"Richard berengsek! Kurang ajar! Kulkas dingin sialan!" umpat Vio sambil menunjuk kursi Richard seolah ia ada disana.
Rasa kesal di hati Viola belum juga mau hilang. Ia benar-benar tak menyangka bosnya bisa mengacuhkannya sedemikian rupa. Saat ini ia sudah berada di ruangan Richard, mengumpati bosnya sepuas hati mumpung bos galaknya belum datang.
Sialnya ketika ia memaki dan menunjuk kursi Richard seolah ia ada di sana, saat itulah Richard masuk dan memergoki Viola marah-marah memaki kursinya seolah dia sedang duduk di kursi itu. Richard kesal melihatnya. Viola sedang memakinya, bukan?
“Sudah selesai dramanya? Kalau sudah kerjakan kembali dokumen diatas mejamu sana! Minggir! Saya mau duduk!” usir Richard dingin.
Seketika wajah Viola merah. Ia malu sekali. Sejak kapan presdirnya datang. Berarti ia mendengar semua makiannya tadi, dong. Aduuh!
"Baik, Pak," jawab Vio masih menahan malu.
Richard akan mengurung Viola di dalam ruangannya seharian ini. Ia tak akan membiarkannya keluar bahkan untuk ke kantin sekali pun.
"Pak, dokumen ini beneran harus diperiksa, ya? Jadwal bapak hari ini padat lho, Pak! Kayaknya ga sempat kalo mau dikerjakan hari ini semua,” tanya Viola pelan.
Ia sudah muak memeriksa dokumen lama ini satu persatu. Akan lebih baik ia menelaah dokumen baru yang akan dipakai untuk meeting beberapa hari ke depan.
“Yang bos, saya apa kamu di sini?” sindir Richard tajam.
“B-bukan itu maksud saya, Pak. Saya hanya ingin membantu bapak mendapatkan klien dengan kemampuan saya. Kalau saya hanya berkutat dengan dokumen lama, saya jadi ga sempat menyiapkan dokumen untuk meeting dengan klien baru, Pak,” jelas Viola panjang lebar.
“Tanpa kamu bantu pun, klien-klien itu akan datang padaku. Jangan sok berjasa pada perusahaanku, kamu!” cetus Richard garang.
Viola marah. Apa-apaan ini? Kenapa presdir sialan semakin hari semakin mengesalkan. Seandainya dia bukan atasannya sudah ia hajar mulutnya yang pedas itu. Kini ia tak yakin bisa bertahan lama di perusahaan ini.
Bukan ia tak yakin akan mentalnya menghadapi bosnya. Namun ia tak yakin bisa menahan emosinya yang akan mencelakai atasannya ini jika ia terlalu sering kesal dibuatnya.
“Maaf, Pak!” sahut Vio singkat.
Ia kembali fokus dengan dokumennya tak menghiraukan Richard lagi.
Tiba-tiba ponsel Richard berbunyi, Asisten Tio langsung bicara setelah Richard mengangkat panggilannya.
“Bos, bos di mana sekarang? Saya udah lumutan nungguin bos di resto Hotel Mirion, Bos?” tanya Tio.
“Klien kita udah sampai, Tio?”
“Belum, Bos. Bentar lagi mungkin. Bos di mana sekarang?
“Saya masih di kantor. Kamu yang urus klien itu, saya ada urusan di kantor.”
“Urusan apa, Bos?”
“Nggak usah kepo kamu, dan tolong order makanan ke ruangan saya 2 porsi, ya. Saya dan Viola akan makan siang di kantor hari ini.”
“Kenapa harus makan di kantor sih, Bos?”
“Turuti saja perintahku, Tio! Sejak kapan kamu jadi cerewet begini, sih?”
Richard langsung menutup panggilan sepihak tanpa menunggu jawaban asisten Tio lagi. Richard sangat kesal jika perintahnya dibantah. Sambil bersungut-sungut menahan kesal ia menatap Viola yang memandangnya sinis.
“Kenapa tatapanmu begitu? Nggak suka? Keberatan makan di ruanganku?” tanya Richard garang.
“Saya nggak bilang apa-apa kok, Pak?” sahut Vio heran.
Dari mana presdirnya bisa menyimpulkan dirinya keberatan, sih. Tadi dia hanya heran menatap presdirnya yang bicara dengan Asisten Tio tentang meeting dan alasan kenapa presdirnya ingin makan siang di ruangan ini.
Lagian bagaimana presdirnya akan mengetahui isi hatinya kalau ia saja tak mau repot bertanya. Bos sialan menyebalkan seperti dia, wajar tak ada yang mau.
“Mata sinismu itu mengatakan semuanya, tahu kamu?” bentak Richard lagi.
‘OMG sekarang bos udah bisa telepati dan baca pikiran orang, Ya Ampun!’ Vio tak habis pikir.
“Nggak, Pak. Saya nggak keberatan, kok.”
Mending ia turuti saja titah presdirnya dan fokus ke dokumen lagi. Lama-lama bisa gila meladeni bos pemarah macam presdirnya ini.
Richard juga tak mengerti kenapa ia melakukan hal gila ini. Kenapa pula ia mengurung Viola di sini.
Tok...tok...tok...
Pintu pun terbuka, William melenggang membawa dokumen di tangannya.
“Bro, tanda tangani dokumen ini, dong!” sapanya pada Richard, tapi pandangannya mengarah ke Viola.
“Kenapa lo kemari, sih? Suruh sekretaris lo aja yang anterin dokumennya kenapa mesti elo sendiri yang kemari?” semprot Richard kesal.
Ia kesal dengan niat William dan ia masih marah dengan insiden bibir Viola yang dilumat sahabat sialannya ini kemarin siang.
“Gue sengaja kemari, bro sekalian cuci mata lihat sekretaris cantik lo,” aku William jujur.
Viola cemberut saat William menatap genit padanya. Apalagi tadi William sempat mengedipkan matanya padanya.
“Jangan ganggu dia! Harus berapa kali gue bilang jangan ganggu sekretaris gue! Lo bisa ganggu kerjaannya, tahu nggak?” omel Richard garang.
William meletakkan dokumen di meja Richard, lalu melangkah mendekati meja Viola sambil mengedip nakal.
“Gue ga bakal ganggu lagi, kalo dia sudah jadi milik gue, bro,” ujar William jujur. Ia mendekatkan bibirnya di telinga Vio lalu berbisik genit. “Pacaranlah denganku, Vio! Aku jamin kamu pasti senang dan bahagia bisa bersamaku.”
Viola melayani kegenitan William tak kalah cerdasnya. Ia memegang pipi William seakan ingin melumat bibirnya lalu berdesis garang.
“Boleh, kalau mau merasakan yang dua kali lipat dari yang kemarin,” kata Vio sambil mengarahkan pandangan matanya ke pangkal paha William.
Willliam semakin tertantang. “Sebaiknya urungkan niatmu untuk melakukan itu padaku! Alih-alih menyerangnya, malah aku yang akan menyerangmu dengan serangan kenikmatan. Bagaimana? Apakah kamu mau bermain denganku barang satu kali?” tawar William percaya diri.
Viola sontak melepas tangannya dari pipi William.
“Maaf, saya tak berminat, Pak William,” jawabnya datar.
“Apa yang kalian berdua lakukan, hah?” amuk Richard tak terima melihat adegan mesra William dan Viola di depan matanya.
“Santai, bro. Gue cuman mencoba peruntungan doang. Mana tahu beruntung bisa jalan bareng sekretaris lo?” jawab William santai.
“Sekarang juga keluar! Jangan kembali lagi kemari!” usir Richard garang.
Wiliiam hanya tersenyum geli melihat kesewotan Richard. Ia sudah biasa melihat Richard senewen seperti ini.
“Oke, gue cabut dulu, ya! Dokumennya suruh sekretaris lo aja yang antar ke ruangan gue, bro,” pinta William percaya diri.
“Keluar....!!!” usir Richard emosi.
William melenggang meninggalkan Richard yang sudah terbakar emosi.
Viola kembali pada dokumennya. Baginya presdir dan William sama-sama sinting. Dia tak mau meladeninya dan repot-repot memikirkannya. Ia hanya ingin cari uang di sini.
“Heh, kenapa kamu gatal sekali meladeni William di depan mataku, hah?” semprot Richard emosi.
Kenapa Viola pakai acara pegang-pegang pipi William, sih? Apa dia harus usir William dari perusahaan ini agar berhenti mengganggu Viola? Richard jadi pusing sendiri.
“Saya tidak melayaninya, Pak. Saya hanya memberi peringatan saja padanya agar berhenti mengganggu saya. Itu aja kok, Pak,” jelas Viola singkat.
“Kalo cuman memberi peringatan, kenapa pakai pegang-pegang pipi segala?” omel Richard masih menetralkan amarahnya.
Ia marah, sangat marah hingga ia bisa memecat William sekarang juga saking marahnya. Anehnya meski ia marah, ia tak mau memecat Viola.
Kalau itu sekretaris lain, sudah dipastikan akan ia pecat. Tapi entah mengapa ia tak bisa memecat Viola meski Viola selalu saja membuatnya marah dan kesal.
“Kenapa bapak selalu marah sama saya sih, Pak? Apa salah saya sebenarnya?” tanya Vio heran.
Ia tak merasa melakukan kesalahan sejak kemarin, tapi bosnya selalu marah-marah padanya. Wajar, kan, ia heran?
“Kamu itu genit, tahu nggak? Kenapa kamu meladeni playboy macam William?” skak mat Richard telak.
Sebentar? Apa yang sebenarnya terjadi? Kok Viola merasa dirinya sedang dicemburui kekasihnya sekarang.
“Pak, bapak cemburu, ya?”
Bersambung...