Setelah satu hari tanpa bertemu dengan Salsa sama sekali. Membuat David merasa gundah memikirkan keadaan Salsa di sana. Meski dirinya bersama dengan kekasih yang sangat dia cintai, perasaan bahagia dan hatinya merasa ada yang hilang. Dia tidak menemukan lagi kebahagiaan di dalam diri kekasihnya, Dea. Entah pikirannya melayang jauh di sana di saat bersama dengan Dea.
Merasa sudah puas bersama dengan Dea. David merapikan semua bajunya dan beranjak pergi. Meninggalkan Dea yang masih berbaring di atas ranjang berbalut selimut putih tebal membungkus sebagian tubuhnya. Wajah cantik itu masih menutup matanya rapat-rapat.
"Maaf! Aku harus pergi!" gumam David, memelankan langkah kakinya berjalan keluar, lalu menutup pintunya perlahan.
Sekarang aku harus segera bertemu dengan Salsa. Aku tidak bisa tinggal diam di sini. Sementera aku belum tahu. Gimana keadaan dia di sana? Apa dia sudah sehat? Atau malah sebaliknya. Dan Alan juga tidak bisa di percaya sepenuhnya.
David baik ke dalam mobilnya, melaju dengan kecepatan tinggi keluar dari sebuah Vila yang baru di sewanya berdua dengan Dea.
==========
"Pagi, Sa!" sapa Lia, berjalan menghampiri Salsa yang masih berbaring di ranjang, dengan wajah memelas. Aura wajah nampak berbeda penuh dengan kesedihan, di balut rasa rindu yang membanyangi hatinya.
"Pagi.." jawabnya malas.
"Apa kamu ada masalah?" pandangan Lia mengarah pada mata Salsa yang terlihat berkaca-kaca, bahkan Jari-jarinya terus bergerak seakan rasa cemas menyelimuti hatinya.
"Ada apa?" tanya Lia mengulang ke dua kalinya. Menepuk pundak Salsa. Membuat wanita itu secepat kilat segera duduk. Dengan bantal di dalam dekapannya. Memeluknya semakin erat.
"Jangan terlalu memikirkan David, aku yakin dia akan segera kembali." ucap Lia, mengembangkan bibirnya, menarik ke dua alisnya ke atas bersamaan.
Salsa mengangkat kepalanya, mengerutkan dahinya membuat garis tipis di dahinya, semakin dalam. Helaan napas terasa jelas. Dia terdiam, menatap sejenak wajah Lia di depannya. Lalu kembali lagi memeluk bantalnya, menundukkan wajahnya.
"Siapa yang memikirkan dia. Tidak sama sekali!" tegas Salsa.
Lia tersenyum melihat mimik wajah Salsa yang menunjukan ekpresi yang berbeda. Dia terlihat malu, bahkan tidak mau menatap ke arahnya. Lia yakin ada perasaan yang di sembunyikan Salsa.
"Jangan bohong, lihat pipi kamu merah, tuh!"
Salsa mengangkat kepalanya, mengedipkan ke dua matanya sekilas ke arah Lia. Dengan ke dua alisnya tertaut bersamaan. Wajah lugunya membuat Lia semakin yakin, jika Salsa sangat merindukan suaminya itu.
"Mana.. Mana!" Salsa mengusap ke dua pipinya.
"Rahasia," goda Lia, tersenyum menggoda. Seakan dia sudah siap mengejek Salsa habis-habisan.
Salsa mengerutkan bibirnya kesal, mendekap erat bantal miliknya.
"Hah... dia benar-benar gak pulang?" gumam lirih Salsa, wajahnya terlihat muram, bahkan bibirnya sudah manyun beberapa senti.
Lia mengembangkan bibirnya. Menepuk-nepuk punggung Salsa. "Sudahlah, aku yakin dia akan pulang nanti," ucap Lia. "Dan aku pasti akan bilang jika kamu sudah sangat merindukannya. Bagaikan bulan merindukan purnama." lanjut Lia, tersenyum dengan tangan menggerakan ekpresi tubuh yang membuat Salsa ingin tertawa sekaligus kesal dengannya.
"Gak mungkin!" umpat kesal Salsa, yang masih tertunduk kesal.
Lia mencolek dagu Salsa, menggoda wanita cantik di landa rindu di depannya. "Jangan bilang kalau kamu rindu padanya,"
Vina menurutkan keningnya, dengan mata sedikit ke dalam terkejut. Lalu menghela napasnya kesal, sembari memutar matanya malas.
"Jangan bicara tentang itu," pekik Salsa, memalingkan wajahnya kesal. Helaan napas beratnya terdengar jelas, membuat Lia tidak berhenti tersenyum. Dia ingin memastikan lebih jelas jika Salsa sekarang sepertinya sudah mulai tertarik dengan Devid. Tetapi dia tidak mau mengakuinya. Membuat Lia geram di buatnya.
"Oh, ya! Aku ingin bicara sesuatu padamu," Lia merapatkan duduknya mendekati Salsa.
"Apa?"Jawab jutek Salsa, tanpa menatap ke arah Lia.
"Aku pernah punya teman, dia suka dengan laki-laki yang mungkin bisa di bilang sangat cuek. Dia tidak pernah mau mengakuinya bertahun-tahun. Hingga laki-laki itu pergi, dia masih saja egois tidak mau mengakui perasaanya." jelas Lia, sembari melirik mimik wajah Salsa.
Salsa mengerutkan keningnya semakin ke dalam, membuat lipatan kecil di keningnya, menoleh menatap Lia.
"Terus apa hubungannya denganku?"
"Jelas ada hubungannya." Lia meninggikan suaranya, membalikkan badannya, menghadap ke arah Salsa.
"Aku tidak mau jika kamu menyesal nantinya. Memang sekarang kamu malu, tau kamu ragu dengan perasaan kamu. Tetapi jika dia pergi, bahkan untuk selamanya. Kamu akan menyesal seumur hidup kamu." jelas Lia, panjang lebar. Dia meraih tangan Salsa. Menariknya agar segera bangkit dari duduknya.
"Ia kamu mau bawa aku kemana?" Salsa menarik tangannya dari cengkeraman Lia.
"Mandi, kamu harus mandi sekarang. Dan segeralah merias diri kamu. Nanti kalau pulang Devid bisa melirik kaku meski hanya sekilas." Lia mendorong punggung Salsa masuk ke dalam kamar mandi.
"Bentar, tapi aku belum bawa handuk."
"Udah nanti ambil sendiri. Cepat mandi sana." teriak Lia mengunci Salsa dari luar agar segera cepat mandi. Dia yakin jika Devid pasti akan pulang. Tidak mungkin jika dirinya mendengar Salsa sedang sakit. Pasti akan meninggalkan pekerjaannya dan memilih menemui istrinya.
Lia mengembangkan bibirnya, ke dua tangannya bersendekap. Seakan dia punya ide berlian di dalam otaknya agar Salsa bisa semakin dekat dengan Devid.
"Salsa kalau sudah selesai mandi, cepat keluar. Aku ingin merias wajah kamu."
"Tapi ambilkan handuk aku dulu" balas Salsa meninggikan suaranya.
"Siap!!" Lia segera mengambil handuk di dalam lemari Salsa. Dan memberikan pada Salsa yang sudah membuka pintu kamar mandi sedikit. Meriah handuk di tangannya.
"Jangan pergi kemana-mana," ancam Salsa, langsung menutup pintunya. Tanpa menunggu jawaban darinya.
Lia memelankan langkahnya berjalan dengan mengendap-endap keluar dari kamar Salsa.
Tak lama suara mobil terdengar sangat jelas di depan teras vila.
"Sayang, siapa di luar?" tanya Lia, berjalan menghampiri Alan yang sibuk dengan ponselnya duduk santai di sofa ruang tamu.
"Itu sepertinya mobil kak Devid," jawab Alan tanpa menatap Lia.
"Bagus kalau kak David sudah pulang, sesuai rencana ku." Lia duduk di samping Alan.
Alan mematikan ponselnya, mengangkat kepalanya menatap Lia terkejut.
"Rencana apa?" tanya tajam Alan.
"Kamu kenapa? Apa gak suka?"
"Bukanya gak suka, tapi aku harus tahu rencana apa yang kamu lakukan?"
Lia tersenyum, mendekatkan bibirnya. Sembari berbisik pelan.
"Aku ingin membuat salsa dan David semakin dekat.
"Maksud kamu?"
"Di mana Salsa?" saut David berjalan dengan langkah cepat menghampiri Alan dan Lia. Pandangan matanya memuatr menatap setiap sudut ruangan di vila miliknya.
Lia beranjak berdiri. "Dia ada di kamar kak." sela cepat Lia, tangan kanannya menunjuk tepat ke arah di kana kamar Salsa. Meski sebenarnya David udah tahu akan hal itu.