"Yeah! Aku memang pencuri! Baru saja aku berniat mengembalikan buah itu, tapi kalian malah menuduhku sebagai pelakunya." Ia membuang muka.
"Kenapa kau tak pernah menyebutkan soal pencurian buah?" pekik Alfred, sadar suaranya meninggi, ia mendekati Milena dgn marah, mencengkeram kedua bahunya dan berbisik pelan, "jangan memancing kemarahan mereka, katakan saja yang penting dan seperlunya. Mengerti?" matanya melotot.
"Ok! Ok! Jangan melotot seperti itu! Sungguh mengerikan!" Milena menampik kedua tangan Alfred.
"Aku mencuri lebih dari kurencanakan. Sisanya masih ada di tempat penyimpanan rahasiaku. Saat aku berusaha mengambil buah arbei, aku tak mendengar suara berisik peri tambang bekerja lagi, sebagai gantinya malah suara gemuruh dan retakan keras yang perlahan-lahan semakin keras dan besar. Ketika kuselidiki, aku tersapu air sungai yang masuk ke pohon persediaan hingga ke hilir. Selebihnya aku tak tahu. Aku sempat pingsan di tepi sungai, lalu saat terbangun, aku melihat kalian yang kalang kabut dengan malapetaka itu dan tertawa saking lucunya." Milena terbahak keras. Sebagian yang mendengarnya naik pitam dengan tawa Milena, tawa itu terdengar menghina. Kebanyakan mereka yang naik pitam adalah dari peri-peri pemetik buah.
"Jadi, maksudmu, kau menuduh peri dari divisi pertambangan sebagai penyebab tragedi ini?" ucap Gustraf berang, maklum, sepupunya bekerja sebagai peri tambang.
"Kenapa kalian masih menyebutnya sebuah tragedi? Malapetaka? Bukankah kalian berhasil mengumpulkan nyaris semua buah dan biji-bijian yang hanyut? Kurasa sebagian lagi tenggelam ke dasar sungai. Sayang sekali." Kata Milena dengan irama yang cepat, ia mengelus-ngelus dagu dan keningnya mengernyit.
"Hentikan tingkah lakumu yang kurang ajar itu. Kau bohong! Mana ada penjahat yang mengaku!" tuduh Lucinda, seluruh tubuhnya gemetar mengatakan hal itu sekuat tenaga.
"Mana bisa kau menuduh divisi pertambangan dalam hal ini." Gustraf terlihat tegang.
"Aku tak menuduh! Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya yang terjadi!" pekik Milena, kesal.
"Apa kau serius? Coba kau ingat apa yang sebenarnya yang terjadi? Jangan menarik orang lain dalam hal ini, Milena, kumohon!" Alfred tampak lesuh mendengar pengakuan Milena.
"Apa? Kau menyuruhku untuk mengatakan yang sebenarnya, Al! Dan kau tak percaya? Seorang pembuat onar yang sedang berkata jujur! Demi, bunga Lily! Siapa yang percaya hal itu?" Milena mendengus kecewa. "Kurasa memang percuma memberikan penjelasan pada massa yang sedang marah, Alfred, mereka tak akan mendengarkan apapun, selain melampiaskan amarah mereka."
Milena menyindiri kata-kata Alfred sebelumnya dan memberikan tekanan khusus pada nama teman semasa kecilnya itu.
Alfred ternganga mendengarnya. Milena memutar bola mata dan berbalik meninggalkan kedai itu. Mereka semua terdiam, beberapa di antaranya hanya memandang lantai yang kosong, Gustraf menelan ludah dan tak tahu harus berkata apa-apa.
"Bagaimana dengan pihak kerajaan? Apa mereka sudah memutuskan sesuatu terkait kejadian ini?" Alfred terduduk lesu di kursi, kaki dan sayapnya terlalu lemas untuk mengejar Milena setelah mendengar kata-kata tersebut.
"Pihak kerajaan belum memutuskan sesuatu, tapi para penduduk desa sudah menyimpulkan bahwa pelakunya adalah Milena. Mereka memaksa pihak kerajaan mengasingkan Milena dari desa kita. Sepertinya gelar keturunan legendaris sudah tidak mempan lagi kali ini." Terang Grace tanpa emosi sedikitpun dalam nada bicaranya, ia terlihat santai dengan melipat tangan di dada, cuek.
"Mimpi buruk…" gumam Alfred, wajahnya pucat pasi.[]
Untuk update selanjutnya akan saya pertimbangkan setelah melihat respon dari pada pembaca sekalian!
Ini hanya chapter percobaan. Iseng aja.
Terima kasih sudah membaca!
Sampai jumpa!
:)