webnovel

Dinner yang menyiksa

Meeting dengan para manajer sudah selesai dilaksanakan. Viola begitu lelah. Ia benar-benar ingin pulang mengistirahatkan tubuhnya.

Hari ini bukan hari keberuntungannya. Bagaimana tidak? Sudahlah dicium paksa buaya darat, eh dibentak-bentak pula oleh presdir galak. Tak sampai di situ saja, ia bahkan harus mengerjakan dokumen setinggi gunung yang pastinya akan butuh waktu berhari-hari baru kelar. Benar-benar sial hari ini.

“Viola, ayo pulang bareng aku! Kita mampir dinner dulu, oke!” ajak Ricky tersenyum ramah.

Ricky juga ingin menanyakan soal siang tadi. Ia ingin menanyakan apa yang ia bicarakan dengan Pak William tadi. Ia sebenarnya kesal Viola ditarik tangannya di depan matanya. Namun karena ini di kantor dan jabatan William lebih tinggi darinya, akhirnya ia tak bisa membantu Viola tadi.

Viola baru saja ingin mengiyakan ajakan Ricky karena ia memang teralu lelah untuk menyetir saat ini, tiba-tiba suara presdir terdengar di telinganya.

“Mau ke mana kamu?” bentak Richard di depan Ricky dan staf lainnya.

“Mau pulang bareng Pak Ricky, Pak. Saya terlalu lelah untuk meyetir, jadi mobil mau saya tinggal aja di kantor, Pak?” jawab Viola jujur.

“Kata siapa kamu boleh pulang? Kamu lembur hari ini! Makan malam bareng saya terus lanjut lembur sampai jam 9 malam,” seru Richard tak mau dibantah.

“Apa, Pak?” tanya Viola tak percaya.

Di hari pertamanya resmi bekerja, masa dia harus lembur. Yang bener aja! Viola membatin tak habis pikir dengan keputusan bosnya.

“Kamu tuli?” tanya Richard balik tanya.

“Aissh, sial!” makinya dalam hati. “Baik, Pak,” dengan berat hati ia mengiyakan permintaan presdirnya.

Dirinya sudah begitu lelah saat ini. Namun apalah daya kalau presdir sudah berkehendak.

“Enak saja mau dinner dan pulang bareng bawahanku setelah membuatku kesal dengan insiden bibir dengan William sialan itu. Akan kupastikan kamu selalu di dekatku dan tak akan kubiarkan seorang pun berkesempatan mendekatimu,” omel Richard dalam hati.

“Ikut saya! Kita dinner dulu baru kembali lagi kemari,” ajak Richard tegas.

“Baik, Pak.”

Dengan gontai, Viola mengikuti Richard dari belakang. Ia benar-benar lelah. Presdir sialan ini tidak bisa lihat apa, kalau ia benar-benar lelah.

Mereka telah sampai di mobil Richard. Viola segera membuka pintu dan mempersilahkan presdirnya masuk, tapi presdirnya masih bergeming. Viola heran. Ia lalu memberanikan diri menatap mata presdirnya.

“Kamu lelah, kan?” tanya Richard serius.

“Saya...tidak, Pak. Saya tidak lelah.”

“Matamu tidak bisa berbohong. Kamu lelah. Biar saya yang nyetir. Kamu masuk sana! Duduk yang tenang!” perintah Richard tegas.

Viola mematung, tak percaya kalau presdirnya bisa begitu perhatian padanya. Ia buru-buru menyadarkan dirinya dan segera masuk ke dalam mobil sebelum bosnya berubah pikiran.

Richard tersenyum tipis melihat tingkah sekretarisnya. Ia kemudian masuk lalu mengemudikan mobilnya menuju restoran terdekat. Ia berniat mengajak Viola makan malam dan mengantarnya pulang. Lembur tadi hanya alasannya agar Viola batal pulang bersama Ricky.

Hening di dalam mobil, membuat Richard menoleh ke sampingnya. Ia melihat Viola tertidur dengan lelapnya. Mobil yang ia kendarai telah sampai di parkiran restoran. Ia menatap lekat wajah lelap Viola dan tak tega membangunkannya.

“Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku peduli dengan gadis ini?” gumamnya pelan.

Richard membelai rambut Viola dan menyibak rambut yang menutupi mata dan wajahnya sambil menatapnya dalam. Ada debaran halus yang menyapa hatinya saat ia menatap, membelai dan menyentuh kulit wajah Viola. Ia tak bisa memalingkan wajahnya seolah terpaku menatap ke arah wajah Viola.

Tatapannya lalu turun ke bibir Viola. Bibir yang sangat indah, merah dan begitu menggoda. Tiba-tiba bayangan William melumat bibir itu melintas di pikirannya. Seketika itu juga ia marah. Ia kesal. Ia refleks membangunkan Viola dengan suara kerasnya.

“Bangun! Saya bukan sopirmu, kita sudah sampai,” seru Richard garang.

“Eh, maaf, Pak.” Viola sontak terbangun dan terkejut mendengar suara Richard.

“Kita di mana, Pak?”

“Kita di restoran. Buruan keluar atau saya tinggal, mau kamu?”

“Baik, Pak,” jawab Vio mengikuti langkah Richard.

“Mau makan apa?” tanya Richard datar sesampainya ia mejanya.

“Apa saja, Pak. Terserah bapak,” jawab Viola singkat.

Viola menunduk. Ia tidak berani menatap wajah garang presdirnya saat ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, ada apa dengan mood presdirnya hari ini. Perasaan, dirinya tidak melakukan kesalahan, tapi kenapa ia marah-marah terus sejak siang tadi.

“Kita makan steak saja, gimana?” tanya Richard datar.

“Baik, Pak,” jawab Vio sekenanya.

Ia benar-benar berharap dinner ini cepat selesai agar ia bisa segera lagi dari kecanggungan ini.

Sesaat kemudian, pesanan sudah terhidang di atas meja. Vio menunggu tawaran dari presdirnya, namun yang terjadi, presdir mulai menyantap hidangannya tanpa menawarinya lagi.

“Dasar bos sialan!”

Viola tak bisa tidak memaki presdirnya ini dalam hati karena ia sudah benar-benar keterlaluan. Masa bodohlah, Viola memutuskan makan saja dengan cepat tak menghiraukan presdirnya lagi. Kenapa ia harus repot menyapa, kalau bosnya sendiri tidak mau bicara.

“Sudah selesai makannya?” tanya Richard dingin.

“Sudah, Pak.” Vio tak kalah dinginnya.

“Ayo kita pergi dari sini!” ajak Richard buru-buru.

Malam ini Vio kemungkinan akan tidur di kantor saja. Ia sudah terlalu lelah untuk menyetir ditambah lagi dia masih harus memeriksa dokumen yang menggunung di mejanya hingga jam 9 malam. Ia tak sanggup lagi untuk pulang. Ia sudah sangat lelah sekarang.

“Baik, Pak,” jawab Vio lalu masuk ke dalam mobil dan kembali menolehkan wajahnya ke jendela.

“Di mana rumah kamu?”

“Eh, kenapa bapak nanya alamat saya? Bukankah kita mau balik ke kantor, Pak?” tanya Vio heran.

“Oh, jadi kamu mau balik ke kantor?” Richard balik bertanya.

“Bukan begitu, Pak. Jadi saya boleh pulang, nih?”

“Berisik! Jawab saja pertanyaan saya, ga usah balik tanya?” omel Richard sewot.

“Maaf, Pak. Saya pulang ke Apartemen Basillica.” Vio menjawab singkat.

Ia takut kena semprot lagi kalau banyak bertanya. Dalam hatinya ia tak habis pikir. Kok, ada orang semenyebalkan presdirnya ini.

Richard tak merespons apa pun lagi. Ia melajukan mobilnya ke apartemen Viola.

Tak berapa lama, mereka pun sampai. Vio bergegas keluar dari mobil dan mengucapkan selamat jalan pada presdirnya.

“Selamat jalan, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya.”

Richard bergeming. Ia menatap sekilas pada Viola lalu menutup jendela mobilnya kemudian berlalu begitu saja tanpa kata meninggalkan Vio yang merasa keki setengah mati.

“Bos sialan! Berengsek! Ga ada akhlak!” maki Vio berkali-kali.

Hatinya begitu kesal diacuhkan begitu saja. Andai dia bukan bosnya, pasti sudah ia beri pelajaran presdirnya ini. Tiba-tiba timbul niat jahat dalam hatinya.

“Aku sumpahin biar bucin setengah mati sama aku dan aku akan gantian cuekin kamu sampe kamu jungkir balik, tunggu saja!” cetus Vio kesal.

Bersambung...