Dua hari sudah Aeden mendiamkan Lova. Pria itu masih saja tak membiarkan Lova keluar dari kamar. Ketika Lova ingin bertemu dengannya, ia memilih untuk pergi. Aeden merasa ia sudah terlalu lembut pada Lova hingga wanita itu berani pergi tanpa izin darinya. Sekarang ia sedang mencoba cara keras. Ia akan mempertahankan Lova di kediamannya dengan cara keras itu.
"Sarah, berikan ini pada Lova. Percantik wajahnya. 30 menit lagi bawa dia turun." Aeden memberikan paper bag pada Sarah.
"Baik, Tuan." Sarah meraih paper bag tadi dan pergi ke kamar Lova.
Setengah jam kemudian Lova turun dengan gaun hitam yang pas pada tubuhnya. Riasan di wajahnya membuat dia terlihat makin cantik.
Aeden tak mengatakan apapun meski matanya mendamba kecantikan Lova.
"Kita mau pergi kemana?" Lova bertanya, Aeden mengabaikannya. Pria itu melangkah lebih dulu.
Lova menghela nafasnya. Aeden masih marah. Ia segera menyusul Aeden agar pria itu tak lebih marah lagi.
♥♥
Aeden membawa Lova ke sebuah pesta. Ia keluar dari helikopternya bersama dengan Lova. Ia merengkuh pinggang Lova masih dengan tanpa mengatakan apapun.
Dua sahabat Aeden lainnya juga datang membawa wanita mereka masing-masing. Aeden mendekati dua sahabatnya. Setelah bergabung dengan dua sahabatnya mereka melangkah menuju ke Oriel yang baru saja sampai.
Dealova melihat ke rekan-rekannya yang juga ada di pesta itu. Ternyata ia memiliki teman di pesta yang tak ia ketahui pesta siapa ini. Ya meskipun ia harus berakting mereka tak saling kenal.
Mereka masuk ke tempat acara berlangsung. Melangkah ke sebuah meja yang sudah diberi nomor. Pesta ini terlihat mewah, jika Dealova bisa menebak, pastilah ini pesta mafia.
Aeden bersama 3 temannya, melangkah menuju ke pemilik acara. Mereka membiarkan wanita-wanita mereka bersama agar lebih dekat.
"Ah, ini lucu." Qiandra membuka mulutnya. "Saat aku pikir hanya Bryssa dan aku yang terhubung dengan mafia berbahaya itu, ternyata kalian juga sama."
"Tak ada yang tahu jalan hidup, Qiandra. Siapa yang menyangka jika kakakmu adalah mafia paling tenang dan mematikan itu." Lova membalas ucapan Qiandra.
"Sepertinya kita belum bercerita mengenai kenapa kita bisa bersama orang-orang ini. Qiandra pasti bukan sekedar adik bagi Ezell." Bryssa menatap 3 sahabatnya bergantian.
"Tidak ada waktu untuk bercerita. Jangan membuat orang menyangka kita saling kenal."
"Oh, Sam. Kau selalu bertingkah ketua dimanapun. Nikmati pesta ini, sayang." Bryssa menggoda Beverly. "Bagaimana dengan Oriel? Aku pikir dia yang paling berbahaya."
Dealova melirik ke arah Beverly yang hanya diam. Ia berpikir untuk ikut menggoda Beverly, "Ketua kita juga berbahaya, Bryssa. Dia cocok dengan Oriel. Kita lihat siapa yang akan memimpin diantara dua ketua ini."
"Aku menjagokanmu, Sam." Qiandra tersenyum pada Beverly.
"Aku... Oriel." Bryssa berkhianat. Dia malah menjagokan ketua Zavier bukan ketuanya.
"Aku... Oriel." Lova sama dengan Bryssa.
"Hentikan percakapan kalian. Mereka kembali."
Keempat wanita itu bersikap biasa lagi. Oriel dan 3 temannya kembali ke meja tempat mereka duduk.
"Kenapa tidak memakan makananmu, Sayang?" Dealova melihat ke arah Oriel yang bicara pada Beverly.
"Aku masih kenyang."
"Bohong. Kau belum makan tadi." Oriel bersuara lagi. Ia meraih piring berisi makanan tadi, "Buka mulutmu."
Dealova memperhatikan Oriel dan Beverly. Ketuanya itu tidak pernah mau menuruti perkataan orang lain, tapi saat ini? Dealova pikir jika Beverly memiliki rasa untuk Oriel.
"Aw, Oriel. Kau manis sekali, Sayang. Bisa suapi aku juga?" Aeden yang suka menggoda tak menyiakan kesempatan ini. Berkat Oriel, Dealova bisa melihat senyuman Aeden lagi. Sudah 2 hari ini Lova tak melihat senyuman jahil Aeden. Lova hanya memperhatikan wajah Aeden yang tak menunjukan kemarahan sama sekali.
Pesta usai. Aeden dan yang lainnya melangkah ke tempat parkir helikopter mereka.
"TIDAKK!" Zavier berteriak kencang, ia memeluk Bryssa dengan cepat. Semua terjadi dengan cepat. Aeden berlari bersama dengan Ezell sementara Oriel segera mendekat ke Zavier.
"Apa yang kalian lihat? Bawa Zavier ke kediamannya, sekarang!" Oriel memerintah pilot Zavier. Dealova menghitung ini kedua kalinya Zavier tertembak selama ia bersama dengan Aeden.
"Sayang, kau pulang bersama dengan Dealova dan Qiandra. Aku harus menyelesaikan masalah disini."
"Aku mengerti."
"Bryssa, apa yang kau lakukan disini! Cepat masuk ke helikopter!" Bentak Oriel pada Bryssa. Setelahnya Oriel pergi menyusul teman-temannya.
Setelah Bryssa masuk ke helikopter, Lova dan juga dua temannya masuk ke helikopter lain. Masih seperti tak pernah dekat sebelumnya, Lova tak begitu banyak bicara dengan dua temannya.
♥♥
Aeden kembali ke kediamannya setelah keadaan Zavier membaik.
"Nona Lova dimana?" Aeden bertanya pada Sarah.
"Tuan tidak mengizinkannya keluar kamar, dimana lagi dia berada kalau bukan disana?"
Mendengar jawaban Sarah, Aeden segera melangkah ke kamar Lova. Bisa gila dirinya jika menahan diri jauh dari Lova.
Cklek, Aeden membuka pintu kamar Lova.
"Apa yang dia lakukan semalaman? Kenapa dia tidur di sofa?" Aeden segera melangkah menuju ke sofa. Ia berjongkok di depan sofa, rasanya sudah begitu lama ia tidak memperhatikan wajah Lova.
Aeden mendekatkan wajahnya ke wajah Lova, awalnya ia hanya mengecup bibir Lova lalu setelahnya ia menggigiti bibir Lova pelan. Sial! Ia merindukan bibir Lova, sangat rindu.
Mata Lova terbuka, kegiatan Aeden pada bibirnya membuatnya terganggu akhirnya terbangun dari tidurnya.
Sadar Lova terjaga, Aeden melepaskan ciumannya.
"Kenapa kau tidur di sofa?"
Lova akhirnya kembali mendengar Aeden bicara padanya.
"Bagaimana dengan si penembak?" Lova malah balik bertanya.
"Kau tidak menjawabku, Lova."
"Semalam aku menonton hingga aku ketiduran."
"Pinggangmu pasti sakit. Kau tidur dengan posisi miring seperti ini. Apa gunanya ranjang itu jika kau tidcur disini. Apa aku harus membuang ranjang keluar dari kamar ini?"
"Aku kan sudah bilang aku ketiduran. Aku tidak sengaja ingin tidur disini." Lova beradu mulut lagi dengan Aeden. Aktivitas yang diam-diam Lova rindukan.
"Balik tubuhmu!" Aeden memberi perintah.
Lova mengerutkan alis bingung, "Kenapa aku harus berbalik?"
"Lova.." Aeden bersuara pelan tapi memaksa.
"Baik, baik." Lova segera membalik tubuhnya.
Yang Aeden lakukan adalah memijat bagian punggung hingga ke pinggang Lova. Hal yang tak Lova sangka sama sekali.
"Jangan tidur di sofa lagi!" Aeden memberikan larangan lainnya.
"Kau banyak sekali melarangku ini dan itu, Aeden!"
"Ini demi kebaikanmu."
"Kebaikan yang mana?" Lova benci ketika ia dijadikan alasan larangan ego Aeden. "Melarangku berenang, melarangku melukis dan ke galeri, melarangku keluar dari kamar, bagian mana yang demi kebaikanku?"
Aeden berhenti memijat pinggang Lova, "Aku tidak akan melarangmu keluar dari kamar, aku tidak akan melarangmu untuk berenang dan aku tak melarangmu untuk melukis dan ke galeri lagi, tapi, sebagai gantinya kau harus menghubungiku satu jam sekali. Aku tidak suka mencari orang, Lova. Aku tidak suka khawatir dan aku tidak suka melukaimu. Kau paham maksudku, kan?"
Lova membalik tubuhnya, ia menghadap ke Aeden dan melihat wajah Aeden yang terlihat serius dengan kata-katanya.
"Aku mengerti."
Aeden hanya butuh Lova mengerti. Ia tidak bisa kalang kabut mencari Lova. Ia tidak bisa kehilangan Lova dari pandangannya. Ia tidak bisa memikirkan kemungkinan Lova pergi. Ia tidak bisa ditinggalkan oleh Lova.
"Maafkan aku. Aku menamparmu hingga bibirmu berdarah."
"Maaf saja tidak cukup."
"Kau bisa menamparku jika kau mau."
Lova mengangkat tangannya, mengayunkannya keras hendak menampar Aeden tapi ayunan kencang itu berhenti, tamparan yang harusnya keras berganti dengan elusan lembut, hal yang tak disangka sama sekali oleh Aeden.
"Kau mencariku semalaman, ya?"
"Aku pikir kau pergi."
"Kau ini memang bodoh. Sudah aku katakan, aku akan pergi jika kau mengusirku pergi."
"Kau tidak pernah ingin di sisiku. Jadi, aku pikir kau pasti meninggalkan aku."
Lova tertawa kecil, "Takut sekali aku tinggalkan, ya?"
"Sepertinya begitu."
"Bagaimana dengan Lovita?"
"Memikirkan satu wanita saja menyulitkan apalagi harus memikirkan dua wanita. Kau sudah membuatku sakit kepala, aku tidak harus memikirkan yang membuatku sakit kepala lainnya." Aeden tak menghubungi Lovita lagi setelah pertama dan terakhir ia menghabiskan waktu dengan Lovita. Ia sadar, yang ia cari adalah Lova bukan Lovita. Persetan dengan kemiripan Lovita dengan ibunya. Ia lebih takut kehilangan Lova daripada kehilangan Lovita yang hanya mirip dengan ibunya.
Dia bisa gila kalau Lova pergi meninggalkannya, dan Lovita? Dia sudah ditinggalkan oleh ibunya jadi tak akan berpengaruh apapun.
"Kemana saja kau dua hari ini?"
"Kenapa? Kau merindukan aku?"
Lova mendengus, "Memangnya aku sudi merindukan orang yang sudah menamparku?" Lova bohong jika dia tak merindukan Aeden. Dia kehilangan teman berdebat, kehilangan senyuman jahil Aeden dan kehilangan kemesuman Aeden.
"Kau membenciku karena hal itu?"
"Aku tahu kenapa kau menamparku. Aku tidak akan membencimu karena alasanmu yang mengkhawatirkan aku. Aku pikir mencari orang dengan rasa khawatir lebih buruk dari ditampar seseorang."
"Baguslah jika kau tidak membenciku." Aeden lega. Ia pikir Lova akan membencinya, ini alasan kenapa dia tak kembali, ia takut Lova melihatnya dengan tatapan benci. "Aku merindukanmu, Love." Aeden menggenggam tangan Lova.
"Merindukan yang mana? Bibir, tubuhku, atau wajahku?"
"Kau benar-benar sudah bisa menggoda." Aeden mencubiti wajah Lova gemas, "Aku merindukan semua tentangmu."
"Aih, kau manis sekali."
"Sangat menyenangkan kau tidak mengatakan kau mual karena kata-kataku."
Lova tertawa geli karena kata-kata Aeden.
"Mandilah, setelahnya kita sarapan."
"Kau tidak ingin mandi bersamaku?"
Aeden takjub dengan kemesuman Lova sekarang, "Kau tertular virusku sepertinya."
"Aku belajar dengan baik, Master."
"Aku tidak menyakitimu di ranjang, Lova. Aku bukan penganut BDSM seperti Ezell."
"Padahal aku sangat ingin kau ikat di ranjang. Aw, rasanya pasti lebih nikmat. Apa aku harus mencoba Ezell?"
"Mau mati?!"
"Aku bercanda, Aeden."
"Bicara seperti itu lagi aku akan menusukmu seharian."
"Itusih maumu."
"Maumu juga."
"Ah, baiklah. Mauku juga."
Perdebatan pagi itu bersambung di kamar mandi. Aeden banyak bicara dan Lova menanggapi. Jadilah percakapan itu tanpa ujung lagi.
tbc