webnovel

Bab 6: Dia Benar Pergi

{Orang besar tidak akan pernah takut direndahkan ketika dia melakukan sesuatu yang sudah semestinya dia lakukan. Walaupun hal itu bisa dianggap rendah atau hina dihadapan orang awam}

* * *

* *

*

Arya Dharma menyambar tasnya. Dia sudah siap dengan segala sesuatu.

Meminta izin telah ia lakukan, namun tidak ada satupun yang faham atas inginnya. Bagi dia sudah pupus kewajiban untuk meminta doa restu.

Dengan langkah cepat dia menuruni tangga. Membawa semua yang dianggap dia punya dan meninggalkan semua yang menjadi milik orangtuanya.

Langkahnya terhenti saat akan melangkah ke luar rumah. Tidak ada yang mengantar kepergiannya. Tidak satupun orang yang keluar dari kamarnya.

Dengan mengucap bismillah dan memperkuat keputusannya, dia melangkah keluar. Dia sekarang tahu, jika rumah yang baru dia tinggalkan beberapa jangkah itu sudah tidak lagi menerima kehadirannya. Pintu itu tidak lagi dia sapa, berikut orang yang tinggal didalamnya.

Mengucapkan selamat tinggal hanya akan menambah luka. Pada dasarnya, selamat tinggal hanya untuk mereka yang benar pergi seutuhnya. Bukan dengan Arya Dharma yang masih membagi jiwanya untuk tetap tinggal disini.

Kini matanya memandang kertas yang tertindih batu. Dia menatap lama posisi surat itu. Lalu melihat kanan dan kiri. Barangkali, sosok pemberi masih bersembunyi disekitarnya saat ini.

Akan tetapi, nihil. Kayla tidak terlihat oleh matanya. Dia tidak berani menampakkan wujudnya. Jika memang berani, barangkali dia akan menjadi pelampiasan amarah Arya Dharma. Sebab salah satu alasan orangtuanya tidak mengizinkan dia pergi adalah dia.

"Gus! Gus!" Seruan itu menghentikan langkah kaki Dharma, dia kenal siapa yang memanggil saat ini.

Siapa lagi jika bukan Badrun_Santri yang selalu mengikuti langkah kaki kemana pun dia pergi.

Badrun yang berlari dari arah pesantren ngos-ngosan saat sampai di depan gus-nya tersebut.

Sedang Arya Dharma sendiri, masih heran dengan yang dilakukan Badrun. Dia sudah berpakaian ala anak jalanan dengan tas ransel dibelakang.

"Kamu mau kemana, drun?" tanya Dharma.

"Dereng jenengan, Gus. Pripun to (Ikut kamu, Gus. Gimana sih)," jawabnya

"Gak usah! Aku gak mau aku ikut aku! Kamu di sini, gak usah kemana-mana. Aku ini gak akan kembali, drun!" Sontak Dharma marah dengan tindakan Badrun.

"Mboten. Saya tetep ikut Gus dharma. Saya sudah lama ikut Gus dharma. Saya gak mau meninggalkan jenengan," ucapnya membantah gus-nya tersebut.

"Kamu ini kok ngeyel, to drun!"

"Sama seperti Gus,kan,"

"Ck! Kamu saja dengan orang-orang. Gak ngerti tujuanku,"

Mendapatkan bantahan dari Badrun. Arya Dharma langsung melangkah melanjutkan jalan.

Badrun masih terpaku melihat punggung Gusnya tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan Dharma dia mengambil surat Kayla dan membawanya bersamanya.

"Gus, tunggu to!" Seru Badrun seraya berlari mengejar Dharma.

Beberapa langkah lagi, kaki keduanya keluar dari gerbang pondok pesantren. Mereka akan meninggalkan tanah yang membesarkan nama keduanya.

"Kamu kalau ngeyel tetap ikut aku, gak bakal masuk sini lagi. Kamu gak akan lihat gerbang ini lagi! Gak bakal ketemu teman-teman dan semua yang ada didalamnya!"

"Saya tahu, saya ikhlas,"

Dharma mendengus kesal. Santri satu ini memang keras kepala seperti dirinya.

Tanpa berbicara lagi, Dharma melanjutkan langkah. Dan keduanya benar-benar meninggalkan gerbang pesantren tersebut.

Diiringi sang Surya yang mulai terbit, langkah mereka semakin jauh. Entah arah mana yang akan mereka ambil, hanya Dharma dan pembuatan takdir hidupnya yang mengetahuinya.

Sengaja pergi sepagi mungkin agar tidak ada orang mengetahuinya.

"Gus, jenengan mboten ganti baju dulu. Kalau seperti itu, jenengan masih seperti santri. Katanya mau jadi anak jalanan," sindir Badrun.

"Iya, aku tahu,"

Kekesalan dalam hati Dharma membuat dia masih acuh kepada Badrun. Padahal biasanya mereka sangat kompak dalam hal apapun.

"Kita mau kemana dulu, Gus?" tanya Badrun mencari tahu.

"Mencari kitab suci," jawab Dharma.

Selagi mereka berbincang, mereka sudah menaiki kendaraan umum yang akan membawa mereka ke jalan besar.

"Wah! Son go kong, dong!"

"Iyaa, dan kamu Cu pat kay," balas Dharma dan itupun tanpa melihat Badrun yang sejak tadi berusaha mencuri perhatiannya.

"Hahaha, saya gak mau jadi Cu pat kay, Gus. Saya gak sejelek dia. Jadi biksu tong, gimana?" tanya Badrun mencari pendapat.

"Gak pantes. Santri pelarian kok jadi pemimpin," jawab Dharma.

"Kalau begitu jadi Aku Jing saja,"

"Yang mana itu? Aku lupa,"

"Itu Lo yang kepalanya botak setengah. Sha Wujing, murid Biksu Tong yang paling bontot. Paling menuruti perintah kakak-kakaknya, Son go kong dan Pat kai. Bahkan, ia nurut aja ketika diminta membawakan barang bawaan para rombongan yang mencari kitab suci,"

"Itu lumayan pantas,"

Badrun menyeringai. Lalu tiba-tiba ransel milik Dharma dia lepas dan lempar ke arah Badrun..

Badrun yang tidak siapa dengan tindakan itu, hampir saja tidak tanggap menangkap tas tersebut.

"Kok diberikan ke saya, Gus?"

"Katanya jadi Jing-Jing itu!"

"Wujing!" Badrun membenarkan nama yang dimaksud Dharma.

"Iya apalah itu,"

Guyonan mereka masih terus berlanjut. Dan itu masih dengan wajah datar Dharma.

Kendaraan umum yang membawa mereka berhenti di halte bus. Mereka turun, lalu menaiki salah satu bus jurusan Surabaya.

Badrun tidak bertanya-tanya lagi kemana mereka akan pergi. Dalam hatinya sudah bertekad akan mengabdikan hidupnya kepada Gusnya tersebut.

Bagi Badrun, Arya Dharma adalah orang pertama yang membuat hatinya sesejuk sekarang. Banyak ilmu yang dia dapat meski mereka tidak sedang menerjemahkan kitab.

Bagi Badrun, Arya Dharma adalah ilmu itu sendiri. Dia yakin, tidak ada keburukan di dalam diri Gusnya tersebut. Dia hanya ingin mewujudkan keinginan dengan caranya.

"Drun, kamu gak pengen pulang?" tanya Dharma tiba-tiba.

"Belum, Gus,"

"Gak kangen orang tuamu?"

Badrun menggeleng sambil tersenyum hambar.

"Nanti kapan-kapan kita ke rumahmu," kata Dharma.

"Nggih, Gus," balas badrun.

Arti rumah bagi Badrun berbeda seperti orang pada umumnya. Jika bagi mereka rumah adalah tempat berteduh, tapi bagi Badrun rumah itu adalah tempat untuk menyadarkan dirinya siapa.

Kebetulan Badrun bukan anak yang dilahirkan dengan jutawan kasih sayang. Akan tetapi, dia tetep bersyukur sebab masih diberikan kesempatan untuk mengabadikan pada orang tuanya.

"Mau sejahat apapun orang tua, dia tetaplah orang tua, drun. Dia tidak bisa digantikan oleh siapa pun juga. Kita sebagai anak, harus bisa berbakti padanya," ucap Dharma.

Dia mengatakan itu tidak hanya untuk Badrun. Tapi untuk dirinya sendiri yang saat ini memilih pergi.

Perasaan Arya Dharma ambigu. Dia sendiri juga ragu-ragu. Namun tekat dalam hatinya terus menggebu - gebu.

"Nggih, Gus,"

Badrun menatap wajah Gusnya yang saat ini sedang melihat jalanan lewat jendela bus. Tangannya dibuat menyangga dagu, dan dari matanya terlihat jelas jika dia sedang menakan rasa sakit dalam hatinya.

Pikiran Badrun melayang, ke beberapa tahun silam. Saat untuk pertama kalinya diajak dharma menggelana.