webnovel

Kepergian Mamaku

Bab 18

Waktu serasa sangat lama berputar membuat aku, Papa dan Cleo harus terus menunggu dengan perasaan gelisah. Rasa cemas dan khawatir yang kurasakan membuat tubuhku terasa lemas.

Pandangan mataku rasanya mulai berkunang-kunang seperti melihat ribuan semut yang memenuhi mataku.

"Clara, kamu kenapa?" tanya Papa saat melihatku memegang kepala. "Cleo, bawa Mbakmu duduk di sana!" Papa menyuruh Cleo membawaku ke kursi tunggu yang ada di depan ruang ICU.

Cleo memapahku sampai di kursi yang terbuat dari stainless itu. Kepala ini semakin pusing saja,  aku pun memejamkan mata sambil menyandarkan punggungku mencoba untuk beristirahat.

Tak lama aku mendengar suara pintu terbuka lalu terdengar suara Umami yang mengajak Papa untuk masuk ke dalam ruangan.

Aku mencoba untuk berdiri karena ingin ikut masuk juga. Namun, rasa pusing malah semakin menjadi. Kepalaku seperti berputar lalu mendadak  semuanya menjadi gelap.

Aku seperti terjatuh ke dalam  lubang yang dalam dan gelap, saat terjatuh itu aku masih sempat mendengar teriakan Clara memanggil namaku.

Tak lama kemudian, aku terbangun kala mendengar suara Mama berbisik di telingaku. Perlahan kubuka mata lalu tersenyum lega melihat Mama yang terlihat sangat cantik di depanku.

"Mama! Mama sudah sembuh? Alhamdulillah," ucapku penuh syukur.

Mama hanya tersenyum kemudian menarik tanganku untuk berdiri. Kemudian mengajakku berjalan sambil bergandengan tangan.

"Indah sekali pemandangan di sini. Kita ada di mana, Ma?" tanyaku.

Tempat yang kudatangi itu memang indah, lebih mirip.dngam gambaran surga yang pernah kubaca.

"Mama juga gak tahu kita ada di mana. Namun, Mama suka berada di sini," jawab Mama

Kami terus berjalan meikmati pemandangan.

Aku merasa heran melihat Mama yang bisa berjalan dengan langkah ringan dan lincah, padahal dia baru saja sembuh dari sakitnya.

"Mama, jangan terlalu cepat jalannya. Hati-hati! Mama baru sembuh, lho!" seruku mengingatkannya.

"Mama sudah sehat, Clara. Mama sudah tak merasakan sakit lagi," sahut Mama tanpa melihatku.

"Iya, Ma. Clara tahu itu, tapi Mama tetap harus berhati-hati!"

Mama berhenti melangkah, lalu memetik setangkai bunga berwarna putih. Dia memberikan bunga itu padaku sambil terus tersenyum.

"Kamu  yang harus berhati-hati, Sayang. Mama akan terus merasa bersalah jika kamu kenapa-kenapa. Kamu harus bahagia, turuti kata hatimu. Mama percaya kamu bisa mengambil keputusan yang tepat."

"Maksud Mama apa? Clara gak ngerti, Ma."

"Nanti kamu juga akan paham, Mama merasa bersalah karena pernah memaksa kamu menerima perjodohan itu. Mama menyesal," ucap Mama sedih.

Pandangan matanya menerawang jauh, tampak rona sedih di wajah cantik mamaku. Aku mengajak Mama untuk duduk di bawah sebuah pohon. Akarnya yang banyak menyembul dari tanah di sekeliling pohon besar itu.

"Mama gak salah, kok. Itu memang sudah takdir yang harus Clara jalani. Clara juga gak marah atau dendam pada Mama dan Papa."

"Mama tahu, kamu anak yang baik. Ayo kita jalan lagi, kamu harus pulang! Tempatmu bukan di sini!" ajak Mama.

Kami pun berjalan lagi, sampai akhirnya aku melihat sebuah sungai. Airnya jernih sekali. Bahkan aku bisa melihat segerombolan yang sedang berenang di dalamnya.

Mama menyuruhku naik sebuah pergi satu-satunya di tepi sungai. Aku pun naik ke perahu, kupikir Mama akan ikut naik juga. Namun, ternyata Mama malah mendorong perahu ke tengah sungai.

"Mama, kenapa perahunya didorong. Mama aja belum ikut naik. Ayo, Ma tahan perahunya. Mama cepat naik!" teriakku panik karena perahu melaju semakin jauh ke tengah.

Aku terus berteriak memanggil namaku sampai hampir habis suara ini rasanya.

Mama melambaikan tangan dari tepi sungai. Aku masih bisa mendengar suara Mama yang meminta aku memutuskan dengan mendengarkan suara hatiku sendiri.

Aku semakin panik, perahu melaju semakin kencang karena arus sungai semakin deras. Mama semakin menjauh, rasanya aku ingin melompat saja lalu berenang ke tepian sungai.  Namun, aku tak pandai berenang.

Akhirnya sosok Mama benar-benar hilang dari pandangan mataku karena aliran sungainya berbelok ke kanan. Sekarang aku sendirian terhanyut bersama perahu kayu di tengah sungai.

Aku mencoba mengayuh dengan tanganku, tapi tenagaku tak cukup kuat untuk membawa perahu ke tepian. Rasanya, aku semakin jauh dibawa perahu kayu itu.

Rasa takut dan khawatir semakin meraja di hatiku. Perahu terus melaju sampai tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh di depan sana. Aliran air semakin kencang saja membawa aku ke asal suara gemuruh itu.

Mataku membelalak kaget saat tahu suara itu berasal dari sebuah air terjun dan sekarang perahu ini melaju dengan cepat menuju ke sana. Aku hanya bisa berdoa agar selamat sambil memejamkan mata.

Tanganku mencengkeram tepian perahu saat tubuhku mulai jatuh ke bawah mengikuti arus air terjun yang sangat tinggi itu.

Aku dapat merasakan tubuhku terjatuh dari ketinggian lalu menyentuh air dengan suara keras. Akankah aku bisa selamat kali ini?

---

"Clara! Bangun, Nak!" Samar aku bisa mendengar suara Papa di telingaku. Seperti tadi, aku pun perlahan membuka mata.

Kulihat ada Papa, Cleo, Mas Azzam dan kedua mertuaku.

"Di mana aku? Mama! Di mana Mama, Pa?" tanyaku dengan panik.

Aku berusaha untuk duduk, tapi segera dicegah oleh Papa.

"Sabar, Clara. Kita masih berada di rumah sakit. Kamu pingsan tadi," jawab Papa sambil memelukku. Suara Papa terdengar sedih, tapi apa yang membuatnya sedih.

"Pingsan? Apa benar aku pingsan, Pa? Jadi yang tadi ltu hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Aku ingin ketemu Mama, Pa. Bawa aku ke sana!" teriakku makin histeris.

Cleo malah menangis sesunggukan. Demikian juga dengan Mama mertua, dia menangis dalam pelukan suaminya.

Ada apa ini? Mengapa mereka semua bersedih?

"Mama sudah pergi, Ra. Tadi jantungnya Anfal serta tensi darahnya semakin naik. Mama ... sudah meninggal," ucap Papa dengan lirih. Namun, aku masih. bisa mendengar semua yang dikatakan Papa.

"Tidak!" teriakku tak percaya.

Bagaimana mungkin Mama sudah meninggal, bukankah tadi aku baru saja bertemu Mama. Dia sudah sembuh, sudah sehat dan kelihatan sangat cantik.

Mungkinkah tadi itu hanya mimpi, atau pertanda kalau Mama sedang pamit padaku saat aku pingsan?

"Sabar, Ra. Kita semua juga merasakan apa yang kamu rasakan. Kita pulang sekarang, ya. Jenazah Mama sudah siap untuk dibawa pulang."

Bagai robot aku mendengarkan semua ucapan Papa, bahkan saat Mas Azzam menuntunku untuk pulang aku tak bisa menolak.

Hatiku hancur melihat tubuh Mama yang kini sedang terbaring di rumah tamu rumah Papa. Mama sudah pergi, Mama pergi meninggalkan aku sendirian.

Sambil menangis tanpa suara kupeluk tubuh Mama yang mulai dingin dan kaku.

"Mama, Clara belajar ikhlas. Clara sayang, Mama. Maafin Clara yang belum bisa membalas semua jasa Mama," bisikku lirih di telinga Mama.

Hari itu, setengah hatiku telah pergi. Walaupun Mama cerewet dan selalu marah-marah padaku dan Cleo, tapi aku tahu rasa sayangnya sangat besar pada kami berdua.

Bersambung.