webnovel

My Mantan My Imam

Winda harus mengalah jika dirinya memang harus menikah dengan mantan kekasihnya, dulu.

gongjumin15_ · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
1 Chs

Bab-I My Mantan My Imam

"Bu, jangan bercanda seperti itu. Winda nggak suka."

"Win, ini semua sudah di atur. Tidak bisa lagi di batalkan, bahkan undangan akan dicetak!" ujar Melati, ibunya Winda.

Winda meremas ujung bajunya, mencoba meredam emosinya agar tidak meluap-luap.

"Salah kamu sendiri, mengenalkan Ardi pada kakekmu," sungut Melati.

"Sabar Winda!" gumam Winda dengan helaan napas beratnya.

"Kenapa sulung keluarga Prakostama? Bukankah ada dua anak laki-laki di keluarga itu?" tanya Winda.

Dengan entengnya Melati menjawab, "Karena kamu pernah pacaran dulu dengannya, maka dari itu kakekmu memilih untuk menjodohkanmu dengannya."

Rasa-rasanya Winda ingin ditenggelamkan saja, menikah dengan mantan? Tidak, tidak mungkin.

"Bu, bantuin Winda gagalkan perjodoham ini." Melas Winda berlutut dihadapan Ibunya.

Menghela napas, lalu menggeleng. Winda luruh ke lantai seketika. Ingin menangis tapi apa yang harus di tangisi? Nasib? Takdir?.

"Kenapa juga aku dulu mengenalkan Ardi si brengsek itu pada kakek! Ini sudah dua tahun yang lalu, aku sudah melupakan semuanya. Juga sikap Ardi yang cuek bebek itu."

Winda berdiri berjalan ke kamarnya untuk mengambil tas slempang dan ponselnya.

Memesan ojek online dan segera menemui sulung Prakostama itu. "Kali ini perjodohan tidak akan terjadi, aku yakin Ardi juga tidak mau" sampai di depan gerbang, ojol pesanannya sudah sampai di depan.

"Cepat juga" batin Winda.

Dalam perjalanan, Winda tak henti-hemtinya merapalkan ayat kursi. Semoga setan itu menyetujui jika perjodohan itu batal. Bahkan harus batal sekarang juga.

Apakah ada yang membenci mantan? Kalau iya, sama Winda sebenarnya juga membenci apalagi kelakuan Ardi dulu sebelum mereka putus. Bahkan Wina memergoki Ardi sedang makan bersama dengan perempuan, sahabatnya lebih tepatnya.

Sakit bukan? Detik itu juga Winda memutuskan hubungan mereka. Tidak peduli dengan Ardi yang memohon pada Winda.

"Stop!" tutur Winda setelah sampai di depan gedung perusahaan Prakostama itu.

Setelah memberikan uang, Winda berjalan menapaki masa lalu. Dulu Winda juga sering di ajak ke perusahaan Ardi. Apa semua masih sama?

Tanpa memrdulikan resepsionis depan, Winda terus berjalan hingga menuju lift.

"Semua masih sama, bahkan dua tahun berlalu," gumam Winda.

Memencet tombol 10, yang artinya tempat paling tinggi di gedung ini. Juga, dimana Ardi berada. Mungkin jika masih sama.

Tanpa memerdulikan tatapan aneh dari karyawan, Winda menulikan pendengaran dan bersiap memuntahkan emosi pada mantannya.

Sampai di lantai 10, Winda di sambut beberapa orang. Juga sampai di depan meja sekretaris, di sambut baik.

"Em, Apa Brama ada?" Brama Ardi Prakostama nama lengkapnya. Winda masih hapal orang yang membuatnya menangis berhari-hari itu.

Sekretaris itu sempat terkejut, "Eh, Mbak Winda ya?" Winda mengangguk kaku, bahkan Sekretaris Ardi masih mengingatnya.

"Ada, kebetulan tadi selesai meeting. Sebentar, saya bicara dengan Pak Brama dulu."

Winda menunggu sekretaris itu yang menghubungi Ardi. "Masuk aja mbak, sudah ditunggu. Perlu saya antar?"

"Tidak usah." Winda lekas menuju pintu ruang Ardi. Tanganya menggantung di udara saat mengetuk pintu. Mendadak Winda merasa aneh.

Tok tok tok

Berhasil, terdengar 'Masuk!' dari dalam sana. Winda memegang pegangan pintu dan membukanya.

Aroma mint, pertamakali menyapa Winda. "Huh, kenapa grogi?" batin Winda.

"Ada apa?" tanya Ardi dingin.

"Ck, tanpa basa-basi. Baguslah aku juga tidak ingin berlama-lama di sini," batin Winda kesal.

Ardi melihat ke arah Winda, merasakan ada perubahan Winda yang sangat terlihat. Mukai dari pakaian yang Winda kenakan. Lebih tertutup.

"Apa saya tidak di persilahkan duduk?"

"Oh, silahkan duduk," balas Ardi.

"Saya mau membicarakan tentang perjodohan itu," ujar Winda memulai pembicaraan serius ini.

Berkas-berkas di tangan Ardi di letakannya di meja. Melepas Jas kebanggaanya.

Ardi memundurkan tubuhnya rileks, menyandarkannya pada kursi kebesaranya.

Meniti wajah Winda yang seakan terbakar emosi. "Kenapa dengan perjodohan itu?"

"Aku.. Eh Saya ingin perjodohan itu di batalkan!" kata Winda menatap Ardi sebentar.

"Tidak bisa!" Winda langsung melihat ke Ardi lagi. "Kenapa tidak bisa?" tanya Winda.

"Anda ingin tahu? Baiklah akan saya beritahu" jeda sejenak. Ardi memajukan tubuhnya.

"Hutang keluarga mu," perkataan Ardi membuat Winda lemas.

"Hut.. tang?" anggukan sombong Ardi menjawab pertanyaan dari Winda.

"Berapa hutang keluarga ku? Mungkin aku bisa menggantinya," jawab Winda.

"Anda yakin? Jangan bercanda. Silahkan baca dulu sebelum anda membayar hutangnya." Ardi memberi sebuah map.

Dengan sigap Winda menerima berkas itu dan segera membacanya.

Mata Winda melotot saat melihat angka yang tertera dalam kertas itu.

"Tiga Miliar!" batin Winda.

"Menjual diri pun aku tidak akan bisa melunasinya," gumam Winda yang terdengar Ardi.Ardi sempat terkejut mendengar gimana Winda.

"Anda mau menjual diri?" tanya Ardi dengan senyum sinisnya.

"Bukan urusan anda tuan," jawab Winda.

Menghela napas kasar, Winda serasa melebur menjadi air saat itu juga. Perjodohan? Hutang? Kenapa harus Ardi.

"Pokoknya perjodohan ini harus batal." Tangis Winda mulai terdengar.

"Kita tidak saling mencintai, kenapa perjodohan ini ada!" curahan Winda seiring dengan air mata tertahan.

"Perjodohan ini akan tetap di laksanakan. Kalau sampai batal kakekmu bisa dipenjara sekarang juga!"

"Minggu depan adalah hari pernikahannya, jadi tolong jangan membahas pembatalan perjodohan!" Tegas Ardi.

"Ardi, aku mohon."

"Maaf" jawab Ardi terkejut saat Winda menyebut namanya. Winda sontak berdiri, menghapus air mata sia-sianya.

"Baiklah, saya akan menerimanya!" membenarkan tas slempang Winda segera keluar dari ruangan Ardi.

...

(Ardi )

Winda, nama seorang gadis masa lalu yang membuatku tidak bisa melupakannya.

Bahkan sampai aku melihat kembali Winda, dengan penampilan yang berbeda membuatku tertegun.

Sedikit khawatir saat ia mengatakan akan menjual dirinya. Aku berasa di timpa robohan.

Kenapa aku memikirkannya?

Melihat nya menangis membuatku ingin merengkuhnya. Mendengar namaku di sebut seperti dulu rasanya hatiku mendingin. Darahku seakan berdesir.

"Fin, tolong suruh orang untuk mengikuti Winda. Pastikan ia sampai dengan selamat."

Ah, kenapa aku peduli padanya.