webnovel

Hati yang terombang ambing

"Tenang! Tenang! Tenang!" Shanum berusaha menghibur Balqis dari seberang telepon.

"Hiks…."

Balqis tidak bisa berhenti menangis bukan karena masih kesal pada Aldo, tapi dia merasa hari itu tidak beruntung. Bersabar di tengah kerumunan kemacetan.

"Sha, aku ingin menenangkan diri. Nanti kamu yang urus semuanya."

"Siap bos."

Balqis menatap gadis kecil yang lucu dan mengemaskan di sampingnya. Seketika hatinya terenyuh. Tangannya lalu mendarat di pipi anak kecil itu. Ia mencubit dan bercanda ria hingga tertawa menguap di tengah cuaca yang panas.

Hati Balqis mulai tertata kembali. Dia sudah bisa berpikir dengan jernih. "Lihat saja kau Aldo, aku jamin hidup kamu tidak akan tenang." Ia menghela nafas.

Mini Cooper itu mulai mengarah ke tempat kerjanya. langkah kakinya masih berat karena ampas ingatan tentang bagaimana Aldo menyinggung kesendiriannya masih tak bisa hilang.

"Eh sayang, kenapa lama sekali?"

Mata bengkak dan hidung merah sudah bisa disimpulkan setiap orang yang menamui Balqis, jika ia menangis.

"Terima kasih ya sudah membantu aku mengurus keponakanku."

"Ah tidak apa-apa. Aku juga harus pulang dulu."

"Qis tunggu dulu!" Shanum rupanya keluar dari kantor saat melihat mobil Balqis terparkir.

Balqis terpaksa datang ke kantor. Sebenarnya dia sudah tidak memiliki energi lagi untuk bekerja atau berbicara banyak hal dengan teman-temannya. "Ada apa?"

"Kita harus bicara soal yang tadi."

Balqis berjalan dengan tatapan kosong dan tubuhnya seakan tak kuat menopang diri.

Shanum menutup pintu ruang kerja Balqis. Dia menyilangkan tangan ke dada. "Sudah aku bilang dari dulu, kamu sih tidak mendengar apa yang aku sarankan. Setiap pria yang aku tawarkan kamu terus menolak."

"Jadi aku harus bagaimana? Aku sudah pusing apalagi nanti harus berhadapan dengan spesies pria yang menyebalkan itu."

"Baik, rencana pertama yang bisa kita lakukan adalah kamu harus mulai menemukan pria yang tepat untuk dipamerkan pada Aldo."

"Kamu kira mudah menemukan pria yang tepat dalam waktu sehari?"

Shanum tampak memperhatikan temannya dan memikirkan sesuatu. "Untuk saat ini kami harus terlihat punya seseorang yang bisa dipamerkan ke dia. Bagaimana kalau kita bayar orang untuk jadi pacar atau tunangan kamu?"

Balqis bergedik. "Tidak, jangan merencanakan hal aneh. Aku tidak ingin berbohong. Aku sudah memutuskan untuk bertemu dengan seorang pria yang tepat dan tujuanku saat ini adalah menikah."

Shanum memandang Balqis dari atas sampai bawah. Temannya itu sudah menolak puluhan pria yang ia tawarkan sejak mereka kuliah. Seleranya tak diketahui. "Kamu yakin? Baik aku punya selusin pria yang bisa dikenalkan untukmu."

Balqis langsung menoleh dengan cepat ke arah Shanum. "Are you crazy? Memangnya sendok?" Dia menyilangkan tangan dan meniup rambutnya yang berada di depan wajah.

"Ini jalan satu-satunya untuk kamu bisa membuktikan kalau kamu juga punya pasangan hidup dengan Aldo."

"Terserah kamu saja! Kamu urus semuanya." Balqis beranjak dari sofa. "Aku ingin kamu yang urus pernikahan Aldo, aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengan pria brengsek itu.

"Tap-tap-pi…." Shanum menggaruk kepalanya.

Balqis pergi dengan wajah yang tidak menyenangkan sama sekali. "Ya ampun." Langit kembali murka di hari yang menyebalkan versi Balqis.

Balqis kembali mempertimbangkan setiap pria yang dikenalkan teman-temannya. Belum juga Balqis masuk ke dalam mobil, ia sudah dihadapkan pada puluhan notifikasi. Isinya tentu saja berisi foto-foto pria yang akan dikenalkan pada dirinya.

"Shanum." Dia menyetir dengan huru hara pikiran yang tak tentu arah. Itu karena umurnya yang sebentar lagi akan menginjak 30 tahun.

Satu lagi notifikasi yang diabaikan Baliqis dan dilanjutkan dengan kumandang dering. "Duh Shanum ganggu sekali."

"Hallo Sha, aku tadi sudah peringatkan. Jangan ganggu aku dulu."

"Maaf, ini saya Aldo. Saya ingin minta maaf dengan Anda, tadi saya emosi karena…."

"Sekarang bukan jam kerja, jadi tolong jangan hubungi saya sesuka hati kamu saja."

Balqis menutup ponsel itu. Ia sudah tidak peduli dengan bisnisnya yang bisa saja terancam kehilangan klien penting. "Arghhhh, kenapa semuanya jadi rumit begini?" Dia menuju rumah orang tuanya dengan berat hati.

Pemandangan rumah sederhana tanpa pagar dan sama dengan rumah yang ada di sampingnya memang terlihat asiri. Rindangnya pohon hijau yang tertata bersama warna-warni bunga, tapi saat masuk ke dalam rumah hatinya tak pernah setengah menyaksikan indahnya depan teras.

"Qis makan dulu!" titah ibunya.

"Balqis sudah makan tadi Bu." Dia berlalu dari hadapan kedua orang tuanya di depan ruangan televisi.

Satu pesan masuk dan itu dari Aldo.

+62

Nona Balqis boleh saya bertemu. Saya ingin meminta maaf secara langsung. Saya tunggu di cafe dekat kantor Nona malam nanti.

"What? Ngotot sekali sih pria ini." Balqis mengurut pelipisnya yang berdenyut.

Balqis harus dihadapkan pada pilihan harus bertemu dengan Aldo atau tidak. Pada satu sisi dia memang membenci setengah mati pria itu, tapi kalau kantornya kehilangan klien bonafit ini bisa-bisa bisnisnya tidak memiliki pemasukan. Gaji karyawan bisa saja berkurang. "Oh tidak!"

Ia mandi, berganti pakaian, dan berselancar di media sosial untuk mencari informasi penting tentang Aldo dan ruangannya. Untuk referensi.

Pukul 19.20 Balqis masih mondar mandir memakai piyama warna ungu sembari mengigit bibir bawahnya. "Apa aku harus pergi?"

Helaan nafas dan Balqis mulai melatih senyum. Ia memilih blouse putih dan celana jins untuk dipakai bertemu dengan Aldo. Riasan tipis dengan rambut bergelombang tergerai indah cukup membuatnya sedikit percaya diri.

Mini Cooper itu kembali lagi ke coffee shop yang dekat dengan kantornya. Suara dentuman musik pop mulai mengudara saat Balqis masuk ke dalam ruangan.

Dag Dig dug…. Bertalu-talu menggambarkan isi hatinya yang gundah bertemu dengan Aldo. Sialnya lelaki itu sangat memukau dengan kaos denim putih yang mencekik badannya hingga memperlihatkan otot dan perut sixpack.

"Ada apa ingin kamu ingin bertemu denganku?"

"Kamu pasti sangat kesal, tadi aku sudah bersikap berlebihan. Maaf, aku tidak seharusnya seperti itu. Aku juga harap kamu bisa memaafkan aku."

Balqis menarik nafas. Kalau bukan karena uang Balqis tidak akan pernah berpura-pura menjadi baik di depan Aldo.

"Its ok. Kalau tidak ada lagi yang dibicarakan aku pergi dulu. Nanti orang mengira kita…."

"Izinkan hari ini saja, aku mentraktir kamu, sebagai permintaan maafku."

"Apa kamu sudah mengatakan pada Karinina kalau kita akan bertemu?"

Rona wajah Aldo yang awalnya cerah kian meredup. "Aku sedang bertengkar dengannya…."

Balqis semakin muak, jadi pria itu memang sangat mudah menceritakan keburukan pasangannya dengan orang lain. Ia muak dengan sesi curhat colongan itu. Seringkali Balqis melihat arloji.

Ponselnya berbunyi. "Halo, oh iya… tunggu sebentar aku akan segera ke sana!" Balqis beranjak dari tempat duduk.

"Mohon maaf, saya ada urusan. Dan saya harus pergi."

Balqis tentu saja berbohong untuk pergi dari sana. Kalau tidak, emosinya bisa memanas sepuluh kali lipat.