webnovel

MRS 2 - Desire

Aeden Marshwan, salah satu dari 4 mafia muda yang paling ditakuti di dunia. Namanya terkenal hingga ke berbagai belahan dunia. Ia kejam, sama seperti 3 temannya yang lain. Jika Oriel adalah Pangeran Es maka dia adalah Pangeran Api. Siapa saja yang menghalangi jalannya maka akan ia jadikan abu. Dealova Edellyn, hanya gadis biasa yang hidupnya selalu dijadikan bayangan sang kakak. Lova hanya seorang anak haram, itu kata yang selalu keluar dari mulut seorang wanita padanya. Dealova adalah anak dari hasil ketidak sengajaan. Ayahnya mabuk dan menghamili seorang pelayan bar. Pelayan bar itu adalah ibunya yang kemudian meninggal sesaat setelah melahirkannya. Lova tidak pernah mengenal dekat ayahnya. Dia hanya diasuh oleh sebuah keluarga yang diberi uang oleh ayahnya untuk merawatnya. Ketika ayah Lova bermasalah dengan Aeden, ia meminta pengampunan dengan memberikan anaknya pada Aeden. Saat itu Aeden pikir yang akan ia dapatka adalah Lovita Keandirsya, pianis yang terkenal berbakat dan sangat cantik. Tentu saja Aeden menerimanya. Dia menyukai Lovita sejak dia menyaksikan permainan wanita itu di sebuah konser musik. Tapi, yang terjadi adalah Aeden bukan mendapatkan Lovita melainkan Dealova yang merupakan adik beda ibu dengan Lovita. Aeden marah karena penghinaan ini tapi dia tidak menolak pemberian itu. Dia akan membuat perhitungan dengan keluarga Dealova, dan ia pastikan jika dia akan membuat Lovita merangkak ke kakinya. "Kau diberikan oleh ayahmu sebagai penebus dosanya padaku. Jadi, akulah tuanmu." Aeden Marshwan.

yuyunbatalia · สมัยใหม่
Not enough ratings
29 Chs

Part 27

"Hey, gadis kecil. Apa yang kau lakukan disini?" Lova mendekati Clary yang duduk di tepi danau buatan di taman mansion Aeden.

Clary memiringkan wajahnya, ia menatap Lova datar.

"Memikirkan Ibumu?" Lova bertanya kembali. Entah kenapa melihat Clary, ia jadi merasa melihat dirinya sendiri. Clary pendiam, dari yang Lova amati diamnya itu bukan karena trauma tapi memang dari kecil Clary sudah seperti itu.

"Hanya dia yang aku punya. Dan sekarang aku tidak memiliki siapapun lagi."

Lova tahu seperti apa rasanya jadi Clary, tak memiliki siapapun untuk ia jadikan tempat bersandar.

"Ayahmu?"

"Aku bahkan tak tahu siapa ayahku. Mom tidak pernah menyebutkan apapun tentang ayahku." Jika Lova bisa memilih, mungkin dia lebih suka hidup seperti Clary. Tak tahu siapa ayahnya lebih baik daripada tahu dan diabaikan. Ya, setidaknya dia tak akan mengharapkan kasih sayang. Saat Lova kecil dia pernah mengharapkan kasih sayang ayahnya tapi seiring berjalannya waktu, ia tahu bahwa kasih sayang itu tak akan mungkin ia dapatkan.

Lova merangkul bahu kecil Clary, "Aku tahu kau kuat. Jangan menyerah pada hidupmu."

"Aku tidak menyerah." Clary bersuara pelan namun tak terdengar menyerah sama sekali. Ia akan melanjutkan hidupnya, hidup dengan baik seperti yang ibunya katakan padanya sebelum ibunya tewas di tangan Joce. "Aku akan tetap hidup sampai aku mendapatkan apa yang aku cari."

"Lova!"

Lova memiringkan kepalanya, melihat ke orang yang memanggilnya.

"Tuan Aeden sudah pulang."

"Pulang?" Lova mengerutkan keningnya. Ini baru jam 2 sore, biasanya Aeden akan kembali sekitar jam 4. Dan bisa sampai jam 8 malam jika urusan perusahaan dan cartelnya sedang banyak. "Aku akan segera ke sana. Siapkan minuman untuknya."

"Baik." Sarah pergi, kembali ke mansion.

"Kau sepertinya juga harus masuk. Jika Aeden kembali maka Addison juga pasti kembali." Lova bangkit dari duduknya.

"Sebentar." Clary menahan Lova. "Ada yang ingin aku beritahukan padamu."

Lova membiarkan Clary bicara. Ia mendengarkan Clary dengan baik. Raut wajahnya terlihat kaku sekarang.

"Jangan ceritakan apa yang kau ceritakan padaku tadi ke orang lain. Cukup aku saja yang tahu."

"Hm. Aku tidak akan mengatakannya pada orang lain."

"Aku pasti akan mendapatkan orangnya, Clary. Untukku, untuk ibumu dan untuk masa depanmu sendiri."

"Terimakasih banyak, Kak Lova."

Lova tersenyum, "Jangan terlalu lama disini."

"Ya."

Lova membalik tubuhnya, ia kembali memasang wajah datarnya dan mulai melangkah. Masih belum berakhir, semuanya masih belum berakhir.

♥♥

"Apa yang terjadi?" Lova bertanya pada Aeden yang memakai kaosnya dengan cepat.

"Markas diserang oleh orang-orang Marquez." Aeden meraih jaketnya. "Aku harus pergi."

Lova tak bisa mencegah Aeden, pria itu mencium keningnya lalu melangkah.

"Jangan beritahukan Oriel. Aku, kau dan Ezel saja sudah cukup untuk memusnahkan mereka." Itu perkataan Aeden yang terakhir didengar oleh Lova sebelum Aeden menghilang dari balik pintu. Lova yakin jika yang menghubungi Aeden adalah Zavier.

Kehidupan mafia memang selalu seperti ini. Ancaman dan bahaya dimana-mana. Apa yang bisa Lova lakukan sekarang? Dia yang memilih mafia sejenis Aeden, dan akhirnya dia sendiri yang merasa khawatir.

"Aku tidak bisa begini." Lova tak bisa membiarkan Aeden. Ia turun dari ranjang, meraih kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Tidak.. Jika aku pergi maka Aeden pasti akan berpikir aku mengkhawatirkan sesuatu." Lova berhenti melangkah ketika ia hampir meraih handle pintu kamarnya. "Priamu kuat, Lova. Dia akan baik-baik saja. Banyak orang yang akan menjaganya."

Pada akhirnya, Lova memilih untuk tetap dikamarnya. Ia tidak bisa pergi. Ia tidak ingin rencana yang dia buat gagal karena ke khawatirannya.

Menunggu Aeden kembali benar-benar menyiksa Lova. Hampir tiap menit ia melihat ke arah jam dinding. Sudah 3 jam berlalu dan Aedennya belum kembali juga.

"Aku tidak tahan lagi!" Lova akhirnya melangkah keluar dari kamarnya. Ia bisa gila jika ia terus berada di dalam kamarnya.

Ketika ia hendak turun dari tangga, matanya melihat ke pria yang melangkah menaiki tangga. Aedennya kembali. Lova bisa bernafas lega.

"Apa yang kau lakukan disini, Love?" Aeden terlihat kelelahan.

"Wajahmu terluka." Lova melihat ke wajah Aeden yang lebam. Sudut bibir prianya juga terluka.

"Serangan kali ini bukan serangan kecil, Love. Mereka mengerahkan semua tenaga mereka untuk menghancurkan markas." Kali ini Aeden mengeluarkan banyak tenaganya. Orang-orang yang menyerang markas, bukan orang-orang sembarangan. Beruntung ia, Zavier dan Ezell bisa mengatasi serangan.

"Ada apa dengan kaosmu?" Lova melihat ke arah perut Aeden. Ia membuka jaket yang menutupi kaos yang Aeden kenakan. Matanya melebar ketika melihat kaos Aeden yang basah karena darah. Ia menyingkap kaos Aeden dan melihat ke perut Aeden.

"Kau tertusuk!"

"Pstt.. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

"ADDISON!" Lova berteriak.

Addison yang berada di lantai satu segera pergi ke arah panggilan Addison.

"Bawa Aeden ke ruang kesehatan. Dia tertusuk."

Addison nampak terkejut, ia segera meraih tubuh Aeden.

"Aku baik-baik saja, Love." Aeden sepertinya berbohong, wajahnya sudah pucat sekarang.

Tak ada yang percaya kata-kata Aeden, Addison dan Lova sudah membantu Aeden melangkah ke ruang kesehatan.

Addison membaringkan Aeden di atas ranjang, ia segera melangkah mengambil peralatan untuk mengobati luka Aeden. Tak perlu dokter lain di dalam sana, karena seorang Addison saja sudah cukup untuk mengobati Aeden. Tidak, Addison tidak akan asal mengobati karena dia adalah seorang lulusan kedokteran. Seorang dokter yang tidak membuka praktek karena lebih menyukai dunia mafia.

"Tusukannya tidak dalam, kan, Addison?" Lova bertanya cemas. Matanya melihat ke wajah Aeden yang terlihat tenang. Pria itu sudah dipengaruhi oleh obat penenang yang Addison suntikan.

"Tidak, Nona."

Meski jawaban Addison melegakan, raut wajah Lova masih sama. Masih terlihat jelas gurat cemas di wajah cantiknya.

"Bagaimana dengan orang-orang yang menyerang markas?"

"Mereka semua sudah tewas, Nona." Jawaban Addison membuat emosi Lova surut. Jika saja masih ada yang tersisa, mungkin Lova akan mencari mereka dan membunuh mereka semua yang sudah melukai miliknya.

♥♥

Luka di perut Aeden sudah membaik. Selain karena Addison yang mengobatinya, juga karena Lova yang tak mengizinkan Aeden melakukan hal berat. Ia bahkan melarang Aeden ke kantor. Padahal bagi Aeden luka seperti itu bukan apa-apa untuknya. Tapi karena Lova yang melarangnya maka ia bisa apa. Ia bahkan harus mendengarkan ocehan Lova karena ia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Namun pada akhirnya Lova sendiri yang lelah mengomel. Aeden hanya memasang senyum, senyuman yang membuat Lova frustasi.

"Mau kemana?" Hari ini juga masih sama. Lova menghentikan Aeden yang hendak melangkah.

"Love, kau mengerikan." Aeden menatap Lova ngeri. "Aku mau ke kamar mandi, Sayang."

"Jangan berpikir untuk pergi kemanapun!"

"Aih, kemana aku bisa pergi dengan wajah galakmu itu, Love?" Aeden menggelengkan kepalanya. Wanitanya benar-benar over protective padanya. Tapi Aeden suka Lova seperti ini padanya. Ia benar-benar merasa dicintai oleh wanitanya. Sangat jarang ada pria yang bisa bertahan dengan sikap over seorang wanita, tapi Aeden, dia malah sangat menyukai ini. "Boleh aku pergi ke kamar mandi sekarang?"

"Pergi sana."

Aeden tertawa kecil, ia urung ke kamar mandi. Melangkah mendekat ke wanitanya dan mengecup bibir Lova.

"Aku bersyukur, aku memiliki banyak waktu untuk mengenalmu seumur hidupku, Love." Aeden melingkarkan tangannya di pinggang Lova, matanya menatap iris indah Lova, "Cerewetmu, perhatianmu, senyummu, marahmu, semuanya menjadi bagian favorite ku. Kau harus tahu, aku benar-benar bahagia memilikimu di hidupku, Love."

Wanita mana yang tak tersipu ketika dilempari kalimat manis seperti ini? Rona merah itu terlihat di wajah Lova. Aedennya benar-benar membuatnya terbang tinggi.

"Terus jaga dirimu untukku, maka dengan begitu kau akan menikmatinya setiap hari."

"Aku akan menjaga diriku. Aku akan menjaganya dengan baik."

"Benar. Buktikan itu, maka aku bisa mempercayakan diriku padamu. Jika menjaga dirimu saja kau tidak bisa, bagaimana mungkin aku mempercayakan diriku padamu." Lova hanya tak ingin Aeden terluka. Ia tak pernah ingin melihat Aeden terbaring di ruangan berbau obat. Meskipun Aeden seorang pemimpin, selain menjaga orang lain, ia harus mengutamakan dulu dirinya. Dengan begitu barulah ia bisa menjaga orang lain dengan benar.

"Aku mencintaimu, Love."

"Aku juga mencintaimu, Aeden." Lova mengecup bibir prianya, "Nah, sekarang pergilah ke kamar mandi. Kau mungkin akan buang air kecil disini jika berada disini lebih lama."

Aeden tertawa kecil, "Aku tidak akan melakukan hal memalukan itu, Love."

"Setelah selesai dari kamar mandi, pergi ke taman. Aku menyiapkan cemilan untukmu."

"Ya, Love."

♥♥

"Joce. Dia bukan orang yang sebenarnya yang ingin membunuhmu. Aku mendengarkan pembicaraan dia dengan seorang pria yang wajahnya tidak aku bisa lihat. Pria itu memerintahkan Joce untuk membunuh aku dan Mom jika sampai Pedro buka mulut dengan mengatakan bahwa ada orang lain dibalik Joce. Pria itu, pria itu adalah pria yang ingin aku lihat kematiannya. Dia dalang dari semuanya." Perkataan Clary beberapa hari lalu berputar di kepala Lova.

Siapa pria itu? Lova yakin pria itu tak akan berhenti. Meski saat ini tak ada yang mencurigakan, tapi itu bukan berarti bahwa pria itu tidak bergerak. Kematian Joce hanyalah pengalihan perhatian saja, dan Lova sadar betul akan ini.

"Apa yang kau lamunkan, Love?"

Lova tersadar, ia memiringkan wajahnya dan tersenyum, "Tidak ada. Aku hanya melihat Clary yang sedang duduk di tepi danau. Sepertinya dia benar-benar suka dengan danau buatan di taman ini."

"Clary yang malang." Aeden duduk di sebelah Lova, "Dan lebih malang lagi, bahwa Addison mengklaim gadis itu sebagai miliknya. Apa sebenarnya yang ada di otak Addison ketika mengatakan itu."

"Sama seperti apa yang ada diotakmu ketika kau memilihku."

"Karena aku mencintaimu."

"Nah, mungkin jawaban Addison juga akan seperti itu."

"Baiklah, tidak ada yang masuk akal jika tentang cinta." Aeden menyerah.

"Habiskan cemilan ini." Lova menyodorkan satu piring cemilan yang sudah ia buatkan untuk Aeden.

"Terlihat lezat, Love." Aeden membelah pie yang sudah Lova buat. Menyuapkan ke mulutnya dan menghabiskannya.

Kebahagiaan Lova adalah memasak dan melihat orang yang ia cintai menikmati makanannya.

tbc