webnovel

Nama yang Mengabadikan Luka

Aldo Bagaskara, nama itu memang tidak pernah dilupakan Balqis seumur hidupnya. Sebab, pria itulah yang menjadi alasan Balqis melajang dan trauma menjalin hubungan dengan lelaki. Ingatan buruk kembali berpendar di pandangannya saat menatap Aldo.

10 tahun yang lalu

Secarik kertas diacungkan ke langit. "SIAPA YANG MENULIS SURAT CINTA INI?" pekik Aldo di tengah lapangan basket.

Para murid yang ada di sana mulai merapat. Mereka yang hendak pergi istirahat di kantin lebih memilih berkumpul di pusat kehebohan itu.

"Aku akan bacakan isi surat ini." Aldo mengibas baju tim basketnya dan mulai membaca secarik kertas warna pink. "Aku sangat mengagumimu, apalagi saat kau pernah menyelamatkan aku yang hampir ditabrak motor. Aku menyukaimu. Semoga kau juga sama…."

Semua orang saling melempar pandangan. Kecuali Balqis menguncup dan menggigit bibir bawahnya yang pecah-pecah.

"Kalian semua pasti penasaran siapa orang ini bukan? Sama aku juga tidak mengenal wanita aneh yang memiliki nyali luar biasa."

Gemetar di sekujur tubuh Balqis bertambah tiga kali lipat. Ia merapikan tata letak kacamatanya.

"BALQIS… apa kau ada di sini?"

Para murid yang berada di sampingnya lalu memisahkan diri.

"Oh ternyata kau orangnya." Aldo merobek surat cinta itu dan melemparkannya ke wajah Balqis.

Aldo menabrak bahu Balqis lalu ia berbalik ke hadapan gadis itu. "CUIH…" Salivanya mendarat di pipi Balqis. "Jangan pernah bermimpi. Aku tidak akan pernah menyukai gadis jelek, bau, dan tidak seksi sama sekali."

Hati Balqis sungguh disiram lahar dari gunung berapi. Bahkan ia hampir pingsan menghadapi kenyataan itu. Dia juga tidak mengerti keberanian itu datangnya dari mana.

Sejak saat itu Aldo mulai membully Balqis lewat para siswi yang suka dengannya. Balqis dikunci di kamar mandi. Disiram dengan air kotor. Pada puncaknya dia ditumbalkan Aldo atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan.

"Bapak tidak percaya kamu yang menggambar badan binatang kepala manusia dan wajah itu persis sekali dengan bapak." Kepala sekola menggelengkan kepalanya. "Bapak kecewa kamu berani mencoret tembok sekolah dan mencela orang tua."

Balqis tertunduk sementara Aldo tersenyum tipis. "Ini pak bukti tambahan yang kami temukan." Aldo dan teman-temannya tidak ingin disalahkan sehingga mereka memanipulasi dan menumbalkan Balqis.

"Terima kasih, kamu sudah boleh pergi!"

Aldo memang selalu mendapatkan citra baik di depan para guru. Bahkan dia juga menjabat sebagai ketua OSIS. Namun, tidak ada yang tahu kalau dia bisa berbuat kejam terhadap orang yang tak disukainya.

"Dengan terpaksa, kamu harus dikeluarkan dari sekolah ini."

Duar…

Balqis masih mengingat kejadian itu dengan spesifik. Tangan Balqis terkepal dengan kuat dan nafasnya menggebu-gebu. Cukup lama ia terdiam menatap pria tampan yang memperlakukannya seperti sampah.

Aldo mengerutkan dahi. "Excuse me?"Aldo tidak mengerti kenapa aura Balqis seakan tidak menyukai dirinya.

"Qis… Qis….!" Asistennya coba menyadarkan Balqis.

"Oh, maaf. Ayo silahkan duduk!"

Balqis semakin yakin kalau Aldo memang tidak menyadari siapa dirinya sama sekali. metamorfosis Balqis memang cukup nekat. Ia tersenyum dan sedikit memperlihatkan giginya yang rapi dan putih bersih. Syukurlah dia tidak mengenalku, gumam Balqis.

"Perkenalkan saya Balqis, wedding planner di sini!" Mata Balqis langsung memantau ke arah sekitar untuk mencari keberadaan calon mempelai wanita.

Aldo cukup mengerti apa yang dicari Balqis. "Senang bertemu dengan Anda. Anda sangat can…." Hampir saja Aldo terpeleset lidahnya karena terpesona dengan wajah Balqis. "Maaf, pacar saya agak telat, tapi sebentar lagi pasti datang."

"Oh begitu," Balqis hanya mengangguk. Tidak bersemangat lagi memandang wajah pria yang paling dibenci seumur hidupnya.

Beberapa saat tidak ada pembicaraan di antara mereka. Aldo cukup heran kenapa Balqis lesu, tidak seperti gadis pada umumnya. Jika bertemu dengan Aldo pasti terkesima dengan dirinya yang tampan, mapan, dan dermawan.

Hujan masih saja belum reda. Beberapa kali Aldo menengok ke belakang. Sesekali juga ia melirik arloji di pergelangan tangan. Pembicaraan itu terhenti hampir sepuluh menit.

Asisten Balqis mencium aroma kecanggungan pada pertemuan pertama mereka. "Qis kenapa tidak bicara? Nanti klien kita bisa kabur."

Balqis meratakan tubuhnya untuk bersikap profesional. Pria itu juga tidak mengingat siapa dirinya, pikir Balqis. "Maaf, tadi saya hanya memikirkan konsep yang sesuai untuk pernikahan Anda."

Balqis mencoba mencairkan keadaan yang kaku. Padahal dari lubuk hatinya yang paling dalam Balqis memang tidak ingin sama sekali berniat berbicara dengan Aldo.

"Panggil saja saya Aldo, supaya kerjasama kita tidak kaku," sarannya.

"Baik, apa kalian punya request tertentu untuk pernikahan ini?"

"Ehm… saya sebenarnya tidak terlalu mengerti soal ini, tunggu sebentar!" Aldo beranjak dari tempat duduk. Dia sepertinya akan menelpon seseorang.

Aldo agak menjauh dari Balqis.

"Pasti dia lagi menelepon pacarnya yang model itu," ujar Asisten Balqis.

"Hush, jaga bicaramu. Nanti klien kita bisa salah paham kalau kamu sering berbisik seperti ini!"

"Ok bos."

Aldo kembali lagi duduk di hadapan Balqis. "Untuk konsep pernikahan kami, kita tunggu saja pacar saya. Dia sudah on the way ke sini."

Balqis pura-pura menatap arloji. Ingin sekali ia mengusir secara langsung pria menyebalkan itu. Dia benci mengingat nama yang mengabadikan luka di masa lalu.

Aldo kembali memandang wajah Balqis yang tampak tak asing. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" jiwa penasarannya kian meronta.

"Saya rasa tidak," jawab Balqis untuk mempersingkat waktu.

Aldo mulai mengingat-ingat di mana mereka sebelumnya bertemu. Di tengah pencarian momen itu, pacarnya datang.

"Honey!" Pacar Aldo yang supermodel itu menyerbakkan aroma bunga yang kuat.

Rambutnya yang lurus sepinggang dan dress bunga ditutup dengan jaket denim cukup mempertontonkan sisi manis dan feminim. "Hallo, perkenalkan aku Karinina!" Ia mengulurkan tangan pada Balqis.

Balqis berdiri dan menyambut tangan lembut dari super model tinggi semampai. "Saya Balqis."

"Maaf, aku telat. Tadi ada meeting." Karinia duduk di samping pacarnya.

"Tidak apa-apa." Padahal Balqis ingin segera mengakhiri pertemuan pertama mereka.

"Kami rencananya akan menikah setahun dari sekarang, tapi mama Aldo ingin kami segera menikah, jadi kami mengambil jalan tengahnya untuk menikah sekitar enam bulan dari sekarang. Apa bisa semuanya diurus?"

"Tentu saja, waktu enam bulan cukup untuk mempersiapkan pernikahan kalian. Jadi konsep seperti apa yang kalian inginkan?"

"Aku ingin konsep pesta di taman saja, tapi mama kamu setuju tidak honey?" Karinina melirik Aldo.

"Bagaimana kalau kita membicarakan ini dengan keluarga kalian berdua juga? Jadi bisa mencari konsep yang tepat dan semuanya setuju," saran Balqis.

"Apa tidak bisa hari ini saja menentukan konsep pernikahan ini? Seminggu ke depan aku mungkin tidak ada di sini. Ada pekerjaan yang tidak bisa dicancel."

Aldo memegang tangan pacarnya. "Kamu tidak bilang sebelumnya…." Wajah Aldo berubah murka.

"Aku sudah katakan, aku tidak bisa mengurus pernikahan ini sendiri. Kita butuh wedding planner. Gampang kan?" Karinina menyilangkan tangan. Dia tersenyum seolah tidak bersalah atas ucapannya tadi.

"Ini konsep yang bisa kalian pilih!" Balqis memberikan portofolio berisi konsep pernikahan yang dapat dipilih oleh kliennya.

Aldo mengalah. Ia menelpon ibunya. Beranjak dari tempat duduk dan menjauh dari mereka semua.

"Aku pikir ini cocok untuk pernikahan kami!" Karinina menunjuk pada konsep pernikahan di taman dengan nuansa serba putih.

"Apa semuanya akan diadakan di outdoor untuk akad dan resepsinya juga?" tanya Balqis untuk memastikan supaya dicatat sang asisten.

"Aku pikir dua-duanya lebih romantis dan sweet jika diadakan di outdoor," bisik Karinina sembari tersenyum seolah mereka sudah akrab.

Balqis menatap punggung lebar yang sedang menelpon sang ibu. "Bagaimana dengan calon suami Anda? Apa dia setuju?"

"Aku rasa pacarku juga pasti akan setuju, tapi aku tidak tahu dengan mamanya."

"Sayang, mama bilang dia harus melihat dulu konsep itu dan membicarakan ini…," jelas Aldo.

"Kenapa sih kamu harus mendengar apa kata mamamu? Ini kan pernikahan kita. Selalu saja Mama. Kalau bukan karena mama kamu, apa kamu juga tidak akan menikah denganku?" Emosi Karinina cukup membludak.