webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang · LGBT+
เรตติ้งไม่พอ
61 Chs

BAB 2 Bagian 3

Kabar buruknya satu. Rumah ini memang sepi sekali bila tanpa pelayan yang berseliweran. Ginnan pikir, bila sudah jam tidur, mereka pun pasti pergi istirahat. Padahal tadi ada banyak mereka yang masih bertebaran. Kini seolah-olah menghilang. Namun, di sisi lain Ginnan juga bersyukur. Dengan begini dia bisa turun sendiri tanpa ketahuan siapa pun.

"Ren?" Ginnan sempat menelpon nomor pria itu, namun tidak aktif. Matanya jadi berkerlap basah namun dia tak menyerah untuk mencari. Beberapa ruangan terdekat yang bisa dijangkau dia buka, tapi tak ada Renji di sana.

Ginnan pun memutuskan turun tangga meski rasanya ingin menangis. Dia agak ngeri dengan suara langkah kakinya sendiri yang penuh oleh kesunyian, lebih-lebih gemericik air terjun buatan di tengah kolam dalam ruang.

Dia sempat meraba kaca pintu yang mengembun dari dalam, lalu membukanya perlahan dengan sisa tenaga yang masih ada.

"Tuan Ginnan?"

DEG

"Eh?"

Beberapa penjaga rumah refleks mendekat padanya meski tadi fokus pada kegiatan masing-masing.

Ada yang baru akan menutup gerbang. Ada yang sedang mematikan beberapa lampu luar. Ada yang memasukkan burung rumah kaca dalam sangkar. Ada juga yang sedang menata tempat parkiran.

"Anda sedang apa di sini?" tanya salah satu dari mereka. Lelaki itu tampak khawatir, begitu juga dengan rekannya yang baru sampai di hadapan Ginnan.

"Iya, ini sudah malam. Anda butuh sesuatu?" tanyanya.

"Katakan saja kepada kami, Tuan."

"Iya, mungkin ada yang bisa dibantu?"

"Saya bisa ambilkan jas atau semacamnya," kata si penjaga terakhir. "Anda sepertinya tidak nyaman dengan angin luar."

Ginnan malah agak pusing mendengar kicauan mereka semua. Dia tersenyum lemah, memijat tengkuk salah tingkah, dan memandang mereka satu per satu.

"Umn, tidak perlu... tidak perlu," kata Ginnan. "Tapi, apa ada yang melihat Renji? Tadi dia bilang akan menyusulku tidur. T-Tapi... tapi malah tidak datang."

Ginnan ingin menjerit karena kata-katanya sendiri.

"Ah, Tuan Renji."

Beberapa penjaga tampak berpandangan satu sama lain. "Tadi beliau pergi dengan mobilnya, Tuan," kata penjaga yang bertugas di gerbang. Di samping, sang rekan justru menginjak kakinya.

Ginnan pun menatapnya bingung. "Itu benar?" tanyanya.

"Ah haha... Iya, Tuan," kata si rekan. "Tapi Anda tenang saja. Beliau pasti pulang sebentar lagi. Jadi, kenapa tidak masuk kembali saja? Tuan Renji pasti khawatir kalau melihat Anda di sini."

Mengerti situasi, penjaga yang lain pun ikut meyakinkan Ginnan. "Iya, Tuan. Anda bisa masuk angin. Mari saya antar? Saya juga bisa buatkan minuman hangat agar tidur Anda makin nyenyak."

Ginnan pun merasa tertekan seketika. Dia menatap kedua sandalnya sendiri, keset, lalu kegelapan malam di luar gerbang gigantis rumah baru ini. "Aku tidak mau," katanya pelan. Otomatis membuat wajah para penjaga makin sulit. Namun Ginnan tak peduli. Dia justru duduk di salah satu kursi mungil teras, dan tak melepaskan pemandangan hitam penuh salju itu. "Biar kutunggu Renji di sini. Dan... Kalian boleh tidur jika sudah lelah seharian."

Sayangnya, senyuman Ginnan tidak berarti banyak. Para penjaga itu makin resah, sehingga salah satunya cepat mendekat untuk meyakinkan.

"Jangan begitu, Tuan. Tolong. Tuan Renji bisa marah kalau tahu Anda kedinginan di sini," bujuknya. Lalu mengangguk pada penjaga lain yang pamit segera ke dalam. Dengan isyarat, dia bilang... Dia akan segera bawakan jaket hangat untuk Ginnan.

"Tapi aku tidak bisa tenang," bantah Ginnan dengan mata yang kembali berair. Jantungnya berdebar kencang saat itu. Mungkin karena tak terbiasa mendebat orang baik, dia jadi ragu-ragu bicara dengan para penjaga itu. "M-Maksudku, entah... Aku juga tidak tahu. D-Dan kalian pun tidak perlu paham. Tapi aku sungguh cemas kalau berada di dalam."

Sementara penjaga gerbang kembali untuk bertugas mengunci, yang tersisa di depan Ginnan tampak jelas sedang memutar otak mereka.

"Anda tidak menghubungi Tuan Renji?"

"Sudah. Tentu saja sudah..." kata Ginnan. Dia mengeluarkan ponsel dari saku, lalu meremas benda itu kalut. "Tapi dia tidak aktif. M-Mungkin sengaja? Aku harap bukan karena habis batrei atau apa."

"Oh..."

"Dan... Buruknya lagi temanku tadi juga begitu," kali ini Ginnan agak senang karena merasa keluhannya didengarkan. Dia pun memandang beberapa penjaga lelaki itu meski rasanya canggung sekali. "Aku hanya merasa semua orang sering pergi-pergi tanpa aku tahu mereka sedang menghadapi apa."

"Jadi Anda sungguh-sungguh tidak tahu?" tanya si penjaga lagi. "Maksud saya, mustahil mereka langsung tidak bisa dihubungi kalau kalian sangat dekat."

"Iya, tapi..." Ginnan membuang muka darinya. "Aku hanya merasa tidak pantas kalau langsung tidur nyaman begitu saja. Bagaimana pun ada yang tidak beres di sekitarku. Jadi aku—"

"Tuan, Ginnan," panggil penjaga lain dari belakang. "Maaf, tapi ini jaket Anda. Bisa kenakan dulu sebentar?"

Ginnan pun langsung menoleh meski gerakan si penjaga lebih cepat dari reaksinya. Lelaki itu membalutkan benda berbulu lebat yang dibawanya ke tubuh Ginnan. Dia seperti akan menangis, namun langsung tersenyum lega begitu Ginnan menurut.

"Umn, terima kasih," kata Ginnan. "Sekarang aku sedikit hangat."

"Syukurlah," kata penjaga itu dengan senyum lima jari.

Ginnan pun memandang mereka lagi. Dalam hati, dia heran. Meski malu tetap merasuk di dalam dada, namun dia tak tertarik kepada satu pun lelaki di hadapannya. Padahal, percayalah. Wajah mereka tak ada yang di bawah standar. Semua tampan. Atau setidaknya sangat perkasa dengan setelan suit khas seragam pelayan di rumah ini. Warna biru putih, pas badan, dan rapi dengan dasi dan sabuk hitam masing-masing. Hanya saja, kalau Renji ada, tentu mereka tak bisa dibandingkan begitu saja.

Ahh... Mungkin karena alasan itu?

"Bagaimana kalau begini saja," kata seorang penjaga mengalihkan perhatian. "Kalau Anda di sini, kami juga akan menemani."

"Eh?"

"Iya, benar. Begitu juga akan bagus," kata dua penjaga lain hampir bersamaan. Selesai dengan gerbang, mereka buru-buru mendekat dan ikut menyerbu Ginnan. "Jadi Anda tidak akan sendirian. Anda juga boleh cerita apapun ke kami."

"Sambil makan sesuatu mungkin?" timpal yang lain. "Kami lihat Anda tadi belum makan malam. Ehem... Maksud saya, waktu berkeliling pelayan itu hanya membawa biskuit kan?"

Untuk sesaat, Ginnan ingin menjawab ya. Tapi, ada yang makin tidak benar di dalam dadanya. Dia pun menggeleng pelan dengan senyum segan. "Tidak perlu sampai begitu kok," katanya. "Aku sudah sangat kenyang. Tapi terima kasih sudah mau menemani."

Wajah mereka agak lega sewaktu mendekati Ginnan. Mereka senyum waktu Ginnan meminta semuanya duduk saja, lalu tak protes sedikit pun kala penjaga lain mendadak muncul di belakang, lengkap teh hangat dalam teko kaca.

Ahh... Benar juga. Pelayan bilang mereka sudah diberitahu bagaimana karakter sang majikan sebelum mulai bekerja. Jadi, pasti perlakuan mereka akan berbeda dari sekarang jika menghadapi Renji.

"Silahkan, Tuan Ginnan."

"Umn, iya. Kalian juga silahkan."