webnovel

My Bittersweet Marriage

Aarhus. Tempat yang asing di telinga Hessa. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mengunjungi tempat itu. Namun, pernikahannya dengan Afnan membawa Hessa untuk hidup di sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang dicintainya di Indonesia. Seolah pernikahan belum cukup mengubah hidupnya, Hessa juga harus berdamai dengan lingkungan barunya. Tubuhnya tidak bisa beradaptasi. Bahkan dia didiagnosis terkena Seasonal Affective Disorder. Keinginannya untuk punya anak terpaksa ditunda. Di tempat baru itu, Hessa benar-benar menggantungkan hidupnya pada Afnan. Afnan yang tampak tak peduli dengan kondisi Hessa. Afnan yang hanya mau tinggal dan bekerja di Denmark, meneruskan hidupnya yang sempurna di sana. Kata orang, cinta harus berkorban. Tapi, mengapa hanya Hessa yang melakukannya? Apakah semua pengorbanannya sepadan dengan kebahagiaan yang pernah dijanjikan Afnan?

IkaVihara · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
10 Chs

TUJUH

"Aku ... turun dulu ya?" Hessa membuka pintu mobil.

Afnan ikut turun dan mengambilkan koper milik Hessa. Afnan memandang punggung Hessa yang menjauh darinya. Asking someone out, confessing their love, proposing. Orang-orang normal melakukan dengan urutan benar seperti itu. Tapi Afnan membalik prosesnya. Mungkin Hessa sekarang mengaggap Afnan tidak waras, orang yang terburu-buru, dan terkesan memaksa untuk menikah dengannya. Itu saja sudah cukup menjadi alasan bagi Hessa untuk tidak menerima lamarannya.

Afnan membawa mobilnya meninggalkan rumah Hessa. Mungkin ini terakhir kalinya mereka bertemu. A perfect first date is one after which you can't wait to go on a second one. Sepertinya Afnan tidak akan mendapatkan kencan kedua dari Hessa. Tidak akan pernah. Afnan menyiapkan dirinya untuk memikirkan cara lain untuk mencari istri.

***

"Kamu jadi pulang nanti sore?"

Afnan menghentikan kegiatannya membereskan isi koper, lalu menatap Lily yang duduk di tempat tidur di kamar Afnan.

"Iya, sebelum dideportasi. Kenapa? Nggak usah sedih. Seperti nggak pernah pisah saja." Afnan meneruskan lagi kegiatannya, memasukkan sandal jepit. Hubungan Afnan dan adiknya memang sangat dekat. Lily ribut sejak tahu Afnan benar-benar kembali ke Aarhus sore nanti. Sikap manja adiknya tidak berubah walaupun sudah punya suami.

"Kamu nggak di sini waktu anakku lahir nanti," ujar Lily sedih.

Afnan tersenyum. Duduk bersila di lantai, menghadap adiknya.

"Rasanya baru kemarin aku lihat Mama bawa kamu pulang dari rumah sakit. Kamu kecil sekali. Segini." Afnan menunjukkan lengannya.

"Sekarang kamu sudah mau punya anak, Ly. Aku juga ingin di sini saat kamu lahiran. Tapi aku sudah cuti sekarang." Afnan menyesal, sebab Afnan selalu ada saat Lily mengalami hari-hari terbaiknya. Ulang tahun, lulus sekolah, wisuda, dan menikah.

"Tuh! Kamu pilih datang nikahan Mikkel sih, daripada lahiran anakku." Lily semakin cemberut.

"Ya bagaimana lagi, aku sama Mikkel kan berbagi plasenta sejak di perut Mama dulu. Ikatan emosiku dengan Mikkel lebih kuat."

"Kok kamu gitu? Kamu kan kakakku yang paling kusukai."

"Hahahaha ... Mikkel bisa cemburu kalau kamu bilang begitu. Kamu adalah adik kesayangannya." Dan Afnan juga, karena Lily satu-satunya adik perempuan mereka.

Afnan mengunci kopernya. Tinggal menunggu waktu, dia akan kembali ke kehidupan normalnya.

"Afnan…"

"Kenapa lagi, Ly? Kamu mau dipeluk?" Afnan mengangkat sebelah alisnya, menggoda.

"Apa Hessa sudah bilang sesuatu?"

"Oh, belum." Afnan sudah tidak terlalu memikirkan masalah itu.

"Kalau aku jadi Hessa aku nggak akan nolak kamu."

"Seriously? Hessa menolak niatku itu wajar, Ly. Kita baru ketemu sekali saja. Kalau dia langsung menerima, mungkin dia kurang waras." Afnan menjawab dengan santai, melambaikan tangannya.

"Tapi kan dia rugi, Afnan. Kamu ganteng, lebih ganteng dari Mikkel. Kamu baik, nggak seperti Mikkel yang nyebelin itu."

"Kamu nggak akan bisa mengerti yang dirasakan Hessa, Ly. Kamu saja menikah sama orang yang sudah kamu kenal sejak lahir." Afnan mengingatkan Lily yang menikah dengan her childhood sweetheart.

Lily hanya tertawa pelan menyadari kebenaran ucapan Afnan. "Apa kamu kecewa?"

"Nggak. Kenapa kecewa? Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk melamar seseorang. Atau aku belum beruntung."

Nanti akan ada banyak kesempatan untuk menemukan wanita lain yang mau menjadi istrinya. Life will give him enough chances at love.

"Padahal aku suka sama Hessa. Dia baik, ya? Cocok untuk kamu."

"Menurutmu, kan? Mungkin menurutnya aku nggak cocok untuknya." Afnan tersenyum.

"Apa ... aku masih boleh berteman sama Hessa?" Lily bertanya ragu-ragu.

"Tentu saja. Kenapa kamu minta izin mau berteman dengan siapa?" Afnan tidak mempermasalahkan dan tidak menyesali segala yang sudah dia katakan kepada Hessa. This is a very common mistake people do. Dia melamar Hessa saat Hessa sedang tidak, belum ingin menikah, atau apa pun itu. Juga mereka tidak saling mengenal. Di luar saja juga banyak orang yang melamar dan tidak mendapat jawaban. Bahkan ditolak.

Seperti apa pun reaksi Hessa, saat mendengar orang lain membicarakan pernikahan, pasti Hessa akan mengingat lamaran dari Afnan seumur hidupnya. Mungkin malah bercerita kepada teman-temannya, bahwa ada laki-laki aneh yang nekat melamarnya hanya setelah sekali bertemu. Sore ini Afnan akan meninggalkan negara ini, kembali ke kesibukannya seperti biasa. Sambil menunggu jawaban dari Hessa. Dengan sedikit keajaiban mungkin Hessa mau menjawab lamarannya. Diterima atau ditolak.

"Siapa tahu kamu keberatan." Lily memberi tahu alasannya.

"Aku nggak patah hati, Lily. Jangan khawatir begitu. Aku mencari istri dan ingin Hessa menjadi istriku. Kalau dia nggak mau, ya … paling Mama yang makin cerewet." Afnan tersenyum menenangkan.

"Sudah. Mending kita makan siang. Aku mau puas-puasin makan sebelum balik ke Aarhus." Afnan mengajak Lily keluar kamarnya.

Ruang makan di rumah orangtuanya sudah ramai. Mikkel dan istrinya baru pulang dari bulan madu di suatu tempat eksotis di muka bumi. Lily langsung melepaskan tangan Afnan, yang tadi menggandengnya, dan mendekati suaminya. Sudah lupa sama sekali bahwa tadi dia keberatan Afnan kembali ke Aarhus. Semua orang yang mengelilingi meja makan sudah punya pasangan. Mama dan papanya. Mikkel dan istrinya. Lily dan suaminya. Wherever he goes he will see everyone is busy with their partner and he is roaming like he never exists.

"Pesawat jam berapa, Afnan?" Ibunya bertanya ketika Afnan duduk.

"Jam setengah delapan."

"Tuh, Ma. Afnan sengaja nggak mau nunggu anakku." Lily mengadu.

"Afnan kan sedang sibuk, Ly." Mamanya menjawab.

"Kasihan anakku, nggak dijenguk pamannya di hari pertamanya di dunia." Lily mulai drama.

Afnan hanya tertawa. Bayi Lily pasti akan jadi selebritas di rumah ini. Sama seperti saat Lily lahir dulu, menjadi pusat perhatian semua orang.

"Kirimkan fotonya begitu dia lahir." Afnan menjawab sambil mengambil makanan banyak-banyak.

Afnan juga tidak sabar ingin bertemu keponakannya. Sebentar lagi mungkin Mikkel, kembaran Afnan, pasti akan punya anak juga. Afnan tersenyum membayangkan suatu saat nanti mereka berkumpul seperti ini dan suasana ramai oleh celoteh anak-anak.

"Aku akan sering ketemu anakmu waktu kamu di Jerman lagi, Ly." Afnan melihat Lily masih cemberut.

"Kamu harus kasih hadiah kalau begitu. Yang banyak." Lily mengajukan syarat.

"Tentu saja. Apa saja yang dia mau. Keponakan pertamaku." Afnan menjawab. Dengan senang hati dia menghabiskan uangnya untuk menyenangkan keponakannya.

"Wah, jangan pilih kasih. Anakku juga nanti." Mikkel menyahut.

"Kau belum punya anak!" Afnan meningatkan kakaknya.

"Ya, sebentar lagi. Rajin kok bikinnya." Seperti biasa, Mikkel selalu bicara tanpa memikirkan sekitarnya. Istrinya menunduk karena malu mendengar ucapan Mikkel.

"Astaga, aku terbang sekarang. Aku harus bekerja keras sampai subuh kalau mau punya banyak uang untuk membelikan anak kalian hadiah." Afnan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Papa kira setelah kalian dewasa, meja makan ini akan tenang dan kita bisa makan seperti para bangsawan Inggris. Ternyata tidak ada bedanya." Ayah mereka berkomentar ketika Mikkel ribut dengan Lily mengenai anak siapa yang akan lebih disukai Afnan nanti.