Pagi hari yang dingin, Jasmine masih mendengkur lelap di dalam selimut hangat. Jasmine tidur terlalu lelap karena semalam Rafael mengajaknya melakukan hubungan suami istri kembali. Kini, jam sudah menunjukan pukul 7 pagi, satu jam sebelum jam kerja kantor.
Aroma tumis sayur dan telur dadar merebak masuk sampai ke dalam kamar. Tak ketinggalan aroma seduhan kopi instan dengan creamer dan gula merah. Jasmine mengerjapkan mata saat hidungnya menangkap aroma yang menggiurkan itu. Perut Jasmine langsung berbunyi, keroncongan.
Ah, baunya membuatku lapar. pikir Jasmine. Wanita itu bangkit, melilitkan selimut dibawah ketiak dan berjalan keluar.
Rafael terlihat membelakanginya, sibuk menggoreng telur dadar dan juga menumis sayuran. Jasmine menggigit bibirnya saat melihat punggung kokoh Rafael dari belakang. Wanita itu memilih untuk bersandar pada bingkai pintu, mengamati Rafael dalam diam.
Pria ganteng itu suamiku, ucap Jasmine dalam hatinya. Padahal sudah satu tahun mereka berumah tangga, tapi tetap saja, rasanya Jasmine masih belum bisa percaya bahwa Rafael adalah suaminya.
"Jangan hanya berdiri di sana, Jas. Duduklah kita sarapan," celetuk Rafael tanpa menoleh, ia masih sibuk menggoreng telur.
"Bagaimana kau tahu aku berdiri di sini, Beb? Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tak bersuara demi melihatmu memasak lebih lama." Jasmine terkikih, ia berjalan mendekati Rafael, memeluk pria itu dari belakang.
"Suara perutmu terdengar," jawab Rafael sambil tersenyum.
"Benarkah?" Wajah Jasmine memerah.
Rafael memutar tubuhnya lalu mengecup bibir Jasmine, "selamat pagi, Jas. Ayo makan, bukankah kau harus bekerja pagi ini."
"Oh, shit!! Jam 7!!" Jasmine terperangah karena ucapan Rafael. Kemanisan pagi ini harus tertunda karena jam kerja yang hampir dimulai. Jasmine bergegas masuk kembali ke dalam kamar untuk mandi dan bersiap-siap. Ia sempat terjerembab selimutnya sendiri dan mengaduh kesakitan. Sangat ceroboh. Rafael tersenyum melihat tingkah dan wajah istrinya yang mengerut karena kelabaan.
"Tak perlu terburu-buru, aku akan mengantarmu." Rafael berteriak agar Jasmine bisa mendengarnya.
Tak butuh waktu lama, Jasmine sudah siap dengan seragam kerja dan juga make up sederhana. Rafael juga telah menyiapkan sepiring nasi beserta lauk dan juga kopi panas di depan Jasmine.
"Makan dulu, pelan-pelan saja."
"Ah, masakkanmu memang yang terbaik, El." Jasmine mengacungkan jempol, memuji kepiawaian suaminya.
"Hanya telur dadar, siapapun bisa membuatnya." Rafael tertawa, istrinya polos sekali.
"Ah, aku kenyang. Ayo kita berangkat!" ucap Jasmine seraya menghabiskan kopi.
"Hei, Jas. Apa kau sudah meminum vitaminmu hari ini?" Rafael mengingatkan Jasmine.
"Ah, iya, aku lupa." Jasmine mengambil botol multivitamin dari dalam kulkas dan mencoba untuk mengeluarkan isinya.
"Ah ...!" pekik Jasmine.
"Kenapa?" Rafael selesai memakai jaketnya.
"Vitaminnya habis." Jasmine mengkocok botol, memastikan ulang.
"Benarkah? Baiklah, aku akan membelinya nanti."
"Hanya vitamin, tak minum sehari juga tak akan ada masalah." Jasmine tersenyum.
"Jangan!! Kau harus meminumnya!!" seru Rafael.
"El??"
"Ehm ... maksudku, kau sangat kurus dan ringkih, aku takut kerja keras membuatmu jatuh sakit. Ah, lupakan, ayo berangkat! Kau bisa terlambat." Rafael menggandeng tangan Jasmine, mengajaknya berangkat.
Jasmine merona, wajahnya menghangat. Di balik sikap acuh Rafael dulu, ternyata pria itu begitu perhatian pada Jasmine. Siapa istri yang tak berbunga-bunga bila dimanja dan diperhatikan oleh suaminya?
Motor matik melesat ke jalanan, merangsek melalui cela-cela antar mobil yang terhenti karena kemacetan ibu kota. Motor dengan mudahnya bergerak, menelisip, sampai akhirnya terbebas dari jalanan utama menuju ke ruas jalan yang lain. Hanya butuh waktu 15 menit bagi Rafael memacu kendaraannya sampai ke kantor Jasmine. Kalau naik kendaraan umum mungkin butuh waktu setidaknya 30 menit.
"Sampai!" ucap Rafael.
"Aku kerja dulu ya, Beb. Hati-hati pulangnya." Jasmine menyemangati Rafael.
"Kau juga bekerja yang rajin, ya."
"Siap, Komandan!" Jasmine tersenyum manis.
"Aku tinggal."
Jasmine menatap punggung Rafael menjauh pergi sebelum kembali masuk ke dalam kantor.
— MVV —
Rafael menggiring laju kendaraannya menuju ke sebuah tempat. Ia mengunjungi gereja tak jauh dari kantor Jasmine. Gereja tempatnya bertemu Jasmine untuk pertama kali, tempt sahabatnya Albert memulai pelayanan sebagai hamba Tuhan yang taat.
Rafael memarkirkan motornya lalu berjalan santai menuju ke dalam gedung gereja. Bangunan tua itu terasa dingin dan sejuk. Pencahayaan yang tidak terlalu terang dan sirkulasi udara yang bagus membuat bangunan ini tak memerlukan AC.
Beberapa orang lansia terlihat duduk pada bangku kayu panjang. Memulai ritual sembayang pagi. Menikmati perjumpaan dengan Tuhan dan juga teman. Rafael berjalan acuh di pinggir ruangan sampai ke pintu kecil tepat di belakang mimbar gereja.
Selain Staff Gereja Dilarang Masuk
Tulisan itu terpajang di depan pintu, tapi Rafael tak peduli. Ia tetap masuk tanpa rasa bersalah.
Sebuah ruangan kecil berisikan sapu dan juga peralatan bebersih tersusun rapi pada lemari menyambut Rafael. Rafael menyingkirkan itu, lalu menggeser rak lemari, ada pintu kayu berukuran 120 kali 80 cm, Rafael harus menunduk untuk memasukki pintu tersebut. Lagi-lagi, sebuah rubana. (Ruang bawah tanah).
"Kau datang pagi sekali, El!" Albert terlihat duduk dengan santai sambil merokok. Ternyata ruangan itu adalah kamar rahasia milik Albert. Selain perabotan selayaknya rumah pada umumnya, terdapat layar besar dengan berbagaimacam gambar dari CCTV jalanan ibu kota, lalu empat layar besar yang tersambung dengan perangkat komputer, tak lupa rokok dengan berbagaimacam merk.
"Apa seorang Romo boleh merokok?" Rafael bergeleng.
"Boleh, kalau tak ketahuan." Albert terkikih, ia mematikan rokok dan bangkit berdiri.
"Suasana hatimu sedang bagus?! Kau pasti habis menggarap istrimu yang cantik itukan, berapa kali kalian bermain semalam?" ledek Albert.
"Apa pentingnya kau tahu? Toh kau tak bisa melakukannya karena sekarang kau seorang Romo." Rafael tertawa mengejek.
"Dasar anying!!" Albert masam, ia lalu bergegas membuka lemari pakaian, mengganti pakaian keagamaan dengan baju kasual.
Rafael menarik lemari yang tertanam pada dinding. Muncul berbagai macam senjata api dengan ukuran dan bentuk. Kebanyakkan laras panjang. Rafael mengambil ransel hitam di bawah kolong meja, mengeluarkan isinya. Lalu mengelap semua komponennya dengan kain lembut. Setelah bersih ia menggantungkan kembali senjata itu pada lemari.
Rafael mendorong kembali lemari itu masuk ke dalam dinding, lalu menarik lemari yang lain. Muncul berbagai macam peralatan dan senjata tajam. Rafael menggantung anemometer dan juga barometer ke tempat semula.
"Sampai kapan kau akan menitipkan senjatamu di kamarku?" celetuk Albert, agak sebal juga melihat Rafael selalu kemari untuk mengambil dan menaruh senjatanya. Rafael diam saja.
"Bagaiaman dengan V, apa dia sudah membereskan sisanya?" Rafael mendekat pada Albert begitu selesai membereskan barang-barang miliknya.
"Sudah, aku membantunya membereskan cctv rumah sakit semalam. Sialan dia sengaja memberikan hand job pada dokter itu untuk memanasiku." Albert menunjukan video cctv pada ruang dokter rumah sakit, tampak V sedang mengacungkan jari tengahnya ke arah cctv ruangan sambil merangsang seorang dokter.
"Kau merasa panas? Kalau iya, kebih baik kalian kembali bersama." Rafael menepuk pundak Albert.
"Aku seorang pemuka agama sekarang." Albert mencela ide rekannya.
"Kalau tidak ketahuankan tak apa." Rafael mengangkat bahu sambil menirukan ucapan Albert tadi.
"Fuck you!" Albert bergeleng.
Rafael duduk pada pinggir ranjang, melihat jemarinya. Biasanya ada cincin melingkar indah pada jari manisnya, sekarang cincin itu menghilang. Rafael tak tahu harus bersyukur atau bersedih.
"Hei, mana uangnya?" tanya Rafael. Pria itu memutuskan untuk segera pergi.
"Oh, iya."
Albert bangkit dari singgasananya —peralatan hacker super canggih— menuju ke berangkas. Ia mengeluarkan satu tas hitam besar penuh uang. Mengambil satu gepok dan mencium aromanya.
"Aroma uang memang nikmat." Kikihnya pelan lalu melemparkan tas itu di bawah kaki Rafael.
"Ck, walikota itu membunuh rekannya sendiri demi uang." Rafael memisahkan uang itu menjadi tiga bagian, untuknya, Albert, dan V.
"Seperti K, ia membunuh kita demi uang." Albert tersenyum kecut.
"Jangan ungkit tentang, K." Rafael bangkit, menyandang tas penuh berisi uang, hendak pergi.
"Hei, kau tidak menyumbangkan perpuluhan!* Untuk perbendaharaan rumah Tuhan?!" Albert menghentikan langkah Rafael dengan godaannya. Berlagak sok suci.
(|* perpuluhan : sepersepuluh dari pendapatan sebagai persembahan untuk Tuhan.)
"Fack you, G!!!" seru Rafael.
"Albert!! Namaku Albert sekarang!"
Rafael acuh. Lalu pergi meninggalkan gereja menuju ke veterian milik V.
— ooooo —
Love vote and follow
Bagi komentarnya