webnovel

Gencatan Senjata

Bab 19

Setelah Pemakaman selesai.

"Ayo kita pulang, Clara! Biarkan Mama beristirahat dengan tenang di sini!" ajak Papa setelah pemakaman Mama selesai.

Aku masih berjongkok di samping batu nisan Mama. Rasanya tak sampai hati aku meninggalkannya seorang diri di sini.

"Clara masih mau menemani Mama dulu, Pa. Kasihan Mama sendirian di sini!" sahutku.

"Kita harus pulang, Ra. Lihatlah, langit sudah mulai gelap. Sebentar lagi malam, besok kamu bisa kembali ke sini lagi!"

Aku menoleh pada Papa dan Mas Azzam yang berdiri di sampingnya. Segera aku berdiri dan berjalan mendekati Papa dan Mas Azzam.

Mataku menatap Mas Azzam dengan marah.

"Kamu! Kenapa masih berani menampakkan batang hidungmu di depanku? Pergi kamu sekarang juga. Aku tak mau melihat wajahmu lagi! Pergi!"

"Clara! Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Azzam itu suami kamu!" bentak Papa padaku.

"Iya, Papa memang benar! Dia itu suami aku yang pengecut. Karena dia tak berani berterus terang pada orang tuanya soal istrinya. Karena sikapnya yang plin plan juga yang membuat aku terjebak dalam hubungan ini. Karena dia juga Mama sampai meninggal! Aku benci dia, Pa!"

Aku menangis tersedu sampai terduduk di tanah. Tak kuhiraukan kotoran yang menempel di gamis yang kukenakan. Entah berapa lama aku menangis sambil menunduk, saat aku merasa capek kemudian mendongak dan kulihat hanya ada Papa seorang saja.

Sepertinya Mas Azzam sudah  pulang  terlebih dulu. Papa mengajakku pulang saat azan Magrib terdengar sayup-sayup di kejauhan.

Satu bulan kemudian.

Sore itu, aku sedang menyiram kembang kesayangan Mama di teras samping. Senyumku mengembang melihat bunga-bunga itu tumbuh dengan subur.

Mama pasti senang melihatnya. Aku masih bisa membayangkan saat Mama sedang menyirami mereka setiap pagi dan sore.

"Non, ada tamu yang ingin bertemu," beritahu si Bibi padaku.

"Siapa, Bi?" tanyaku tanpa menoleh karena sedang asyik memandangi bunga-bunga kesayangan Mama itu.

"Ehm, itu ... Dokter Umam, Non," jawab si Bibi ragu.

Aku menoleh pada si Bibi kemudian menyuruhnya untuk mengusir pria itu saja.

"Tapi, Non. Dia maksa pengen ketemu katanya," ucap si Bibi lagi.

Sambil berdecak sebal, aku pun menemui tamu yang keras kepala dan pantang menyerah itu.

Selain Mas Azzam yang sebentar lagi resmi bercerai denganku, Umami salah satu pria yang tak ingin aku temui lagi. Namun, dia masih tetap ngeyel dan terus meminta maaf padaku.

Entah sudah berapa kali dia aku usir, tapi selalu datang dan datang lagi tanpa bosan.

Aku tiba di ruang depan dan melihat dia sedang berdiri di depan foto keluarga berukuran besar di ruang tamuku.

Kali ini entah alasan apa lagi yang akan diberikannya agar aku mau berbincang dengannya.

Umami menoleh ke arahku, sepertinya dia menyadari kehadiranku di belakangnya.

"Clara, aku ...."

"Sebaiknya kamu pulang saja Dokter Umam yang terhormat. Aku sedang tak ingin menerima tamu sore ini!" ucapku dengan pedas memotong ucapannya.

Kuharap dia akan marah lalu segera pergi dari rumahku. Namun, ternyata dia malah tersenyum sambil mengambil posisi duduk dengan santai di sofa.

Sedikitpun tak terlihat rona marah di wajahnya. Entah terbuat dari apa hati pria di depanku ini.

"Duduk dulu, Clara. Jangan bicara sambil berdiri!" ucap Umami dengan santai. 

Apa, sih, mau Umami sebenarnya? Mengapa dia tak merasa tersinggung sedikitpun dengan kata-kataku yang pedas tadi. Sambil menahan rasa kesal aku pun menuruti permintaannya. 

Aku memilih duduk di kursi yang ada di seberang meja. Umami memandangku lalu menyandarkan punggungnya sambil  bersedekap. 

"Aku mau berteman denganmu. Aku takkan mengungkit soal hubungan kita lagi. Bagaimana?" 

Dahiku mengernyit mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Umami. Berteman? Apa semudah itu dia mengubah rasa suka menjadi teman saja?

Baiklah, tak salah juga untuk dicoba. Lagi pula, jika dipikir-pikir kembali. Hubungan kami berakhir, juga bukan karena kemauan Umami. Orang tuanya lah yang tak menginginkan aku. 

Lalu aku juga yang memutuskan untuk berpisah. Berdamai dengan masa lalu, mungkin itu kata yang pas untukku saat ini.

"Baiklah, aku memaafkan kamu. Kita berteman, tapi ...." Aku sengaja menggantung kalimatku karena ingin tahu reaksi dari Umami.

"Tapi apa?" tanyanya penasaran. 

Aku tersenyum tipis, lalu melanjutkan perkataanku.

"Kamu jangan sering-sering datang ke sini. Aku gak enak jika dilihat tetangga. Kamu tahu statusku sekarang seperti apa, kan?" sambungku.

Umami tampaknya baru mengerti dan paham dengan maksudku. 

"Baiklah, aku mengerti, Ra. Maafkan aku kalau begitu, tapi kalau kirim pesan boleh, kan?" 

Benar-benar anak ini, gak bisa dikasih jantung malah minta hati. Namun, tak urung aku mengangguk mengiyakan. 

Sore itu, hatiku sedikit tenang setelah berdamai dengan Umami. Ternyata menyimpan rasa marah dan dendam itu tak baik, ya. 

"Tolong lihat cincin yang ada matanya itu, Mbak!" Aku menunjuk sebuah cincin bermata delima. 

Siang itu, aku sedang berada di pasar. Tadinya aku ingin membeli bahan kain untuk dijahit sendiri. Aku ingin melatih kembali ketrampilan menjahit yang pernah kupelajari sewaktu masih kuliah dulu. 

Setelah selesai membeli kain, aku mampir ke toko perhiasan. Bolehlah sekali-sekali cuci mata melihat yang indah-indah. 

"Ini, Mbak. Beratnya 2,5 gram saja."

Karyawan toko itu memberikan cincin yang kuminta. Beratnya hanya 2,5 gram, kelihatan kecil memang. Namun, bentuk dan warna matanya membuatku terpikat. 

Langsung saja kubayar sesuai dengan harga yang disebutkan karyawan toko tersebut. Setelah selesai, aku pun beranjak ke luar toko. Berjalan sambil memandangi cincin yang melekat dengan cantiknya di jariku. 

Tiba-tiba aku menubruk seseorang. Kami sama-sama terjatuh, tapi aku segera bangkit dan membantu wanita di depanku. Dia sedang menunduk sambil memunguti barang belanjaannya yang jatuh berserakan. 

"Maaf, Tante. Saya gak sengaja," ucapku. 

Aku merasa kalau akulah yang bersalah, karena berjalan tanpa melihat ke depan. 

"Gak apa-apa, Tante juga salah berjalan sambil menelepon. Terima kasih ya, sudah dibantu. Kamu ... Clara!" 

Wanita yang dibantu tersebut kelihatan terkejut, matanya membulat tak percaya menatapku. Namun, tak lama dia tersenyum langsung memelukku. 

"Clara, Tante senang bisa bertemu kamu secara langsung begini. Banyak yang ingat Tante bicarakan. Kita ke Kafe di seberang jalan sana, yuk!" celoteh wanita tersebut membuatku heran.

Siap dia? Aku memang merasa pernah melihatnya, tapi di mana? 

"Maaf, Tante siapa?" tanyaku karena tak kunjung ingat siapa dia.

"Kamu gak ingat Tante, Clara? Tante ini mamanya Umam. Kita pernah bertemu beberapa tahun lalu, kan?" jawabnya masih sambil tersenyum. 

Aku mundur selangkah begitu tahu siapa dia. Mamanya Umami, pantas saja aku merasa pernah melihat wajahnya. Hanya saja sekarang dia mengenakan hijab, makanya aku tak begitu mengenalinya.

Bersambung