Keesokan harinya. Seperti biasa aku bangun lebih awal dari yang lain. Fikram ternyata tidur di ruang tengah di atas sofa. Aku ke dapur untuk menghilangkan rasa haus. Setelah minum, terlihat Fikram pun sudah bangun dan hendak masuk ke wc.
"Ayah semalam pulang?" tanyaku.
"Dia pulang bersama ibu," katanya lalu menutup pintu wc.
Aku akan menelepon ibu nanti untuk memastikan ibu baik-baik saja. Ketika sedang asyik memainkan ponsel, Fikram dan Vina berpapasan. Aku menahan tawa melihat Fikram yang salah tingkah di depan perempuan. Aku hanya berdeham. Fikram pun langsung pergi.
"Dia kenapa sih Dit? Kok enggak mau nikah sama aku? Memangnya ada masalah apa sih dia sampai dia seperti itu?" tanyanya kesal.
"Dia belum terbiasa saja," jawabku singkat lalu meninggalkannya di dapur.
Kembali ke kamar, melihat Kayla sedang mengganti popok Clarisa.
"Harusnya kamu beritahu aku, biar aku yang menggantinya," ujarku sambil berjalan mendekatinya.
"Tidak apa-apa sayang, lagi pula aku senang melakukannya." Kayla menggendong bayinya. "Sayang, nanti siang jadi kan pengajiannya?"
Aku hanya menganggukkan kepala. Dia pun bersandar padaku. Mengecup pucuk kepalanya. Ketika aku sedang asyik berbincang dengan istriku, seseorang mengetuk pintu kamarku. Melenggangkan kaki menuju pintu.
"Ada apa?" tanyaku begitu membuka pintu.
"Kita bicara di luar," kata Fikram.
"Baiklah," jawabku. "Aku keluar sebentar, kalau ada sesuatu yang kamu perlukan panggil aku saja," pesanku pada Kayla.
Kayla hanya mengangguk. Aku pun ke halaman belakang, supaya pembicaraan kami tidak ada yang mendengar. Karena sepertinya pembahasannya penting sehingga tidak mau membicarakannya di depan Kayla.
"Sorry, aku lengah," katanya. "Semalam ketika kamu pergi ke minimarket bertemu siapa?"
"Bertemu Bunga, kamu tahu kan karyawan di perusahaan? Hanya bertemu dia semalam," jawabku.
"Astaga. Seseorang membuat gosip lagi. Sudah aku bilang biarkan aku atau Rena saja yang menemuinya," ujar Fikram dengan agak kesal.
"Bagus kalian sedang ada di sini."
Aku dan Fikram langsung melihat ke arah suara itu. Ternyata Rival.
"Fik, bisa kan hapus artikel itu?" tanya Rival.
"Loh, kau sudah mengetahuinya?" tanyaku heran.
"Ya, barusan aku lihat media sosial dan lagi-lagi kau populer," jawab Rival.
Aku tak habis pikir dengan paparazi yang masih membuntutiku padahal aku bukan siapa-siapa sekarang. Menghela napas panjang. Tidak mungkin itu ibunya Sherlin yang memulai pembalasan dendamnya.
"Aku bisa menghapus dan melacaknya, hanya saja aku butuh waktu untuk itu. Karena sepertinya ini di buat lebih rapi tidak seperti sebelumnya," ucap Fikram.
"Ya, aku lihat di media sosial juga akunnya baru yang menyebarkannya itu," timpas Rival.
"Baiklah, aku percayakan pada kalian. Aku ada urusan lain untukku tangani," jawabku.
Mereka mengangguk paham. Hari berlalu begitu cepat. Acara syukuran berjalan dengan lancar tanpa hambatan kekacauan seperti dulu. Kayla sudah mengetahui rumor baru yang beredar sekarang, bahkan kakak-kakakku juga sudah mengetahuinya. Mereka sudah tidak asing lagi dengan rumorku itu, hanya saja kak Tyas yang masih belum terbiasa karena takut aku akan melukai adiknya itu. Aku meyakinkannya bahwa semua akan aku selesaikan. Mereka pun pulang.
"Fikram bagaimana sekarang? Sudah selesai?" tanyaku.
"Iya, lebih baik kita membicarakannya di dalam," ujar Fikram.
Kami memang masih berada di luar mengantar kakak-kakakku sampai depan. Aku membantu Kayla duduk di sofa.
"Langsung saja ke intinya. Aku sudah menemukan akun yang membuat rumor itu, dan benar itu adalah akun palsu. Dan dia membuka akun itu di warnet supaya tidak terdeteksi. Hanya saja aku sudah datang ke tempatnya. Awalnya anak buahku tidak diizinkan untuk melakukan investigasi entah apa yang dia buat akhirnya penjaganya memberi izin dan memperlihatkan padanya ternyata seorang pria. Jarang perempuan yang datang ke warnet sana," jelas Fikram.
"Oh astaga. Kenapa dipersulit sih?" gumamku. "Ada rekamannya? Aku ingin melihatnya."
Fikram menunjukkan rekaman CCTV-nya. Tidak begitu jelas, hanya saja caranya berjalan tidak asing.
"kok aku merasa tidak asing ya?" gumam Kayla.
"Apa kamu tahu orangnya?" tanyaku.
"Tidak. Nanti kalau aku ingat akan aku beritahu," jawabnya.
Kayla meminta izin untuk beristirahat di kamar sekalian menidurkan Clarisa yang sudah terlelap di pangkuan Kayla. Khawatir terjadi sesuatu pada Kayla, aku mengantarkannya ke kamar.
Ketika aku kembali ke ruang tengah, Vina sudah tidak ada di sana.
"Tadi temannya Kayla pamit, mungkin karena dia ini nih," ucap Rival sambil menuduhkan pada Fikram.
"Memangnya kenapa honey?" tanya Feni istrinya Rival.
"Dia menolak cewek tadi," jawab Rival.
"Pantas saja saat tadi Fikram bicara dia menatap Fikram begitu lekat, aku lihat dari matanya ada cinta sekaligus kecewa juga."
"Sudah kubilang kan. Dia mencintaimu tanpa alasan apapun," timpasku sambil duduk di tempat tadi.
"Sudahlah. Jadi ini bagaimana? Terlalu sulit untuk kasus ini, pelakunya membuatnya dengan sangat rapi. Menggunakan data palsu semua," kata Fikram yang mengalihkan pembicaraan.
"Kita istirahat dulu saja, lagi pula Rival besok harus bekerja kan? Kita lanjut kalau menemukan tanda-tanda baru," ujarku.
"Baiklah. Kalau begitu kami pulang dulu. Aku kangen istriku," kataku Rival.
"Aku kan di sini honey," sahut Feni.
"Ayo kita main, sudah lama kan?" Ujar Rival.
"Honey jangan bahas itu di sini, malu."
Mereka pun pamit pergi dengan anak laki-lakinya yang membuntuti dari belakang.
"Kamu enggak ingin bikin anak gitu? Enak loh," ejekku karena hanya Fikram yang belum menikah.
"Berisik!"
Aku hanya tertawa melihatnya kesal seperti itu. Kayla kembali. Dia duduk lagi di sebelahku. Memberitahu bahwa cara berjalan dan postur tubuh pria yang ada di rekaman itu mirip dengan sopir Raka. Sudah beberapa bulan terakhir ini Raka tidak menemui Kayla. Cukup senang, hanya saja dia sekarang benar-benar hilang dan tidak menghubungi Kayla seperti biasanya.
"Kamu yakin itu sayang?" tanyaku memastikan.
"Iya. Tapi masa iya rumor kali ini Raka yang buat."
"Bisa saja. Dia kan mencintaimu," ucapku ketus.
"Ayolah sayang, enggak usah cemburu begitu, sekarang kan aku sudah jadi milikmu," kata Kayla sambil melingkarkan lengannya di leherku.
Fikram pun berdeham. Mungkin supaya aku dan Kayla tidak mengumbar kemesraan. Kayla yang tersadar akan itu, melepaskan tangannya.
"Ngomong-ngomong, kenapa tidak mau sama temanku?" tanya Kayla.
Entah kenapa Fikram terdiam, seolah pertanyaan yang Kayla lontarkan itu sulit.
"Ti-tidak. Aku hanya belum siap," jawab Fikram.
"Baiklah, aku akan memberitahu Vina nanti. Dia sudah cukup terluka oleh mantannya, aku harap kamu tidak menyakitinya lagi," ujarnya yang mengintimidasi.
Untuk pertama kalinya aku melihatnya seperti itu. Kayla pun pergi, kembali ke kamarnya.
"Takku sangka istrimu galak juga," ucap Fikram pelan takut terdengar oleh Kayla.
"Ha-ha, aku juga baru melihatnya seperti itu," ujarku.
Fikram pun melanjutkan melacak identitas yang pria yang dicurigai dengan bantuan anak buahnya yang berada di lapangan.