Audrey melangkahkan kakinya, ia melihat ke sekeliling perpustakaan bernama Ruang Serelia ini. Dengan kertas panjang yang dipegang, semua aksara sama sekali tak bisa dibaca!
Cara satu-satunya yang Audrey lakukan adalah mencocokkan antara daftar panjang itu dengan tulisan yang tertera di tiap biliknya. Audrey berhenti di salah satu bilik, tempat para bangsawan bernaung. Dilihat seksama aksara hurufnya.
"Apakah ini benar tulisan yang sama?" tanya Audrey pada diri sendiri, karena dia tak tahu harus bertanya kepada siapa juga.
"Ah, coba saja aku masuk…" Tanpa pikir panjang, Audrey segera mengetuk pintu dengan halus. Lantas, ia pun masuk ke dalam ruangan.
Terlihatlah seorang pria yang duduk di meja dengan begitu tekun, menuliskan sesuatu. Wajahnya tak terlihat karena membelakangi Audrey. Namun yang pasti, rambutnya kepirangan dan sangat berkilau apabila tertimpa cahaya.
Dengan ragu, Audrey menyapanya, "Halo, selamat pagi..."
Lelaki tersebut menoleh, seketika Audrey terperangah. Ternyata, dia sangat tampan! Hidung dan rahangnya tegas dengan wajah tirus, serta tatap mata yang gelap, tetapi dalam.
"Ya?" tanyanya kepada Audrey.
"Permisi, aku hendak mengambil beberapa buku yang sudah tidak terpakai." ucap Audrey.
"Benarkah itu kepadaku?" sahut si lelaki tadi. Ia bangkit dan berdiri. Audrey terkejut karena ia ternyata begitu tinggi –berkisar 180 centimeter, mungkin?
Namun, Audrey menutup mulutnya. Sebelumnya, Quintessa menyuruhnya untuk tak berbicara pada Bangsawan! Ia tak mau mempunyai banyak masalah hanya karena melanggar aturan.
"Kamu yakin itu kepadaku?" tanya lelaki tersebut, mengulangi.
Karena Audrey yang bersikeras membungkam mulutnya, ekspresinya otomatis menjadi aneh. Tiba-tiba lelaki itu mendengus akibat lucu. "Astaga, kamu tidak perlu menolak berbicara kepada Bangsawan, jika mereka yang mengajakmu berbicara."
Mata Audrey mengerjap, "Benarkah?"
"Mmm. Ada beberapa Bangsawan yang tidak mau berbicara dengan kalangan kasta rendah, tetapi ada juga yang berbicara dengan mereka." jelasnya.
Audrey hanya manggut-manggut, toh dia tak mengerti dan memilih untuk antipati pada para bangsawan, karena mereka terkenal mengerikan pada kasta rendah.
"Jadi, benarkah kamu harus mengambil bukuku?"
"Iya, ini tertuju kepada Tuan Bangsawan." jawab Audrey singkat.
Ada segelintir keraguan juga di hatinya, dia kan belum bisa membaca. Bisa saja salah membaca aksara.
"Biarkan aku memeriksanya. Karena baru saja kemarin mereka meminta buku yang tidak diperlukan." tuturnya halus.
Lelaki itu mendekat kepada Audrey, ia memeriksa daftar panjang yang berada di tangan Audrey. Cukup lama lelaki tadi memindai, alis di paras tampannya berkerut-kerut.
"Tidak ada namaku di sini." katanya dengan alis mengerut.
Audrey menunjuk dengan polos, "I-itu nama paling atas bukankah nama Tuan Bangsawan?"
Mata gelapnya yang menawan membaca nama nomor satu di sana. "Di sini tertulis Rafaella."
"Sedangkan namaku Rafael." ucapnya dengan senyum mengembang.
"Ini milik saudara kembarku, di ujung lorong sana."
Pipi Audrey entah mengapa memerah, ia malu bukan kepalang karena ketahuan tidak bisa membaca aksara. Dengan cepat, ia menarik daftar panjang yang berada di tangan Rafael. Ia menunduk, bersiap pergi. "Maafkan atas kelancangan dan kesalahanku sehingga aku telah mengganggu waktu Tuan Bangsawan."
Saat Audrey berbalik, Rafael memanggilnya, "Nona."
Audrey membalikkan badan. Tuan Bangsawan tegap itu sedikit tertawa, "Apakah kamu tidak bisa membaca?"
Pertanyaan yang ditujukan kepadanya itu bukanlah hinaan atau cemoohan, tetapi mirip ledekan yang manis! Pipi Audrey makin memerah, layaknya kepiting rebus.
"Maaf, Tuan Bangsawan, aku… aku…." Audrey tergeragap.
Ia pun tertawa berderai-derai. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Datanglah ke sini lain waktu, aku bisa mengajarkanmu membaca kalau kamu mau."
Audrey terkesiap, tetapi ia buru-buru membungkukkan badannya. Dia harus segera menyelesaikan daftar panjang ini, sebelum waktu liburannya berakhir!
Alhasil, sepanjang hari itu, Audrey kebingungan luar biasa. Dia lebih banyak salah alamat. Bagaimana tidak, penulisan di Kerajaannya ternyata sangatlah rumit dan mirip-mirip. Fasya dengan Fasia, Gavriel dengan Gafriel. Atau banyak lagi!
Menjelang makan siang, Audrey baru bisa mengumpulkan 5 ruang bilik buku dan berhasil mengembalikannya. Meski begitu masih ada sekitar 50 daftar lebih di sana.
Tatkala jam makan siang, Audrey melihat para bangsawan yang keluar dari bilik-bilik. Ternyata jumlah mereka banyak sekali! Mereka sangat cantik dan tampan, seperti boneka. Dan lagi, jubah mereka sangatlah halus layaknya terbuat dari sutera mahal.
"Wah…" Audrey tak bisa berhenti terperangah, melihat mereka keluar dari ruangan dan berbondong-bondong menuju ruang makan.
Sementara itu, Audrey baru teringat tentang jadwal makan Pangeran Rhysand!
Tergesa-gesa, Audrey keluar dari Ruang Serelia, berjalan cepat menuju ke ruang makan istana kerajaan.
Sesampainya di ruang makan istana kerajaan, ia melihat Mademoiselle Edeva dan Pangeran Rhysand. Wajah mereka berdua terlihat sangat amat suram.
'Mengapa mereka bersama? Bukankah Mademoiselle Edeva mengurus hal lain?'
Setelah menghunuskan tatapan kejam itu, Mademoiselle Edeva menyerahkan beberapa piring makanan kepada Pangeran Rhysand.
Audrey segera mawas diri, dia berbalik dan hendak kembali ke Ruang Serelia. Namun, tiba-tiba suara berat Pangeran Rhysand terdengar di telinganya. "Kenapa kamu datang ke sini?"
"Kamu mau meracuniku lagi, huh?" tanyanya tenang tetapi sangat menyakitkan bagi Audrey.
Langkah Audrey terhenti. Tangannya terkepal. Sejumput kemarahan melesak ke dalam dadanya. Bagaimana tidak, setelah ia mendapatkan cambukan ini, rasanya tidak cukup bagi Pangeran Rhysand menghukumnya!
"Kenapa? Bukankah aku benar?" katanya mengejek.
"Ah, aku ingat ada seorang maid yang berkata kepadaku hendak menjadi perisaiku. Namun, dia malah berkhianat dan berniat meracuniku terang-terangan di hadapanku."
Audrey sudah tidak tahan lagi dengan ucapan Pangeran Rhysand. Ia membalikkan tubuhnya, menatap nyalang Pangeran Rhysand.
"Tuanku Pangeran! Apakah cambukkan ini tidak cukup bagimu?!" tanya Audrey cepat. Bahkan sampai saat ini, dia masih merasakan bagaimana luka itu bergalur di punggungnya.
Dan apa, Audrey masih jelas mengingat betapa Pangeran Rhysand menyukai momentum saat mencambuknya! Wajahnya yang beringas dan kejam tak dapat itu memenuhi benaknya!
Audrey memberikan wajah menantang kepada Pangeran Rhysand. Pangeran Rhysand mengelap bibirnya, menyudahi makannya dan berjalan kepada Audrey. "Wah, bibirmu masih berani bicara padaku?"
"Kali ini, janji apa lagi yang akan kamu berikan?" tanya Rhysand mengejek.
"Pangeran Rhysand, kamu-lah yang memintaku melayanimu, aku berusaha keras untuk melayanimu secara pribadi dan setulus hati. Tapi Pangeran memanglah kejam seperti apa yang selama ini aku dengar!" seru Audrey tanpa rasa takut.
Toh, dia sudah dicambuk. Mau dipancung atau apa, dia sudah muak hidup di sini!
"Aku mengira, Pangeran Rhysand dapat mengubah kebiasaan konyol ini. Namun, dominasi atas kekuatanmu sangatlah lucu. Mungkin Pangeran Rhysand berpikir, seluruh rakyat tunduk karena Pangeran Rhysand? Tidak! Bisa saja, mereka sedang merencanakan pemberontakan atau diam-diam ingin melepaskan diri menjadi rakyat!" pekik Audrey.
Seketika itu Mademoiselle Edeva berteriak melengking, "MISS FRANKIE! JAGA MULUTMU!"
"Kenapa? Apakah aku salah? Katakan dan hukum aku, jika perkataanku salah!" seru Audrey.
"Ada apa ini?" sebuah suara berat menegahi mereka.
Sontak, Audrey berbalik. Di hadapannya, ada seorang lelaki dengan jubah Kerajaan Atalaric. Rambutnya yang merah membuat Audrey segera tahu siapa sesungguhnya lelaki tersebut…
Dia adalah… Emerald Grissham, Pangeran Kedua Kerajaan Atalaric!
***