Tapi kalau memang benar begitu kenapa Elza nampak biasa saja.
ia sama sekali tak berbasa-basi soal apa pun padanya atau kemungkinan bahwa ia sudah melupakannya.
cukup benar mungkin, sebab dia tadi juga ikut melupakannya.
Mereka memang tidak pernah sedekat itu sih dulu, hanya kenal sebatas itu saja.
Daripada sibuk dengan pikirannya dan meninggalkan Kaira terlalu lama ia pun segera keluar dari sana.
Di tengah ramai riuh itu, barulah ia bisa melihat Kaira dan Elza, gadis kecil itu duduk manja dipangkuan Elza.
Padahal tadi Ia sudah kaget karena tidak menemukan keduanya rupanya mereka pindah tempat duduk.
"Ayo ke sini sayang, pangku sama papa, kasihan kakaknya ," ujar Arvin membujuk anaknya itu.
namun alih-alih mengikuti ucapan Arvin, Kaira malah mengeratkan pelukannya pad Elza seolaj tidak ingin dipisahkan.
"Tidak mau, mau sama Kakak peri saja," ujarnya membuat Elza bersemu malu karena panggilan itu terus digunakan.
"Tidak apa-apa, Kaira biar sama saya saja dulu," kata Elza tak merasa keberatan sedikit pun. Arvin hanya mengganguk canggung, dan duduk tak jauh dari mereka.
Memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
"Elza," panggil Arvin setelah berpikir dan berdiam cukup lama.
"Iya?" sahut Elza masih membiarkan Kaira dipangkuannya.
"Kamu masih ingat saya? Sepertinya kita dulu pernah bersekolah di tempat yang bersebelahan," ucapnya. Kalau tidak ditanya sekarang kapan lagi ia bisa berbincang, rasanya juga aneh kalau hanya diam saja padahal bersebelahan.
"Iya, ingat, dari awal ketemu saya udah kenal," ujar Elza tersenyum.
Saat itu keduanya sama-sama menoleh dan bertemu pandang pada akhirnya.
Iris cokelat mata Elza sejenak seperti memabukkan Arvin.
Benar, dia gadis itu, bocah SMP dulu yang terkenal tomboi kini telah menjelma menjadi gadis sungguhan.
Ia rasanya tak bisa berpaling.
"Sepertinya hanya saya saja yang sedikit lupa," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya karena kikuk, terlalu lama memandangi seorang gadis membuatnya merasa aneh.
"Kamu tidak akan mengingat orang biasa seperti aku kan," ujar Elza dalam hatinya.
Dulu Arvin memang begitu bersinar, meski sampai sekarang masih, lihatlah ia bahkan memiliki anak yang cantik. Pasti istrinya sangat bahagia.
"Tidak apa-apa, itu juga sudah lama, jadi boleh saya panggil Kak? seperti dulu? rasanya jadi lebih nyaman," kata Elza.
Arvin menggangguk, tidak ada salahnya jika mau memanggilnya begitu.
"Silakan."
Lalu tanpa mereka sadari, rupanya Kaira pun sudah tertidur di dalam pelukannya Elza.
"Dia tidur," bisik Elza.
"Maaf, biar saya angkat dia."
Arvin segera bangkit dari tempat duduknya, mengambil ancang-ancang untuk mengangkat Kaira.
Tapi bocah itu begitu menempel kepada Elza, dan yang terjadi malah jarak mereka tak sengaja berdekatan. Jarak antara wajah hanya beberapa centi saja.
"Maaf," kata Arvin segera menjauh.
"Sepertinya agak susah ya," kata Elza berusaha terlihat santai tapi aslinya jantungnya hampir salto.
"Dia baru pertama kali tidur di pangkuan orang lain selain aku dan mama," kata Arvin. Kaira bisa dibilang gadis yang kesulitan tidur, tapi dengan Elza ia malah tertidur pulas.
Aneh sekali jika dipikir-pikir.
"Kak Arvin sudah mau pulang? Kalau begitu biar aku yang bawa Kaira ke mobil, di mana mobilnya?" tanya Kaira akhirnya bangkit, tubuh Kaira cukup ringan, tapi karena pakaian Elza yang memakai gaun pesta jadinya ia sedikit kesusahan pada bagian itu.
"Kairanya kan berat, nanti kamu kesulitan, sini biar saya coba sekali lagi."
Elza tertawa.
"Tidak apa-apa Kak, Naya saja masih sering aku gendong, dia suka manja tiba-tiba loh, kalau segini sih tidak apa-apa."
Saat mereka terlibat dalam percakapan sengit itulah, sang kakak muncul tiba-tiba bersama Naya.
"Kalian mau pulang?" tanya Zara.
"Iya Mbak, Kaira bobo di pangkuan Elza."
Mendengar kata bobo membuat Elza tersenyum, benar juga ia kan seorang ayah, wajar jika mengatakan hal itu, dan Arvin yang baru sadar sedikit tersenyum malu.
"Oh, kalau begitu bisa antarkan Elza sekalian? Aku kebetulan ada urusan," ucapnya melirik Naya yang bingung, bukankah mamanya tadi bilang bahwa mereka akan pulang ke rumah.
"Oh, baik Mbak, ya sudah ayo Za." Ajak Arvin. Elza baru saja ingin bicara tahu-tahu malah mengikut sebab tak punya kesempatan. Memangnya kakaknya mau ke mana sih.
"Ma," panggil Naya.
"Kenapa sayang?"
"Tadi katanya mau langsung pulang ke rumah," celetuknya bingung.
"Kita mampir di minimarket sebentar ya," ucap Zara mencari alasan.
Naya sendiri hanya mengganguk kecil.
Arvin kemudian menyuruh Elza meletakkan Kaira di bangku belakang, di sana sudah ada bantal sofa dan kasur kecil juga, jadi ia nyaman tiduran tanpa takut terjatuh sebab sudah ada pengaman yang terpasang pada kursi mobil dan Elza lah yang kemudian duduk di depan.
Jaraknya cukup dekat, sebentar saja mereka sudah sampai.
Elza pun langsung turun dari mobil sambil mengucapkan terima kasih, berbasa-basi sedikit tentang apakah Arvin mau singgah, tapi pria itu bilang tidak perlu dan memilih untuk pergi.
"Tadi itu siapa El?" tanya Mamanya baru keluar dari dalam rumah dan mendapati mobil baru saja keluar.
"Oh, teman Bu, kebetulan ketemu saat di pesta tadi."
"Kakakmu mana?"
"Tadi katanya ada urusan."
Kelihatan sekali bohongnya.
Alih-alih ada urusan, tahu-tahu mobil kakaknya pun tak lama masuk ke halaman rumah. Hanya berjarak beberapa menit saja.
"Loh, itu mobil kakakmu," ujar Mamanya.
Saat itulah Elza baru menyadari kalau sang kakak rupanya telah merencanakan hal semacam ini padanya. Pantas saja ia sudah merasakan keanehan dari awal semenjak kakaknya bilang ada urusan.
Begitu keluar dari mobil dengan senyum penuh kemenangan ia pun bertanya.
"Loh, Arvinnya mana? dia tidak mampir?" katanya lebih terdengar seperti tengah berharap.
"Entahlah, katanya tadi ada urusan," kata Elza menyelidik.
" Iya, memang benar ada urusan, ini urusannya," ucapnya sambil memperlihatkan jajanannya dan kantong dari minimarket terdekat, tahu begitu kan dia bisa saja ikut, pasti hanya akal-akalan dari sang kakak saja tuh, dengan kesal pun memilih untuk masuk.
Meninggalkan Zara yang terkekeh sambil mengambil ponselnya dan memperlihatkan pada sang mama.
"Ma, lihat ini deh," ujarnya pada sang mama.
Itu foto yang tadi, saat Elza dan Arvin berpoto bersama.
"Tampan sekali," komentar mamanya.
Sayang ia terlambat keluar, tahu begitu ia pasti akan menyuruhnya untuk mampir.
"Sayang tidak mampir dia Nak," ujarnya.
"Tenang Ma, masih ada kesempatan lain," bisik Zara sambil mengerlingkan matanya.
Ia sudah punya beberapa rencana yang tersusun dalam otaknya. Pasti bisa. Ia akan membuat keduanya dekat.
Mau membuat Elza dan Azri dekat pun ia tak kan sempat, sebab Azri sudah dikode keras tapi masih sama saja. Ia tak ingin adiknya malah hanya digantung.