webnovel

Richard Uring-Uringan

'Dasar laki-laki sialan! beraninya dia menciumku, dasar kurang ajar!' maki Viola dalam hatinya.

William juga ikutan emosi. Apa hebatnya gadis ini hingga ia berani berbuat anarkis pada aset kesayangannya.

“Jangan munafik, Vio! Kamu suka disentuh laki-laki, kan? Jangan sok jual mahal biar aku penasaran, deh! Nggak mempan, tahu nggak?” jawab William emosi.

Bagaimana tidak? Aset masa depannya di tendang seenaknya oleh wanita bar-bar di depannya ini. Ia tak terima casanova seperti dia di hajar gadis kecil ingusan macam dia.

“Bapak sinting! Terserah bapak mau mikir apa pun tentang saya. Saya gak bakalan peduli. Permisi!” ketus Vio lalu melangkah meninggalkan William dengan hati yang kesal.

“Ah, cewek sialan!” umpat William emosi. “Awas saja, aku pastikan menidurimu gadis kecil sialan!” omelnya lagi.

***

“Ren, mana Viola,” tanya Tio buru-buru.

Ia harus segera menyampaikan pesan dari bosnya pada Vio. Lambat sedikit saja, sudah dipastikan bosnya akan mengamuk.

“Vio diajak Pak William ke rooftoop, Pak,” terang Renny cepat.

“Apa? William?” tanya Tio tak percaya.

Ia harus segera melapor ke bosnya. Tio mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomor bosnya sambil melangkah menyusul Vio ke rooftop.

[Bos, Viola diajak William ke rooftop dan sekarang saya sedang menyusul ke rooftop untuk jemput Viola, Bos]

[Bawa Viola kemari sekarang juga!]

[Baik, Bos]

“Wah gawat, bos bakalan ngamuk, nih,” gumam Tio cemas.

Tio bukan cemas karena takut pada Richard. Ia lebih takut Viola berhenti gara-gara dimarahi Richard nanti. Ia capek mengerjakan tugas sekretaris di saat kerjaan lain juga menumpuk.

“Semoga Viola tahan dengan sikap bos,” gumam Tio lagi.

Baru saja akan melangkahkan kakinya ke lift, Viola sudah melangkah ke arahnya dengan muka merah menahan marah.

“Ada apa, Viola? Apa yang terjadi sama kamu?”

Viola menarik nafas dalam lalu menghembuskannya cepat berusaha menenangkan dan menetralkan emosinya baru ia menjawab pertanyaan Asisten Tio.

“Nggak apa-apa, Pak. Tadi Cuma diserang buaya aja, kok. Tapi saya berhasil nendang aset buaya itu makanya saya bisa bebas, Pak,” kata Viola masih menahan kesal.

Tio tahu maksud Viola. Ia pasti sudah di ganggu William barusan. Dan benar saja, sebentar kemudian William melenggang santai dengan wajah tanpa dosanya mendekati mereka lalu menyindir Viola.

“Kenapa, Tio? Ada yang mengadu, ya?” sindir William mencibir sinis ke arah Viola.

Viola memalingkan mukanya lalu segera pamit pada Tio tanpa menghiraukan William lagi.

“Saya permisi, Pak Tio!” Viola melangkah cepat tidak menoleh lagi.

“Lo apain tadi, Viola?” tanya Tio spontan.

“Biasalah, gue kiss aja tadi, tapi balasannya dia tendang aset gue, sialan!” maki William kesal ketika ingat momennya dengan Viola di rooftop tadi.

Tio terkikik geli mendengar keluhan William.

“Lo pantes digituin, bro. Nekat amat nyium anak baru,” ledek Tio puas.

“Ya, gue kira dia sama kayak cewek lainnya. Di kiss dikit aja pasti ujungnya ngikut gue ke hotel? Eh, yang ini rupanya bar-bar. Baru ngekiss udah bonyok aset gue,” omel William sebal.

“Makanya jangan genit! Apalagi ini sekretaris bos. Kalo kerjaan Viola keganggu gara-gara lo, kita semua bakal diamuk bos, tahu, lo?”

“Gue penasaran sama dia, bro. Dan sekarang gue semakin penasaran dan tertantang buat dapetin dia semalam aja. Gue mau buktiin kalo dia ga akan tahan melawan pesona gue,” ujar William serius.

“Narsis amat, sih, lo! Gue yakin, Viola ga akan mudah lo taklukkan. Berusahalah, bro! Dan siap-siap aja disemprot bos karena lo gangguin sekretarisnya.”

Tio melangkah meninggalkan Wiliiam tanpa menunggu jawaban lagi.

“Sialan dia! Main ngeloyor aja!” omel William kesal.

Viola baru saja sampai di ruangan presdir. Baru saja mengetuk pintu lalu masuk ruangan, suara menggelegar Presdir Richard sudah memekikkan telinganya.

“Kamu ke sini mau kerja apa godain laki-laki, Hah?”

Eh, itu, anu...” Viola kaget hingga ia bingung menjawab apa.

“Kamu mau main-main, ya? Apa anu, itu, apa maksud kamu?” bentak Richard lagi.

Viola mengurut dadanya menenangkan detak jantungnya.

“Saya nggak goda siapa-siapa, Pak.”

“Ngapain kamu ke rooftop sama William tadi?” tanya Richard ingin tahu.

'Dari mana bos tahu kalo aku dari rooftop bareng buaya sialan itu?' batin Viola heran.

“S-saya dipaksa Pak William, Pak,” aku Viola gugup.

Bukankah, Bos dan William berteman? Viola takut nanti bosnya membela William atau yang terburuk mereka malah bertengkar karena dirinya. Viola jadi ragu memberitahu yang sebenarnya pada Richard bahwa ia tadi dicium paksa oleh William di rooftop.

“Kenapa dia maksa kamu? Dan kenapa kamu nggak melawan?” cecar Richard garang.

“Pak William tarik tangan saya hingga saya nggak bisa menolak atau melarikan diri lagi, Pak. Tapi sungguh saya nggak goda Pak William,” kata Viola jujur.

“Kurang ajar! Beraninya dia memegang tangan Viola,” batin Richard kesal.

Ia menekan nomor Tio di ponselnya.

[Tio, ceritakan yang terjadi tadi!]

[Viola di kiss paksa oleh William di rooftop, Bos. Viola marah lalu ia menendang aset William]

[Benarkah? Tahu dari mana kamu?]

[William sendiri yang mengaku. Dan memang tadi Viola begitu emosi ketika turun dari rooftop. Kemungkinan yang dikatakan William benar adanya, Bos]

[Baik, apa lagi yang kamu tahu?]

[William menarget tidur minimal satu malam sama Viola karena dia mati penasaran dengan cewek bar-bar macam Viola, Bos]

[Kurang ajar dia! Sepertinya aku perlu hajar dia biar dia jera]

[Tapi, Bos. Kok, bos marah-marah karena Viola?]

[Berisik! Bukan urusanmu, kerja lagi sana!]

Richard menutup panggilannya sepihak. Ia kesal setengah mati dengan info dari Tio barusan. Ia menatap Viola dari atas ke bawah lalu berhenti di bibir Viola yang merah merekah.

Tanpa ia sadari, ia menelan salivanya sendiri. Dan begitu ia teringat, bibir merah itu baru saja dijamah William, ia tiba-tiba saja naik darah.

“Kenapa ia mencium bibir itu? Dasar William Sialan!” batin Richard marah.

"Cuci mulut kamu sana!" Bentak Richard emosi.

Deg...!

Jantung Viola berdetak kencang.

“Apa, Presdir tahu aku habis dicium buaya darat? Apa bibirku bengkak? Apa lipstikku berantakan?” Batin Viola bingung.

“Kenapa harus dicuci, Bos?” tanya Viola memastikan.

“Lipstikmu belepotan. Memalukan! Kita mau meeting sore nanti. Jaga penampilan bisa nggak, sih?” semprot Richard kasar.

Ia kesal, ia marah bibir Viola disentuh William. Ia tak mengerti kenapa ia marah, Yang jelas membayangkan bibir itu habis dilumat William sungguh membuatnya emosi.

“Baik, Pak,” jawab Viola lalu buru-buru pergi ke toilet untuk membenahi make-upnya.

“Jantung, yang kuat, ya!” bisiknya dalam hati.

Viola tak henti-hentinya terkejut dan berdebar kencang saat dibentak keras dan bertubi-tubi oleh Presdir tadi. Ternyata begini sifat presdirnya. Wajar saja para seniornya selalu mewanti-wantinya agar sabar menghadapi kasarnya presdir. Ternyata selain kasar, ia juga moody dan tak bisa ditebak.

“Astaga! Kalau saja nggak inget gajinya besar, rasanya pengen resign aja, sumpah! Lama-lama telingaku tuli dan jantungku lemah dibentak kayak tadi terus-terusan,” gumam Viola sebal.

Ia lalu memulas lagi lipstik peach di bibirnya. Saat ia melihat bibirnya di cermin, ia teringat lagi saat William menciumnya tadi.

Kurang ajar! Beraninya dia menciumnya secara paksa. Terbukti, bahwa laki-laki hanya punya nafsu. Cinta hanya kamuflase untuk menyalurkan nafsu mereka saja.

'Cih! Cinta sejati? Omong kosong! Sampai kapan pun aku tak akan mempercayai cinta lagi,'batinnya geram.

Viola keluar dari toilet, lalu kembali masuk ke ruangan presdir Richard.

“Kerjakan dokumen di atas meja sampai selesai! Jangan pernah ke mana-mana selagi semua itu belum selesai!”

Melihat dokumen yang menumpuk di atas mejanya, membuat Viola membelalak tidak percaya. Apa mungkin selesai hingga larut malam kalau dokumennya setinggi gunung begitu?

“Tapi, Pak, itu gak mungkin selesai sebelum meeting jam 3 nanti?” Viola protes pada presdirnya.

“Jangan membantah! Kamu mau saya pecat, hah? Siapa yang CEO di sini? Kerjakan apa yang saya perintahkan. Ketika meeting nanti baru kamu tinggalkan dan sambung besok hari, mengerti!” titah Richard tegas.

“Baik, Pak,” jawab Viola singkat.

Gila! Presdirnya sudah benar-benar gila. Namun apa yang bisa ia lakukan selain menuruti perintah presdirnya. Viola menarik nafas berat lalu bergegas menarik kursi dan segera duduk, bersiap memeriksa dokumen di mejanya sambil bersungut-sungut menahan kesal.

Richard yang masih kesal perihal bibir yang dijamah William, masih belum bisa menetralkan emosinya. Kala ia melihat bibir Viola, ia langsung membayangkan William memagut bibir Viola penuh hasrat. Seketika itu pula ia naik darah.

Sepertinya beberapa hari ke depan ia akan terus uring-uringan begini dan melampiaskan kemarahannya pada Viola. Karena bibir sialan Viola itu akan selalu ia lihat ketika ia berinteraksi dengan Viola dan ia pastikan ia akan selalu kesal ketika mengingat tragedi bibir itu dalam waktu yang lama. Sambil menatap wajah Viola dari mejanya,

Richard membatin sendiri dalam hatinya.

“Apa yang terjadi padaku, sebenarnya?”

Bersambung...