webnovel

Masa Lalu

Bab 14 - Masa Lalu

"Kamu dari mana saja, Clara. Mertua kamu mana?" tanya mamaku begitu melihatku masuk ke dalam rumah.

Benarkan dugaanku tadi, pasti mamaku mencari keberadaan kami.

"Oh, itu tadi Mama mertua minta ditemani ke warung, Ma. Waktu jalan pulang malah mampir ke rumah Kak Neti. Sekarang masih di sana," jawabku sekenanya.

Untungnya mamaku tak banyak bertanya lagi, dia mengajakku ikut menonton kesayangannya setiap pagi di televisi berlogo ikan terbang.

Baru saja duduk di samping Mama, hatiku langsung berdetak kencang. Soalnya cerita yang sedang diputar sangat mirip dengan kisah yang kualami.

Hanya bedanya, di cerita itu wanitanya sengaja menikah dengan pria beristri. Mama yang menonton berulang kali ikut mengomentari sinetron yang sedang ditontonnya.

"Mama gregetan banget sama istri pertamanya. Sabar amat diperlakukan seperti itu!" ketus Mama dengan kesal.

"Itu, kan, hanya sinetron, Ma. Belum tentu kejadian sesungguhnya," sahutku seraya tersenyum.

"Ah, Mama yakin kalau cerita ini ditulis karena ada yang pernah mengalami. Bisa jadi si penulis cerita ini yang mengalami. Atau ada orang lain yang curhat padanya," balas mamaku yakin.

Bisa jadi seperti itu. Nyatanya kisah-kisah hampir mirip dengan kisah di sinetron itu.

"Ma, seandainya Clara yang jadi tokoh si pelakor itu bagaimana pendapat Mama?" tanyaku sekalian saja ingin tahu pendapat mamaku.

"Apa?! Kamu jadi pelakor? Tidak, itu tidak boleh, ya, Clara. Mama gak mau anak Mama jadi pelakor apapun alasannya. Titik gak pakai koma!" seru Mama.

Aku menarik napas dalam-dalam, tak tahu apa mau melanjutkan pertanyaanku. Aku khawatir dengan kesehatan jantung Mama.

"Eh, ngomong-ngomong kau bertanya seperti itu hanya iseng saja, kan, Clara?" Mama balik bertanya dengan pandangan menyelidik.

"Eh, itu ... tentu saja hanya iseng, Ma," sahutku terbata.

"Syukurlah, soalnya kalau memang kamu melakukan hal itu, Mama tidak akan memaafkan kamu. Kecuali kamu tidak tahu kalau Azzam sudah ada istri."

Aku mengerjap tak percaya mendengar ucapan Mama. Benarkah yang kudengar ini? Apa kuungkap saja semuanya sekarang, mumpung Mama dalam mode santai.

"Ma, sebenarnya aku ...." Ucapanku terpotong suara Mama mertua yang memberi salam dari depan pintu.

Gagal.lagi rencanaku mengatakan semuanya pada mamaku. Rupanya Mama mertua sudah selesai berunding dengan Kak Winda.

Hasil perbincangan mereka nanti akan aku ketahui jika bertemu dengan Kak Neti.

Mama mertua pun ikut duduk bersama kami. Sementara kedua papaku berbincang di teras rumah.

"Mbak, rencananya kami akan pulang sore ini. Ada masalah di kantor papanya Azzam, jadi terpaksa kami pulang lebih awal dari rencana kita," ucap Mama mertua memulai perbincangan.

"Lho, kok, mendadak? Kami juga ikut pulang kalau begitu. Perginya bareng, pulangnya juga harus bareng, kan?" balas mamaku.

"Kalau Mbak masih mau tinggal lama di sini, gak apa-apa, kok. Kami pulang berdua saja," ujar Mama mertua.

"Gak! Kita pulang bareng. Lagi pula rinduku dengan Clara sudah terpenuhi. Lain kali kita bisa datang ke sini lagi," kata mamaku.

Lalu kedua mamaku beranjak ke kamarnya masing-masing untuk bersiap-siap pulang. Sedangkan aku masih penasaran dengan keputusan Mama mertua. Mengapa dia mendadak mengajak pulang.

Aku jadi penasaran dengan hasil perbincangan antara Kak Winda dengan kedua mertuaku tadi. Namun, jika aku menemui Kak Neti sekarang waktunya gak pas.

Aku gak bisa lama-lama meninggalkan mamaku, nanti dia mencariku lagi seperti tadi.

"Sabar Clara! Nanti kamu juga bakal tahu," batinku.

---

Akhirnya Mama dan Papa pulang bersama kedua mertuaku juga. Sebelum masuk ke mobil Mama mertua bee isik padaku soal perbincangannya dengan Kak Winda kemarin. Katanya aku disuruh bertanya pada Azzam saja.

Walau tak paham maksudnya, aku pun mengangguk saja. Khawatir kalau Mama mendengar perbincangan kami. Mereka pun segera berangkat menuju ke bandara. Rumahku kembali sepi seperti sebelumnya.

Setelah Mas Azzam pergi mengantarkan mereka, aku pun bergegas pergi ke rumah Kak Neti.

Aku sudah penasaran, tapi sampai di sana ternyata pintu rumahnya terkunci. Segera kuhubungi Kak Neti, ternyata dia sedang pergi melayat saudaranya di kampung sebelah.

Tak enak rasanya jika aku mengganggunya saat ini. Aku pun kembali ke rumah dengan rasa penasaran yang makin membesar.

Kak Winda, sebaiknya aku bertanya langsung padanya. Aku pun. Bergegas ke rumahnya. Dia sedang mengepel lantai rumahnya.

Mataku sampai terbelalak tak percaya. Kak Winda merapikan rumahnya, pasti dia sedang mabuk.

Kak Winda tersenyum melihat kedatanganku kemudian mempersilahkan aku masuk.

Sampai di dalam rumah aku lebih kaget lagi. Semuanya sudah bersih dan tersusun rapi. Tak ada lagi baju kotor yang bergelantungan di dinding rumahnya seperti kemarin.

"Kak Winda, rumah kamu bersih banget. Semuanya Kakak yang mengerjakannya?" tanyaku penasaran.

"Iya, Dek. Alhamdulillah, ternyata bisanya aku membersihkannya sendiri. Kalau capek aku istirahat. Selama ini cuma perasaaan malas sama mengkekku aja yang kuturuti," jawabnya sembari terus tersenyum.

Lama-lama kering gigimu, Kak.

"Mengkek?" tanyaku tak mengerti.

"Iya, mengkek, eh, manja maksudnya."

Oh, manja. Aku pun teringat tujuanku ke sini. Langsung saja kutanyakan pada Kak Winda agar rasa penasaranku segera hilang.

"Kakak minta maaf, ya, Dek. Selama ini sudah suudzon sama kau. Mama mertua kita menyerahkan keputusannya sama kita. Dia tak bisa memberi keputusan. Nantilah, kita bertiga mengobrol lagi, ya. Tunggu Mas Azzam pulang dulu," jawabnya panjang lebar.

Jadi Mama mertua menyerahkan keputusannya pada Mas Azzam. Baiklah, kalau begitu aku saja yang mengambil keputusan untuk mundur.

"Dek, Kakak mau ngomong jujur sama kau. Sebenarnya Mas Azzam itu tak cintanya sama aku. Sampai sekarang pun masih tak cinta dia. Sedih kali aku, memang ini semua aku yang salah," keluh Kak Winda.

"Sebenarnya aku juga masih belum paham kenapa sampai Mas Azzam mau menikah sama Kakak kalau memang dia gak cinta," sahutku.

"Itu karena dia kuguna-guna, Dek. Aku datang ke dukun terus minta tolong biar Mas Azzam mau sama aku. Tapi ternyata, obat untuk hanya bertahan beberapa bulan saja. Setelah itu, Mas Azzam kembali seperti dulu. Tak peduli dan tak sayang sama aku. Dia cuma sayang sama anak yang ada di dalam kandungan aku saja, hikss!"

Kak Winda menangis tersedu, sepertinya dia merasa sangat menyesal.

"Ini semua karena Mak Ijah, dia yang merusak pikiran aku. Katanya, kalau aku bisa menikah dengan Mas Azzam hidup aku bakalan senang. Mas Azzam itu anak orang kaya, tapi ternyata orang tuanya lebih memilih kau jadi menantu kesayangannya. Sedih kali Kakak, Dek!"

Tangis Kak Winda makin menjadi. Aku bingung mau ngomong apa, untunglah tak lama datang Mak Ijah. Namun, ternyata Mak Ijah malah makin memperkeruh suasana.

"Kau apakan cucu aku, Clara?! Belum puas kau bikin dia menderita, ya?" tanyanya dengan suara tinggi.

"Sudah, Mak! Cukup! Clara gak ada bikin aku nangis. Aku sendiri yang lagi sedih, Mak," sela Kak Winda masih sambil menangis.

"Kenapa kau? Gak ada hujan, gak ada panas menangis pula kau. Udah gila kau kurasa," ketus Mak Ijah.

"Mak Ijah yang sudah gila kali. Kak Winda itu merasa menyesal pernah berhenti ust sitik dengan mendatangi dukun. Mak Ijah juga udah tua bukannya tobat malah ngajari yang gak benar sama cucu sendiri," timpalku.

"Gak usah sok tau lah kau, Clara. Kau itu orang baru di sini, kalau gak tau apa-apa gak usah banyak cakap, kau. Kualat nanti kau melawan orang tua!" balas Mak Ijah dengan galak.

Dia sampai berdiri dengan berkacak pinggang,, tangannya terus menunjuk-nunjuk ke wajahku. Aku sampai bergidik ngeri melihat bibir keriputnya yang terus mengoceh tanpa henti. Sementara Kak Winda berusaha mengajak Mak Ijah untuk duduk.

"Sudah, Mak. Kalau Mak Ijah terus merepet kayak gini, pulang aja lah ke rumah Mak Ijah sana. Aku gak mau lagi mendengar hasutan sesat dari Mak Ijah!" 

"Oh, pande kali mulut kau itu sekarang becakap, ya, Winda. Mentang-mentang mertua kau sekarang udah terima kau ya? Kau tengok nanti, sampe nangis darah kau minta tolong sama aku, gak akan kutolong kau!"

Mai Ijah meradang, setelah puas mengeluarkan semua sumpah serapahnya dia pun pulang.

"Ngeri kali Mak Ijah itu, ya, Kak. Dia beneran nenek Kakak. Kenapa dipanggil Mak?" tanyaku setelah Mak Ijah tak kelihatan lagi.

"Aku juga gak tau, Dek. Soalnya aku dirawatnya dari kecil, Emak sama ayahku pergi merantau sampai sekarang tak ada kabar. Mak Ijah lah yang merawatku sampai aku dewasa," jawab Kak Winda.

Aku paham sekarang, ternyata masa lalu Kak Winda sangat berat.

Bersambung.