiasan rambut di kepalanya. Kepalanya terasa ringan.

Masih dengan posisi berjongkok ia mengangkat kaki Yafizan. Malika mengarahkan telapak tangannya yang mungil ke bawah kakinya, membersihkan telapak kakinya yang kotor akibat berjalan tanpa menggunakan sepatunya.

Satu persatu, tangan Malika membersihkan kaki Yafizan. Mengusapnya pelan lalu menyodorkan sepatu bernoda kuah pedasnya, memakaikannya. Ia menepuk sepatu mahal kerajaan itu yang sudah terpasang di kedua kaki sang tuan muda. Selesai.

Sang ibu ratu menyaksikan pemandangan dengan adegan nyata yang membuatnya terharu.

Malika berdiri, rambut ikal mayang hitamnya tergerai ikut-ikutan bergerak, bergoyang seirama gerak tubuhnya. Ia tersenyum melihat kaki Yafizan yang sudah memakai sepatunya walaupun terkena sedikit noda. Ia menepuk-nepuk membersihkan telapak tangannya. Yafizan menatap wajah natural Malika dengan rambut panjangnya yang tergerai indah. Cantik, sangat cantik.

"Aku tahu, dengan uang dan kekuasaanmu kau bisa membeli sepasang, tidak! Mungkin sepuluh pasang sepatu berbahan kualitas seperti ini. Tapi sayangilah apa yang sudah menjadi milikmu. Maaf, aku mengotori sepatumu. Tapi, seharusnya kau jangan menyiksa diri dengan menyakiti kakimu," ucap Malika. Yafizan masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ehm...dicuci juga pasti hilang nodanya..." Malika mulai merasa canggung ditatap Yafizan seperti itu. Apa lagi, sebersit bayangan saat lelaki itu menciumnya, menghantui fikirannya. Segera ia mengalihkan pandangannya.

"Maaf..." Malika salah tingkah. "Karena sudah mengotori sepatumu," imbuhnya canggung. Ia segera melangkahkan kakinya menghindar karena tatapan Yafizan membuatnya merasa canggung.

"Apa...kau tak menyuruhku masuk ke dalam?" tanyanya dengan terkekeh, merasa kikuk. "Kak Mayra...dia..."

"Siapa gadis cantik ini, Nak?" sahut ibu ratu menghampiri dua insan yang sejak tadi di perhatikannya.

Ibu ratu dan yang lainnya bernafas lega saat keadaan menjadi tenang. Cahaya biru dan putih apa itu? Mereka baru melihat kejadian langka seperti itu. Bahkan iris mata sang pangeran sudah normal kembali.

"Salam, Yang Mulia. Nama saya Malika," sahut Malika memperkenalkan diri memberi hormat.

"Jangan seperti itu. Kau..."

"Aku saudara Kak Mayra lebih tepatnya..." Malika menghentikan ucapannya. Mau bilang calon istri kakaknya, ia tak kuasa, karena Miller masih belum mengakuinya.

"Bibi, Malika," sahut seseorang, Mayra.

"Mayra, apa dia saudarimu?" tanya ibu ratu. Mayra gelagapan, ia memang melupakan Malika tadi.

"Pangeran, apa kau sudah baik-baik saja?" alih-alih menjawab ibu ratu, Mayra mengalihkan dengan bertanya.

"Sudah? Tsk." Yafizan mendesis hampir tak terdengar. Kata 'sudah' itu seolah menohoknya keras bahwa ia tak baik-baik saja tadi.

"Ayo, kemarilah. Kita masuk ke dalam. Ibu sudah membuat banyak makanan dan cemilan," ajak ibu ratu. Diikuti dayangnya.

"Kalian masuklah terlebih dulu," perintah Yafizan. Mayra dan Erick pun berlalu, diikuti Malika yang hendak menyusulnya dari belakang.

"Kau ikut aku," ajak Yafi pada Malika.

"Aku?" Malika menghentikan langkahnya dan menunjuk dirinya sendiri.

Tanpa berkata, Yafizan melangkah ingin diikuti. "Cepat, ikuti aku!" perintahnya tanpa penolakan.

Mau tak mau Malika mengikutinya. Dengan kesal ia menghentakkan kakinya.

Sang ibu ratu menyunggingkan senyuman cerah di bibirnya. Baru sekarang, ada perempuan tangguh yang tak takut pada putranya, bahkan dirinya bagai penawar yang bisa meredamkan amarahnya. Cahaya biru tadi, membuktikan bahwa setiap kekurangan, akan ada seseorang yang melengkapi kekurangan itu.

.

.

.

"Ada apa? Cepatlah katakan di sini saja. Kau mau membawaku ke mana lagi?" tanya Malika saat dirasa Yafizan sudah mengajaknya berjalan cukup jauh. Istana itu luas, tentu saja, hanya ke taman saja mereka harus berjalan cukup jauh.

"Lemah sekali," ucap Yafizan mencibir.

"Kau membawaku ke sini hanya untuk mencibirku saja? Kalau tak ada hal penting yang mau dibicarakan, sebaiknya aku pergi. Kau sungguh membuang waktuku." Malika hendak pergi, namun tangan Yafizan menahannya sehingga tubuh Malika refleks tersentak ke dalam pelukan Yafizan.

Ada rasa tak biasa ketika Yafizan mendekap Malika. Jantungnya berdetak kencang. Angin berhembus membuat rambut ikal Malika berhambur. Cantik.

Malika segera menjauhkan tubuhnya. Tanpa berucap lagi, ia segera pergi meninggalkan Yafizan.

"Siapa kau sebenarnya?" Pertanyaan Yafizan menahan langkah Malika.

"Apa maksudmu?" Malika berbalik.

"Cahaya ini!" Yafizan mengangkat tangannya. Menunjukan cahaya biru yang hendak memudar menjadi normal.

"Kenapa memangnya dengan tanganmu? Cahaya biru itu? Bukankah itu berasal dari kekuatanmu?"

"Kau yang membuat cahaya biru ini," seru Yafizan. Malika membulatkan matanya tak percaya.

"Oh ayolah, lelucon macam apa ini? Baiklah jika kau merasa frustasi karena kelakuanku, aku minta maaf. Aku mengotori sepatumu itu, aku juga minta maaf. Dan mengataimu banteng, aku juga minta maaf." Malika mencoba berdamai. "Walaupun sebenarnya ini tidak adil. Kau yang memperlakukan diriku seperti perempuan murahan yang rela dikata-katai juga dicium seenaknya di tengah keramaian. Alih-alih meminta maaf, kau malah menyudutkanku hanya gara-gara kau mengira aku Kak Mayra," sedih Malika sekaligus malu mengingat ia dicium Yafizan tadi.

"Maaf, sebaiknya kita tak usah mempermasalahkan hal ini lagi. Kau tunangan kak Mayra dan aku calon istri kakaknya. Kita saling kenal selayaknya saja, Tuan Muda," tegasnya lalu pergi.

"Tunggu! Apa maksudmu kau perempuan yang dijodohkan dengan Miller?" tanya Yafizan tak percaya.

"Ya, aku calon istrinya. Kudengar kalian dekat. Aku harap kejadian di pasar raya tadi, jangan sampai ke telinganya," ujar Malika, kali ini ia benar-benar pergi meninggalkannya.

Yafizan terdiam tanpa kata. Ia melihat mata sendu Malika. Ya, seharusnya ia meminta maaf.

Seperti tertahan, ia tak bisa mengejar Malika. Yafizan menutup kedua matanya, menghembuskan nafasnya kasar.

Kejadian di pasar raya tadi membuatnya tak enak sekaligus terselip rasa senang dalam hatinya.

Kenapa aku sebahagia ini mengingat kejadian tadi? Dan kenapa hatiku sakit ketika sosoknya pergi menjauh dariku? Terlebih saat mengetahui jika ia sudah menjadi milik orang lain, padahal dirinya pun sudah bertunangan. Entah mengapa...

***

Bersambung...