"Ngapain kamu senyum-senyum? Jangan aneh-aneh ya."
"Kamu cantik. Bukan cantik, tapi tambah cantik. Bahkan sangat cantik dengan aurat tertutup seperti ini," puji Banyu.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
Blush.. mendadak wajah Gladys terasa hangat. Untunglah suasana di dalam mobil gelap, sehingga Banyu tak bisa melihat wajah Gladys yang memerah karena pujiannya.
"Hmm.. ternyata kamu semakin jago menggombali wanita. Tapi gombalanmu tidak berarti apapun untukku," ucap Gladys ketus sambil berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya.
"Aku nggak ngegombal kok. Kamu memang terlihat sangat cantik dengan pakaian seperti ini. Tertutup namun tetap elegan, khas seorang Gladys Mariana Praditho."
Gladys mendengus mendengar pujian tersebut namun ada getaran di sudut hatinya. Padahal sudah banyak yang sering memuji kecantikannya tapi entahlah kenapa pujian dari Banyu masih mampu menggetarkan hatinya.
"Princess..."
"Jangan panggil aku princess!"
"Wow.. kamu semakin galak rupanya."
"Ada masalah?!"
"No.. no problem. Hanya nggak menyangka saja kalau kegalakanmu ternyata belum berkurang."
Suasana di dalam mobil kembali hening Tak satupun di antara mereka yang berbicara. Namun tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari perut Gladys. Astaga, kenapa sih perut ini nggak bisa kompromi? omel Gladys dalam hati. Ia langsung membuang pandang ke samping karena malu. Sementara itu Banyu setengah mati menahan agar wajahnya tetap datar.
"Prin.... eh Dys, nggak papa kan kalau kita makan malam dulu?"
"Eh... apa?"
"Let's have diner together. Aku belum makan dari siang karena tadi meetingnya cukup lama. Selesai meeting aku langsung ke supermarket. Sekarang aku kelaparan."
"Hmm... aku mau pulang saja," tolak Gladys. Namun rupanya sang perut tetap tak bisa diajak kerja sama. Perutnya kembali berbunyi, kali ini disertai rasa pedih. Ouch, kenapa asam lambung pakai acara kumat sih, batin Gladys. Kenapa harus sekarang?
"Takut suamimu mencari?"
"Su-a-mi?"
"Iya, apakah suamimu akan marah kalau kamu pergi keluar dengan seorang sahabat lama?"
"Eh.. apa maksudmu?" tanya Gladys bingung.
"Oke, kalau begitu kita beli makan drivethru saja ya. Aku nggak mau pingsan di jalan karena menahan lapar." Ucapan Banyu kali ini tak bisa ditolak lagi. Gladys tak mengiyakan ataupun menolak. Banyu menganggap itu sebuah persetujuan.
Beberapa menit kemudian mereka sudah kembali ke jalan setelah membeli makanan. Hanya fast food. Makanan yang pasti takkan Gladys sentuh bila dalam keadaan normal. Tapi perutnya rupanya semakin tak sabaran.
"Eehm.. kamu bisa makan sambil menyetir?" tanya Gladys ragu.
"Bisa. Tapi tolong kamu siapkan ya burgerku. Kentang dan minumannya taruh di sebelah situ saja biar mudah kujangkau."
"Beneran nggak papa makan sambil nyetir?" Kembali Gladys bertanya khawatir. Banyu tersenyum.
"Kamu khawatir?"
"Eh, aku bukan mengkhawatirkan kamu ya. Aku hanya ingin sampai di rumah dengan selamat," elak Gladys. "Kamu juga pasti ingin sampai dengan selamat di rumah. Ada yang menunggu kamu di rumah."
"Hmm.. benar juga. Aku harus hati-hati supaya tidak membuat khawatir mereka yang menungguku di rumah. Apakah itu artinya kita berhenti dan makan dulu? Tapi bagaimana denganmu? Apakah nanti suamimu tidak mencari?"
Gladys menelengkan kepala saat mendengar ucapan Banyu. Kenapa sih dari tadi Banyu membahas soal suami.
"Hanya gadis kecilku yang akan khawatir bila aku kenapa-napa," jawab Gladys.
Hanya gadis kecil? Lalu bagaimana dengan suaminya? Apakah mereka sudah bercerai? Kenapa dia tak terlihat cemas tentang suaminya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Banyu.
"Kita berhenti sebentar di depan mini mart itu. Aku yakin berhenti setengah jam tak membuat banyak perbedaan," ucap Gladys sambil menunjuk sebuah spot kosong di depan mini mart. "Kopi disitu juga enak. Karena kamu sudah membelikan makan malam, sebagai gantinya aku akan membelikanmu kopi. Still like black coffee with one tea spoon sugar, I guess?"
Banyu mengangguk sambil tersenyum karena Gladys masih mengingat kesukaannya. Seandainya saja Gladys belum menikah, ia pasti sangat bahagia dan akan bersemangat untuk memperjuangkan cintanya.
"Thank you princess," ucap Banyu setelah mereka kembali ke jalan raya setelah menyelesaikan makan malam mereka. Selama itu tak satupun di antara mereka yang berbicara.
"Terima kasih untuk apa? Sudah impas kan? Kamu membelikanku makan malam dan aku membelikanmu kopi."
"Terima kasih karena mau menemaniku makan malam."
"Ah, itu hanya sebuah kebetulan saja. Kebetulan kita bertemu di supermarket, kebetulan aku belum dijemput dan kebetulan kita berdua sama-sama lapar," ucap Gladys datar. "Suatu kebetulan yang kuharap tak kan terulang kembali."
"Kenapa? Biar bagaimanapun kita adalah kawan lama, Dys. Wajar sebagai kawan lama bila bertemu." Iya wajar, bila saja diantara kita tak pernah ada sesuatu yang istimewa, sahut Gladys dalam hati. Apakah hubungan kami dulu istimewa?
"Kita mantan kawan lama. Dan yang namanya mantan nggak boleh sering bertemu. Ada hati yang harus dijaga. Aku tak ingin melukai siapapun," sahut Gladys. "Oh ya, memangnya kamu tahu dimana rumahku?"
"Hmm.. nggak tahu," jawab Banyu sambil terkekeh. "Aku hanya mengira-ngira saja."
"Kamu sengaja mau menculik aku? Ini bukan jalan menuju rumahku."
"Memangnya kamu mau aku culik?" Banyu balik bertanya.
"Ya nggaklah!! Dan jangan pernah kamu punya pikiran untuk menculikku. Aku akan berteriak kalau hal itu terjadi."
Banyu tergelak mendengar ucapan Gladys. Sifat galak gadis ini masih sama. Sifat galak yang selalu membuatnya rindu. Bahkan saat bersama Senja, ia merindukan perdebatannya dengan Gladys. Bersama Senja, Banyu tak pernah berdebat karena sebisa mungkin ia selalu menuruti keinginan kekasihnya itu.
"Tenang saja Princess. Aku nggak akan menculikmu sampai kamu yang meminta padaku untuk diculik."
"Hmm.. in your dreams." balas Gladys ketus. Lagi-lagi Banyu tergelak.
"Aku merindukan ini semua," ucap Banyu santai sambil mengarahkan mobilnya. Ia sengaja tak buru-buru menjalankan mobilnya. Ia menjalankan mobil pada kecepatan minimal. "Aku merindukan masa-masa kita sering berdebat. Aku merindukanmu, princess."
Ya tuhan, boleh nggak sih makhluk yang satu ini dilenyapkan dari hadapannya? Agar hidupnya kembali tenang, batin Gladys.
"Lupakan itu semua. Di antara kita tak ada hubungan apapun. Jangan mengkhianati dia yang selalu setia menanti." Tak ada yang menantiku princess, batin Banyu. Kalau saja mungkin, aku hanya akan menantimu.
Tak sampai setengah jam perjalanan, mobil Banyu memasuki pekarangan sebuah rumah cantik berwarna putih. Setelah memarkirkan kendaraannya, Banyu tak langsung mematikan mesin. Ia duduk menghadap Gladys dan menatap dalam-dalam wajah Gladys.
"Terima kasih sudah mengantarku dan terima kasih atas makan malamnya," Setelah melepaskan seatbelt, Gladys mengulurkan tangannya seraya menantang pandangan Banyu. Ya Allah, betapa cantik mata itu saat memandangku, puji Banyu dalam hati. Bukannya menyambut uluran tangan Gladys, Banyu malah menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Tentu saja Gladys langsung mendorong tubuh Banyu serta melepaskan diri dari pelukan Banyu.
"Are you crazy?!" tegur Gladys marah. "Kamu sadar nggak sih dengan apa yang kamu lakukan?!"
"Aku sadar sesadar-sadarnya. I miss you badly, Princess," jawab Banyu. "Maafkan atas segala kesalahanku kepadamu. Aku yang membuatmu mengalami hal itu. Kalau saja dulu aku tak memilih Senja..."
"Please, jangan bahas mengenai masa lalu. Aku nggak mau mengingat masa lalu itu. Biarkan aku hidup dalam ketenangan!"
"Aku harus minta maaf, Princess. Hidupku takkan tenang sebelum aku mendengarmu memaafkanku."
"Semua sudah berlalu. Nggak ada lagi yang perlu dibahas. Aku sudah melupakan itu semua. Lukas sudah bahagia dengan Ge. Kamu sudah bahagia dengan..."
"Kata siapa aku bahagia? Kebahagiaanku terlihat dekat namun jauh dari jangkauanku. Entahlah apakah aku bisa meraih kebahagiaan itu." Pandangan Banyu menerawang.
"Senja? Kebahagiaanmu masih tergantung oleh Senja?" Ada sedikit nyeri di hati Gladys saat menanyakan hal itu. Ya tuhan, kenapa masih ada rasa sakit ini? Padahal aku hampir berhasil melupakannya, batin Gladys. Kenapa pertemuan ini mengembalikan rasa sakit itu?
Banyu tak menjawab pertanyaan Gladys. Ia malah mematikan mesin mobil lalu turun dari mobil. Kemudian ia membukakan pintu untuk Gladys. Dibantunya Gladys turun dengan hati-hati. Setelah itu dibantunya Gladys menurunkan barang-barang belanjaannya. Kemudian tanpa banyak bicara diangkatnya tas-tas belanja itu ke depan pintu rumah.
"Terima kasih." Banyu tak juga beranjak. "Ngapain masih disini?"
"Mau ketemu suami kamu."
"Maksudnya?" tanya Gladys bingung.
"Iya aku mau lihat pria seperti apa yang menjadi suamimu. Aku mau memberinya selamat sekaligus mengucapkan permohonan maaf karena malam ini sudah mengajakmu makan malam tanpa meminta izin darinya."
"Jangan melakukan hal yang absurd begitu. Sana kamu pulang saja," usir Gladys sambil mendorong Banyu. "Jangan pulang terlalu malam, kasihan yang sudah menunggumu di rumah."
"Tapi princess, aku benar-benar ingin bertemu suamimu."
"Apaan sih nggak jelas, ah! Sudah sana.. sana.. buruan kamu pulang!" Gladys terus mendorong Banyu.
"Kamu masih seperti bocah kalau seperti ini," bisik Banyu. "But I like it. Sekali lagi terima kasih untuk malam ini."
Sepeninggal Banyu, Gladys masih berdiri di depan pintu. Tatapannya tak lepas menatap jalanan. Entah apa yang berkecamuk di pikirannya. Sementara itu Intan dan Haidar yang sedari tadi mengintip dari balik tirai, buru-buru ke ruang TV. Di situ Salma sedang asyik menggambar.
"Ummi, where is mommy?" tanya Salma sambil terus mewarnai, atau lebih tepatnya mencorer-coret buku yang ada di hadapannya.
"Mommy will be home soon dear. Wow, it's good picture that you made. What is it dear?" tanya Intan sambil mengelus sayang pucuk kepala putri sulungnya.
"It's a picture of us ummi. This is abi, ummi, mommy, me and a baby," Salma menerangkan coretan yang dibuatnya dengan gaya lucu. Membuat Intan dan Haidar sangat gemas melihatnya. Haidar ikut duduk di atas karpet di samping Salma.
"Mas, apakah Banyu mengira kamu suami Gladys? Mas dengarkan dari tadi Banyu terus menyebut suami." ucap Intan.
"Hmm.. mungkin juga. Kami kan baru tiga kali bertemu. Pernikahan Qori dan pernikahan Khansa. Serta saat bertemu di rumah sakit kemarin itu."
"Kira-kira langkah kita memberi kesempatan Banyu untuk bertemu Gladys salah atau tidak ya?"
Belum sempat Haidar menjawab pertanyaan istrinya, Gladys membuka pintu rumah. "Assalaamu'alaykum."
"Mommy.... " Salma langsung meninggalkan bukunya dan berlari ke arah Gladys yang langsung menyambutnya dengan pelukan.
"Uuh.. anak mommy," Gladys menciumi pipi Salma.
"Mas, kok nggak jemput aku?" tanya Gladys pada Haidar setelah duduk.
"Sorry Dys, aku lupa mengabarkan. Mendadak dosenku mengajak ketemu. Lho, kamu pulang sama siapa?" Hmm.. lumayan juga akting suamiku, batin Intan. Padahal tadi mereka sudah melihat siapa yang mengantar Gladys.
"Banyu," jawab Gladys pendek sambil menghela nafas.
"Banyu? Kok bisa?" tanya Intan penasaran.
"Nggak sengaja ketemu di supermarket."
"Lalu.. lalu..?" Intan terlihat semakin penasaran.
"Apaan sih, Ntan? Kepo banget."
"Gue kan pengen tahu gimana yang habis bertemu mantan. Deg-degan nggak Dys?"
"Memangnya gue bocah yang deg-degan kalau ketemu mantan," jawab Gladys tak acuh.
"Kok lama? Kemana dulu?" desak Intan. Haidar mencolek tangan istrinya. "Apaan sih mas?"
"Nggak usah kepo gitu." Haidar mengingatkan.
"Ummi what is kepo?" tanya Salma heran.
"Hmm.. kepo.. apa ya?"
"Kepo is curious dear. Just like your ummi now." Haidar menjelaskan. Salma manggut-manggut, entah mengerti atau mengantuk.
"Dys, jawab dong. Tadi kalian kemana dulu? Perasaan tadi kamu telpon minta jemput sudah lebih dari satu jam yang lalu. Jarak rumah dan supermarket kan nggak terlalu jauh."
"Makan dulu."
"Cieee... diner with mantan nih judulnya," ledek Intan sambil tersenyum jahil. Gladys pura-pura tak acuh.
"Kita sama-sama kelaparan. Tadi juga bukan diner yang gimana gitu. Beli via drivethru, makan di mobil." Intan dan Haidar senyum-senyum mendengar jawaban Gladys. "Ngapain kalian senyum-senyum? Jangan membayangkan yang aneh-aneh ya."
"Dys, elo tadi sempat tanya dia kenapa bisa ada di London? Dia beneran sudah menikah?" Gladys mengangkat bahu acuh. "Elo nggak tanya? Nggak penasaran?"
"Kenapa harus penasaran? Biasa aja," jawab Gladys acuh. "Sudah ah, gue mau istirahat dulu. Malam ini Salma tidur sama gue ya."
"Memangnya elo nggak terganggu tidur sama Salma?"
"Ntan, Salma bukan bayi lagi. Dia sudah mau punya adik. Elo harus menerima kalau Salma sudah harus belajar mandiri. Pada akhirnya nanti dia juga akan tidur terpisah dari kalian."
"Tapi gue khawatir juga Dys."
"Kenapa? Salma anak yang pintar. Pada saat elo melahirkan nanti, dia pasti sudah lebih mengerti."
"Gue khawatir dia terlalu lengket sama elo. Sejak dia bayi elo sudah ikutan urusin dia. Bahkan waktu gue harus masuk rumah sakit di awal kehamilan ini, elo yang full urus dia. Elo juga memanjakan dia banget."
"Ya nggak papa kan?"
"Tapi gue dan mas Haidar nggak sampai setahun lagi stay di sini. Kami sebentar lagi harus kembali ke Indonesia. Gue khawatir Salma nggak bisa lepas dari elo."
"Salma tinggal sama gue aja disini," jawab Gladys santai.
"Ya nggak mungkinlah. Kecuali elo punya suami," goda Intan. "Dys, Brian atau Banyu?"
"Nggak tau ah. Gue duluan ke kamar ya," Salma berdiri hendak ke kamar. "Salma, do you want to sleep now?"
"Yes mommy." Mata Salma mulai terlihat sayu karena mengantuk. Gladys tersenyum melihatnya. Ia mengangkat Salma ke dalam gendongannya.
Sepeninggal Gladys, Intan dan Haidar saling pandang.
"Semoga segera ada jalan ya untuk mereka. Aku sudah nggak sabar menanti Gladys memiliki pasangan."
"Kita coba bantu sebisa kita. Tapi mas harap kamu jangan terlalu berharap. Nggak mudah buat Gladys untuk mengulang cerita yang lama. Kamu pasti lebih tahu bagaimana sifat sahabatmu itu."
"Tapi aku masih boleh menjalankan rencanaku untuk mengundang Banyu kan?" Haidar tersenyum dan mengangguk.
"Tapi ingat, jangan terlalu capek ya."
"Siap boss!"
⭐⭐⭐⭐