webnovel

MRS 2 - Desire

Aeden Marshwan, salah satu dari 4 mafia muda yang paling ditakuti di dunia. Namanya terkenal hingga ke berbagai belahan dunia. Ia kejam, sama seperti 3 temannya yang lain. Jika Oriel adalah Pangeran Es maka dia adalah Pangeran Api. Siapa saja yang menghalangi jalannya maka akan ia jadikan abu. Dealova Edellyn, hanya gadis biasa yang hidupnya selalu dijadikan bayangan sang kakak. Lova hanya seorang anak haram, itu kata yang selalu keluar dari mulut seorang wanita padanya. Dealova adalah anak dari hasil ketidak sengajaan. Ayahnya mabuk dan menghamili seorang pelayan bar. Pelayan bar itu adalah ibunya yang kemudian meninggal sesaat setelah melahirkannya. Lova tidak pernah mengenal dekat ayahnya. Dia hanya diasuh oleh sebuah keluarga yang diberi uang oleh ayahnya untuk merawatnya. Ketika ayah Lova bermasalah dengan Aeden, ia meminta pengampunan dengan memberikan anaknya pada Aeden. Saat itu Aeden pikir yang akan ia dapatka adalah Lovita Keandirsya, pianis yang terkenal berbakat dan sangat cantik. Tentu saja Aeden menerimanya. Dia menyukai Lovita sejak dia menyaksikan permainan wanita itu di sebuah konser musik. Tapi, yang terjadi adalah Aeden bukan mendapatkan Lovita melainkan Dealova yang merupakan adik beda ibu dengan Lovita. Aeden marah karena penghinaan ini tapi dia tidak menolak pemberian itu. Dia akan membuat perhitungan dengan keluarga Dealova, dan ia pastikan jika dia akan membuat Lovita merangkak ke kakinya. "Kau diberikan oleh ayahmu sebagai penebus dosanya padaku. Jadi, akulah tuanmu." Aeden Marshwan.

yuyunbatalia · สมัยใหม่
Not enough ratings
29 Chs

part 23

"Dimana orang itu?"

"Di ruang pernyiksaan, Tuan." Tangan kanan Aeden berhasil menangkap si penembak yang mencoba membunuh Aeden. Jika saja penembak itu tidak membahayakan nyawa Lova maka Aeden saat ini pasti tak akan peduli dengan pria itu.

Aeden segera melangkah ke ruang penyiksaan bersama dengan tangan kanannya.

Di ruang penyiksaan pria yang tak diketahui namanya karena pria itu tak mau menyebutkan siapa namanya tengah disiksa, namun seperti mantan agen Weckly, ia tetap tidak bicara meski ia ditawarkan kebebasan.

Aeden masuk ke ruangan itu, menatap pria yang sudah babak belur itu dengan pandangan datar.

"Siksa dia sampai dia bicara." Aeden duduk di kursi, ia akan melihat sejauh mana pria itu mampu disiksa.

Cukup lama bertahan, meski darah sudah mengucur dari beberapa bagian tubuh pria itu, namun dia tetap bertahan.

"Dia tidak akan bicara."

Aeden melihat ke arah si pemilik suara, Lova.

"Biar aku yang ambil alih." Lova melangkah menuju ke pria yang tadi terkena tembakannya.

Tangan kanan Aeden melihat ke arah Aeden, dan Aeden hanya menganggukan kepalanya membiarkan Lova untuk mengambil alihnya.

Lova berjongkok di depan pria yang di buat berada dalam posisi berlutut di depan Lova, "Aku hanya akan menanyakan satu hal padamu. Setelahnya kau akan dibebaskan."

"Kau membuang waktumu, Nona."

Lova tersenyum kecil, "Aku tidak akan menanyakan siapa nama pria itu, aku hanya akan memastikan satu hal dan kau bebas."

Pria di depan Lova mengerutkan keningnya, menatap Lova dengan tatapan datar.

"Mr.X, apakah dia yang memerintahkanmu?" Lova hanya ingin tahu tentang ini.

Pria itu diam. Dari tatapan gamang pria itu sudah bisa Lova pastikan jika memang Mr. X yang menyuruh pria ini.

Lova mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu, "Orang yang mencoba merusak kebahagiaanku hanya akan berakhir seperti ini." Pisau sudah menusuk ke bagian dada pria itu. Lova menusuk pria itu dengan pisau lipat miliknya.

Aeden dan semua orang yang berada di dalam ruangan itu tak menyangka jika Lova bisa melakukan hal sekejam ini.

Lova bangkit dari posisinya, ia melangkah menuju ke Aeden.

"Ada yang harus aku jelaskan padamu."

Aeden bangkit dari tempat duduknya, "Kita bicara di ruang kerjaku saja."

Lova mengikuti langkah Aeden.

"Siapa Mr. X?"

Lova sudah tahu, Aeden pasti akan menanyakan tentang hal ini.

"Mr. X adalah orang yang memiliki masalah denganmu."

"Bagaimana kau mengetahui tentang itu?"

"Aku berbohong mengenai aku pergi ke desa tempat makam ibuku berada." Lova harus mengetahui siapa Mr. X, dan dia pikir dengan memberitahukan ini pada Aeden akan sedikit membantu. "Hari itu aku diculik."

Aeden terkejut dengan apa yang Lova bicarakan tapi ia tidak menyela ucapan Lova. Ia terus mendengarkan penjelasan Lova mengenai penculikan waktu itu.

"Kenapa kau mengatakannya sekarang? Harusnya jika kau ingin berbohong kau harus berbohong sampai akhir."

Lova tahu semua orang benci dibohongi termasuk Aeden, tapi ia memiliki alasan. Namun Lova pikir alasan itu sudah tidak penting lagi. Ia yakin cepat atau lambat identitasnya sebagai seorang agen akan diketahui oleh Aeden. Lova bisa merahasiakan identitasnya dari semua orang tapi untuk pria yang selalu tidur di dekatnya, berada tepat di sisinya, tak mungkin ia bisa menututupi itu selamanya.

"Karena aku tidak ingin ada orang yang mengambilmu dariku. Aku tidak ingin nyawamu dalam bahaya." Lova berterus terang. Ini adalah bentuk Lova mencintai Aeden, ia bisa jadi pembunuh berdarah dingin jika itu menyangkut tentang Aeden. "Siapapun Mr. X itu, kita harus menemukannya."

Aeden tak menyangka jika alasan Lova membuka kebohongannya adalah ini. Sekarang kecewa karena dibohongi itu lenyap berganti dengan rasa bahagia karena Lova ternyata menganggapnya sangat berharga.

Aeden memeluk Lova, "Kau sudah menderita karena aku. Maafkan aku, Love. Aku pasti akan menemukan siapa orang itu."

"Aku tidak menderita sama sekali, Sayang. Aku hanya mencemaskanmu. Orang ini bukan orang sembarangan, dia pasti akan mencoba untuk membunuhmu lagi."

"Kau tidak perlu mencemaskan aku, Love. Aku akan meningkatkan penjagaan disekitar kita. Dan untuk sementara waktu, selama pria itu belum ditangkap, kau harus berada di rumah ini. Tak ada orang yang bisa menyentuh rumah ini." Dan keamanan yang paling baik menurut Aeden adalah kediamannya. Memang benar, tak akan ada yang bisa keluar dan masuk ke dalam rumah itu tanpa seizin dari Aeden.

"Tidak, Sayang. Jika aku berada di dalam rumah maka kita tidak akan bisa mendapatkan orang itu."

"Apa maksudmu, Love?" Aeden menangkap sesuatu yang tidak menyenangkan disini, "Aku tidak akan mengizinkan kau menjadi umpan orang itu."

"Jika kita tidak melakukannya maka kita tidak akan mendapatkan siapa Mr. X itu. Kali ini aku yakin dia akan menggunakan tangannya sendiri. Setelah 2 kali kegagalan dia pasti muak menggunakan orang lain."

"Aku tidak mengizinkanmu, Love!" Aeden meninggikan suaranya. Tidak, dia tidak akan menempatkan Lova dalam keadaan berbahaya. Orang itu bisa saja membunuh Lova.

"Sayang, dengarkan aku."

"Aku tidak akan mendengarkan apapun, Love. Kau tidak boleh keluar dari rumah ini. Tidak boleh!" Aeden bersuara final. Ia keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan Lova dengan tangannya yang terkepal marah. Ia tidak segila itu untuk membuat wanitanya menjadi umpan. Bagaimanapun caranya ia akan mendapatkan pria itu tapi ia tak akan pernah menjadikan Lova sebagai umpan, tak akan pernah.

Lova menghela nafas, "Baiklah, Aeden. Mengikuti maumu lebih baik daripada mendapatkan orang itu." Lova tak akan membuat Aeden menderita dengan idenya.

♥♥

Besok paginya Aeden masih mendiami Lova, bahkan semalam Aeden tidak tidur di kamar dengan Lova. Lova menyadari jika Aeden kecewa pada pilihannya.

Di meja makan Aeden hanya diam saja, Lova sesekali melihat ke arah Aeden. Dan akhirnya ia berhenti makan.

"Kau akan mendiamiku sampai kapan?"

Aeden berhenti makan, ia meletakan sendoknya dan berdiri dari tempat duduknya.

"Aish!" Lova mendengus kesal, ia segera melangkah menghadang Aeden.

"Aku tidak akan keluar seperti yang kau katakan. Sudah cukup, jangan mendiamkan aku. Aku menuruti kata-katamu. Tidak enak tidur tanpa pelukanmu."

"Kau tahu apa kesalahanmu, Love?"

"Karena aku membantahmu."

Aeden tersenyum datar, "Aku tidak akan marah hanya karena itu, Love. Sudahlah, aku harus bekerja." Aeden mencoba melewati Lova.

"Aku membahayakan nyawaku sendiri. Aku kejam padamu. Itu kesalahanku." Lova tahu jawaban inilah yang Aeden inginkan.

Aeden berhenti melangkah. Apa yan Lova katakan memang benar, itulah alasan kemarahannya.

"Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan membuat kau merasa kehilangan lagi." Lova sudah kembali berada di depan Aeden. "Lakukan dengan caramu, kita lakukan dengan caramu."

Melihat Lova dengan wajah yang hampir menangis, Aeden tak bisa keras lagi. Ia memeluk Lova, mengelus lembut kepala wanita yang ia cintai itu.

"Jangan terlalu kejam padaku, Love. Jika sesuatu terjadi padamu untuk apa aku hidup?"

"Maaf. Aku salah." Dan Lova menjadi sentimentil, setelah beberapa tahun ia tak menangis, akhirnya ia menangis juga. Efek cinta memang begitu kuat untuknya.

"Aku hanya ingin kau mengerti. Aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak bisa menempatkanmu dalam bahaya. Aku tidak bisa, Love. Benar-benar tidak bisa."

"Aku mengerti. Aku mengerti."

Aeden mengecup puncak kepala Lova, ia melepaskan pelukannya, menghapus air mata yang membasahi wajah Lova, "Aku sudah tidak marah lagi. Jangan menangis lagi."

"Aku sudah berhenti menangis." Lova memasang wajah manja, dan kini ia tersenyum, "Kita lanjutkan sarapan. Kau belum makan setengah dari sarapanmu."

"Aku membuatmu sedih pagi ini, bagaimana jika aku tidak bekerja hari ini?"

Lova mengangguk cepat, "Itu ide bagus."

"Wah, Love. Kau berbeda dari banyak wanita, biasanya mereka akan mengatakan bagaimana bisa kau seenaknya dalam bekerja, lalu aku akan menjawab karena aku adalah bosnya. Astaga, ini tak sesuai perkiraanku."

Lova tertawa geli, "Itulah kenapa kau tidak harus menyamakan aku dengan wanita lainnya, Sayang. Karena wanitamu ini berbeda."

Aeden memeluk Lova lagi, wajah mereka berhadapan sekarang, "Benar, Dealovaku memang berbeda."

"Sekarang, ayo kita sarapan. Setelah itu kita bermain tenis, setelah bermain tenis kita menonton lalu tidur siang, setelah tidur siang kita.."

"Kita tidur lagi sampai makan malam tiba. Apa itu baik-baik saja, Love?" Aeden memotong ucapan Lova.

"Ya, tentu. Itu baik-baik saja." Lova tersenyum manis.

tbc