webnovel

Pindah Rumah

"Alis, tolong ambilin handuk!" teriak Aby dari dalam kamar mandi.

Ya, siapa suruh mau mandi tidak bawa handuk. Aku membisu saja sambil memainkan gawai di tempat tidur.

"Alisa Rania! Denger gak kalau suami manggil itu!"

Hah, giliran yang begini saja dia menganggap dirinya suami.

"Iya ... sebentar lagi diambilin."

Aku berjalan gontai ke arah tempat dimana handuk disimpan, lalu menyerahkannya pada Aby.

"Nih, lain kali mau mandi itu bawa handuk!"

"Bawel!"

Alisa, sabar Alisa kalau bukan suami sendiri sudah aku tendang.

Setelah kami selesai mandi aku dan Aby menuruni tangga karena kamar kami ada di lantai atas.

"Nah, pengantin baru udah bangun," sapa ibu Aby yang tengah mempersiapkan sarapan.

"Eh maaf ya Bu, Alisa telat bantuin Ibu."

Aku menghampiri ibu mertuaku sambil membantu beliau mempersiapkan piring.

"Gak apa-apa Alisa, kamu 'kan capek. Lagian udah selesai, nah sekarang makan dulu."

Semua sudah duduk di ruang makan, tiba-tiba Aby membuka obrolan di tengah kami menghabiskan sarapan.

"Ma, Nek. Aby sama Alis sudah bikin keputusan untuk tinggal sendiri. Aby juga udah siapin rumah, hari ini juga Aby sama Alis bakal pindah."

"Loh, bukannya kamu mau tinggal dengan istri kamu di rumah ini Aby?" tanya nenek yang mulai tersulut emosinya.

Aby mulai mengarang lagi kapan aku dan dia berdiskusi soal pindah rumah.

"Iya, awalnya begitu Nek. Tapi Aby pikir-pikir lagi Alisa juga harus kuliah 'kan dan jarak rumah kita ke tempat Alisa kuliah lumayan jauh."

"Ya ampun Nenek gak pernah berpikir sampai ke sana. Ya udah kalau baiknya begitu nenek setuju sama keputusan kalian."

Aby tersenyum puas, sementara aku semakin tertekan hidup bersama manusia yang satu ini. Setelah membantu ibu membereskan meja di ruang makan, aku masuk ke dalam kamar. Aby masih santai sambil memainkan gawainya di atas tempat tidur.

"Alis, beresin pakaian kita. Siang ini kita pindah ke rumah yang baru."

Tanpa banyak debat aku hanya menuruti perintah Aby, sedangkan dia kembali memainkan gawainya.

"Sudah beres," jawabku.

Dia lantas membawa dua tas besar berisi pakaian yang aku siapkan tadi, setelah berpamitan pada ibu dan nenek kami melakukan perjalanan ke rumah yang akan kami tempati, jaraknya tidak jauh dari kampusku.

"Itu kamar kamu, dan di sebelahnya kamar aku. Nah, kamu bebas mau ngapain aja di sini kecuali masuk ke kamarku."

"Iya." Aku mengambil tas yang berisi pakaianku lalu meninggalkan Aby.

Rumahnya tak besar, tetapi cukup untuk kami berdua.

Kring! Panggilan dari Viona.

"Halo Vio, apa kabar?"

"Baik Lisa, lis kamu kok gak ngasih tau sih kalau nikah 'kan aku bisa datang. Aku sampai kaget loh ada denger dari Hana kalau kamu nikah sama pacarnya."

"Maaf ya Vio, semuanya mendadak jadi aku gak bisa ngabarin temen-temen."

"Ya, gak apa-apa Lis. Cuma ... Hana kayaknya benci banget sama kamu."

"Iya aku paham, aku juga bingung kenapa semuanya terjadi begini."

Aku lalu menceritakan semua yang terjadi pada viona.

"Menurutku kamu dan Aby memang ditakdirkan buat bersama, semoga saja Hana bisa paham ya."

"Iya vio, aamiin."

Prang!

"Eh vio, nanti kita sambung lagi ya."

Aku menutup panggilan dari vio, lalu mengecek apa yang barusan terjatuh di luar.

"Aby, ngapain sih kurang kerjaan banget ngapain lempar-lempar teplon segala."

Aby berkacak pinggang sambil melihat ke arah aku.

"Ini mau masak, orang di rumah ini gak ada yang paham kalau aku laper."

"Dasar manja! Kamu duduk aja di situ biar aku yang masak."

"Dari tadi kek, heh."

Aku kemudian mengambil beberapa bahan yang bisa aku masak, untungnya isi lemari sudah disiapkan jadi kami tidak kelaparan. Sembari memasak aku melihat Aby diam-diam memperhatikanku.

"Kenapa, ada yang aneh dengan wajahku?"

"Enggak, coba deh kamu itu pakai perona bibir pasti keliatan cantik."

Aku melanjutkan kegiatanku tanpa menjawab perkataan Aby.

Ting tong!

"Loh ada tamu, hah pasti Mama sama Nenek 'kan cuma dia yang tau aku pindah."

Aby membukakan pintu siapa sangka yang datang adalah Hana.

"Hana, ngapain kamu kesini!"

"Aku kangen sama kamu." Hana memeluk Aby.

"Hana, lepasin gak enak diliat tetangga."

"Aby, sekarang aku paham kamu gak setega itu ninggalin aku, kamu sama Alisa terpaksa nikah 'kan?"

Hana lalu menemuiku di dapur yang tengah memasak.

"Hana," sahutku.

"Alisa, aku minta maaf ya aku udah nuduh kamu yang enggak-enggak. Aku boleh 'kan tinggal sama kamu dan Aby di sini."

Aku hanya bisa diam mendengar perkataan Hana, Aby kemudian menarik tangan Hana.

"Han, sekarang situasinya beda. Aku sama Alisa mungkin memang menikah karena terpaksa. Tapi, kalau sampai keluargaku dateng ke sini lihat kamu, yang ada bakal nimbulin masalah baru, aku minta kamu pulang."

"Aby, tapi—"

"Han ... pulang!" Aby mulai menegaskan suaranya.

Mau tak mau akhirnya Hana pergi dari rumah kami.

"Masih lama gak Alis, makanannya." Aby melihat ke arahku.

"Eh ini udah siap."

Aku menyiapkan ayam bumbu pedas di hadapan Aby, ia langsung menyantapnya.

"Lumayanlah enak, Hana gak pernah masakin aku kayak begini, makasih ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum sembari menghabiskan makanan di piringku juga.

"Oh iya ngomong-ngomong kamu ada pacar gak?"

"Enggak, emangnya kenapa?" Aku bertanya balik pada Aby.

"Iya ... kalau kamu punya pacar 'kan bisa dijadiin alasan supaya kita cerai, kita bikin skenario kalau kamu yang selingkuh dengan pacar kamu."

"Kenapa gak kamu aja 'kan kamu tuh yang pacaran sama Hana." Aku mulai emosi.

"Biasa aja mukanya, aku baru inget kamu gagal nikah ya, wajar aja sih muka nyeremin gini, jelek, pendek mana ada yang mau."

Prang! Aku melantingkan sendok dan garpu ke piring.

"Terserah kamu, aku mau makan di kamar. Berisik dengerin lebah."

"Bodo amat, emang aku pikirin mau kamu makan di kamar kek, di jalan kek bukan urusan aku."

Aku segera meninggalkan Aby yang ada aku bisa gila kalau mendengarkan ocehannya lagi. Malam semakin panjang, setelah menghabiskan makan malam aku bergegas untuk pergi tidur.

Tuk tuk!

"Alis, buka Lis."

Aduh, apalagi manusia itu benar-benar membuatku kesal.

"Apa?" Aku membuka pintu kamar.

"Ada kecoa di kamarku," seru Aby seperti orang ketakutan.

"Terus," jawabku datar.

"Tolong kamu usir, aku gak bisa tidur kalau ada kecoa."

"Minggir!"

Aku berjalan bagaikan pahlawan di depan Aby.

"A ... itu tu kecoanya."

Aby secara tiba-tiba berdiri di belakangku, sekali pukul kecoa itu akhirnya mati.

"Badan aja yang gede sama kecoa takut."

"Bukan takut, tapi geli."

Tanpa basa-basi aku meninggalkan Aby, tetapi tiba-tiba aku menyeret tubuhku.

"Mau kemana? Kamu tidur di sini aja. Kalau kecoanya ada lagi gimana."

Ya ampun, akhirnya aku mengambil bantal dan selimut dari kamarku dan tidur di samping Aby, kami meletakkan guling sebagai pembatas.

"Aby, bangun. Aby!"

Ya ampun ini manusia susah sekali untuk bangun.

"Apa sih, aku masih ngantuk," jawab Aby yang masih belum sadar dari tidurnya.

"Ini udah jam setengah delapan, kamu gak kerja?"

"Hah, astaga kenapa kamu baru bangunin Alis ...."

Aby bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah sekian menit dia keluar dengan handuk melilit di pinggang.

"Ni aku bikinin kopi, sama sarapan kamu makan dulu."

Aby menatapku sekian menit.

"Kenapa?" tanyaku.

"Gak, gak apa-apa. Makasih ya."

Kali ini aku mendengar kalimat itu terasa tulus dari Aby.