webnovel

Menara Cinta

Sejak kecelakaan itu terjadi.. Seiring berjalannya waktu hidup Sasya berubah. Sasya tak memikirkan lagi masa lalunya! Karena Sasya tak bisa mengingat semuanya. Karena jika Sasya mengingat hal itu. Hanya akan menambah luka di hatinya! Yang Sasya tau, kegelapan serta kedinginan dan Kesepian.

Kazuma_Hans3139 · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
88 Chs

Mimpi Yang Aneh

Setelah Lian selesai memeriksa kondisi Sasya, dokter muda itu meninggalkan ruang rawat adiknya.

Kini setelah kepergian Lian, suasana ruang rawat itu kembali hening.

"Kapan Bryan datang?" ujarnya putus asa. Sasya tak menyukai tempat ini.

"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya pada diri sendiri. Hingga rasa kantuk mulai menderanya. Sasya pun jatuh tertidur.

[Didalam Mimpi]

Pemakaman telah selesai sejak beberapa menit yang lalu, seorang gadis menatap kosong pada batu nisan yang baru bertengger di kuburan.

Gadis itu kemudian meringis, ia tidak menyangka kematian dengan cepat mendatangi temannya.

Tepukan di bahu membuat gadis itu menoleh. Menatap temannya yang lain datar.

"Kita harus pulang. Sebentar lagi turun hujan." Kata salah satu temannya.

Sasya, gadis itu mengangguk pelan. "Kau duluan saja, aku masih mau disini. Sebentar saja." Katanya dengan nada memohon.

Vika mengangguk, gadis itu menatap prihatin pada Sasya. Ia memaklumi jika Sasya masih ingin tinggal. Karena Farsha salah satu teman terdekatnya.

Gadis itu berlalu setelah berpamitan.

Kepala Sasya celingukan, ia menatap ke seluruh arah.

Senyumnya mengembang saat netra coklat gadis itu menemukan apa yang ia cari.

Mereka saling bertatapan, iris mereka saling menubuk satu sama lain. Lama mereka bertahan diposisi tersebut. Tapi pemuda itu pergi setelah menatap langit sesaat.

Tik

Tik

Tik

Gerimis pun turun, Sasya beranjak setelah ia tak lagi menemukan sosok tersebut.

"Kenapa cepat sekali?" Batin Sasya sedih, mata Sasya menyorot sendu.

"Padahal aku masih ingin bertemu dengan mu."

*

Satu Minggu, setelah pemakaman Farsha, Sasya sering termenung sendiri. Walaupun di sekolah banyak teman-temannya. Sasya tetap merasa kesepian.

Gadis itu lebih sering menatap pohon dan halaman sekolah yang luas.

Satu ide gila terlintas dipikirannya.

"Aku akan melakukannya nanti malam." Gumamnya pada diri sendiri.

Vika yang tak sengaja mendengar suara Sasya lantas bertanya.

"Melakukan apa?" Tanyanya penasaran.

Sasya sekilas terkejut, namun gadis itu kemudian tersenyum tipis. "Kau kan bisa memasak, aku ingin belajar darimu." Ujarnya.

Vika mengeryit bingung. "Kenapa tiba-tiba?"

Sasya mempeotkan bibirnya, tangannya bersidekap didada. Gadis itu memasang wajah datar.

"Sebentar lagi Mama ku ultah." Mata gadis itu menyipit. "Aku mau masakin makanan kesukaan Mama." Katanya yakin.

Vika mengangguk beberapa kali. Gadis itu menunjukkan ibu jarinya.

"Oke, tenang saja."

Senyuman Sasya semakin lebar.

Mereka berhenti mengobrol karena Pak Rakhman memasuki kelas.

______

Dunia nyata

______

Bryan membuka pintu ruang rawat Sasya, pria itu menghela nafas berat. Mendekati sang istri dengan tatapan sendu.

"Sayang maaf, banyak sekali pekerjaan di kantor. Farrel tidak bisa menanganinya sendiri." Bryan tahu, Sasya mungkin tidak mendengar permintaan maafnya. Pria itu duduk disamping Sasya, menggenggam tangan isterinya erat.

[Didalam Mimpi Sasya]

Sasya membaringkan tubuhnya di atas kasur. Mata gadis itu terpejam. Ia mengatur nafas, sebelum membuka matanya kembali. Senyum manis namun dingin bertengger di bibirnya. "Kau.. selanjutnya." Bisik gadis itu lirih.

Gadis itu bangkit dari tempat tidur, kemudian ia bersiap. Kedua tangannya memeriksa alat apa saja yang ia butuhkan. Tak lupa juga ia membawa sarung tangan.

"I'm coming~"

Gadis itu keluar dari kamar, membawa ransel kecil. Ia melirik sekilas ke lemari kaca.

"Mama, Papa. Sasya pamit ya! Mau main ke rumah temen!" Ujarnya dengan ceria.

Kemudian gadis itu berlalu, menuju ke garasi dan segera masuk kedalam mobil.

Sasya menghembuskan nafas pelan. Lalu mulai menyetir.

*

Vika berjalan cepat menuju ke pintu utama. Gadis itu mengukir senyum saat tau temannya yang datang berkunjung.

"Ayok masuk, Sya." Ajaknya sambil tersenyum.

Sasya mengangguk pelan, ia mengikuti Vika dari belakang. Namun pandangan Sasya teralih, ia merasa heran karena rumah Vika lumayan sepi.

"Oh ya, kamu mau masak apa?" Tanya Vika setelah mereka sampai di dapur.

Sasya merotasi bola matanya. Gadis itu bergumam sendiri. Kemudian ia menatap temannya.

"Aku mau bikin sup daging. Mama suka banget soalnya." Jawabnya lambat.

Vika tersenyum. "itu sih mudah banget." Cengirnya.

"Kata siapa mudah? Bakal susah nanti kalo kamu gak bisa diam." Ujarnya dalam hati.

Vika menuju ke kulkas, mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Untung saja, persediaan makanannya masih banyak. Ia tidak perlu khawatir.

Mereka kemudian sibuk dengan kegiatan memasak. Sesekali Sasya bertanya, agar Vika tak curiga padanya.

"Kamu sebenarnya bisa masak ga? Kok potongan kamu lebih bagus dari aku ya." Celetuk Vika tiba-tiba. Gadis itu menatap takjub pada potongan daging sapi yang dipotong dadu Sasya tadi.

Sasya menahan nafas. Ia meringis pelan. "Aku biasa bantu Mama di dapur, tapi gak tau cara masaknya." Jawabnya polos.

Vika tergelak mendengarnya.

Kemudian mereka melanjutkan lagi, tangan Sasya berhenti memotong. Ia melihat kedua tangannya yang dilapisi sarung tangan bening. Sehingga Vika tak sadar jika dirinya menggunakan benda tersebut.

Kepala gadis itu celingukan, setelah memastikan bahwa keadaannya aman. Sasya membungkam mulut Vika. Setelahnya, Sasya menikam gadis itu dari belakang.

"Mmph!" Vika berontak saat merasakan sakit dan perih. Air mata gadis itu mengalir deras dari matanya.

Sasya masih sibuk membuat luka di bagian punggung Vika. Bahkan gadis itu mengiris tulang belakang temannya. Membuat Vika membelalakkan matanya.

Geram karena Vika tak mau diam, Sasya memasukan kepala gadis itu ke panci, beruntung. Air di dalam panci itu sudah mendidih. Membuat Vika tak mampu berteriak karena merasakan panasnya air tersebut.

Gadis cantik itu terisak. Mengapa temannya Setega ini?

Seluruh wajah Vika melepuh karena air panas. Darah gadis itu juga berceceran di lantai akibat lukanya yang menganga.

Sasya menarik kembali kepala Vika, gadis itu menangis merasakan sakit juga perih pada wajahnya.

Saking terkejutnya dengan apa yang terjadi, Vika bahkan tak mampu untuk berteriak meminta tolong.

"Kk-kenapa?" Tanyanya dengan nada bergetar. Lutut Vika terasa lemas saat melihat sorot mata Sasya yang dingin.

Seperti Vika tak pernah mengenal gadis itu.

Vika beringsut mundur, meski sakit yang ia rasa sangat menikam.

Ia harus cepat lari sebelum ia benar-benar terbunuh ditangan iblis yang menyerupai temannya.

Sasya menyerigai setan. Kedua tangannya mencekik leher Vika.

"Kkkeh! Lep-paskan!" Kedua tangan Vika mencoba melepaskan cekikan Sasya.

Tapi karena kesadaran gadis itu semakin berkurang. Ia tak bisa lagi menyelamatkan nyawa nya.

Gadis itu menangis dalam diam, sebelum ia benar-benar mati.

Sasya melihat kesekitarnya, dapur ini penuh dengan darah milik Vika. Sasya menarik Vika menuju kamarnya. Setelah membaringkan tubuh Vika di ranjang. Sasya kembali ke dapur. Membersihkan kekacauan yang dibuatnya.

"Akhirnya selesai juga." Gumam Sasya lirih.

"Non Sasya belum tidur?" Tanya salah satu pembantu Vika.

Sasya menoleh, gadis itu menghilangkan rasa terkejutnya, ia tersenyum kecil.

"Iya Bi, saya belum ngantuk." Jawabnya sopan.

Pembantu Vika mengangguk. Kemudian minum air di meja, air yang awalnya Sasya siapkan untuk Vika jika gadis itu berontak.

Gadis itu sudah melarutkan zat kimia juga racun tikus yang berkualitas tinggi. Sehingga tak ada bau maupun rasa yang membuat targetnya curiga.

Sasya menghitung dalam hati.

1... 2... 3... Dalam hitungan ke lima. Pembantu Vika sekarat. Matanya melotot melihat kearah Sasya.

"Selamat datang di neraka keabadian milik Sasya." Gumam Sasya ceria.

Gadis itu pergi lewat jendela. Untung saja, mobilnya diparkir diluar. Didepan rumah kosong yang letaknya agak jauh dari rumah Vika.

Sasya menahan senyum. Besok ia akan datang ke pemakaman Vika. Sasya berjanji akan tampil dengan sempurna. Hanya untuk dia tentunya.

*

Dan hari ini, lagi-lagi teman sekelas Sasya menangis karena kehilangan temannya. Padahal belum lama mereka kehilangan Farsha.

Sasya mendengus pelan, gadis itu menatap penuh hina pada teman sekelasnya. Tentu saja tangisan mereka itu tidak benar-benar tulus!

Hanya beberapa saja yang memang benar-benar menangis.

Kepala gadis itu melirik ke arah kanan kirinya. Mencari sosok jangkung yang berwajah tampan. Sosok yang selalu dirindukan olehnya.

Sasya menarik sudut bibirnya.

"Akhirnya aku bisa melihatnya lagi." Batin gadis itu senang.

Sosok itu lenyap. Sasya menghela nafas berat. Ia bisa bertemu dengannya hanya sebentar. Hatinya berdenyut. Sasya masih belum puas.

Kilatan berbahaya terpancar di matanya.

*

Hari ini masuk seperti biasa, tapi para murid kebanyakan tidak menyukai hari Senin. Karena mereka harus melaksanakan upacara bendera yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Senin pagi.

Diantara murid yang mengikuti upacara, hanya Sasya yang tidak mau ikut. Gadis itu sampai berbohong, ia beralasan kalau ia tengah sakit.

Jadi gadis itu sekarang berada di UKS.

Bagas yang kebetulan menjaga UKS, pemuda itu menghampiri Sasya.

Ia berdehem pelan. "Masih pusing?" Tanyanya dengan nada lembut.

Sasya sedikit mengeryit, ia tak suka pada kakak kelasnya ini. Hanya saja karena ia kakak dari temannya. Sasya akan bersikap baik terhadap Bagas.

Sasya mengangguk, ia memegang kepalanya. Bibir gadis itu meringis. "Masih kak." Jawabnya lirih.

Pemuda itu mengangguk. Kemudian mengambil beberapa jenis obat dan air mineral.

"Minum ini dulu." Ujar Bagas sambil mengulurkan tangannya yang memegang obat juga air mineral.

Sasya menerima obat serta air mineral tersebut. Kemudian gadis itu tersenyum.

"Apa harus aku melakukannya lagi? Agar aku bisa melihatnya lagi." Gumam Sasya lirih.

*

Sasya melihat kedua tangannya dengan tatapan nanar. Dulu.... Dulu sebelum ia melihat sosok itu. Sasya masih polos. Bisa dibilang, gadis itu tidak mengetahui apa apa. Apalagi tentang cara-cara membunuh yang keji.

Sekarang membunuh adalah perioritas Sasya. Gadis itu selalu ingin membunuh. Siapa saja, agar ia bisa bertemu dengan sosok itu.

Entah Sasya sudah berapa kali membunuh. Gadis itu bahkan tak bisa menghitungnya.

Kali ini ia datang ke pemakaman Nara. Adik Bagas.

Awalnya, Sasya tak pernah menargetkan Nara di list targetnya. Tapi karena seminggu yang lalu. Ia dan Nara berselisih paham, membuat Sasya mempunyai niat untuk membunuh gadis itu.

Dan seperti biasa, saat Sasya menghadiri pemakaman. Sosok itu kembali hadir.

Namun sedikit berbeda dengan yang sebelumnya. Sosok itu hanya akan bertahan beberpa menit saja.

Kali ini  Sasya sudah melihatnya lebih dari sepuluh menit.

Orang lain sudah beranjak pergi dari tempat tersebut. Bahkan keluarga dari gadis yang disemayamkan sudah beranjak pulang.

Tapi Sasya masih bertahan, gadis itu masih ingin menatap lama pada sosok yang kini menghampiri dirinya.

Dahi Sasya mengerut tak mengerti. Biasanya.. mereka hanya akan saling pandang dalam jarak jauh. Tapi kali ini mereka berdekatan. Hingga jarak antara mereka hanya tersisa tiga puluh cm.

Sosok itu terlihat tampan seperti biasa. Jas dan kemeja hitamnya selalu melekat pada tubuh jangkung tersebut. Anehnya, Sasya tak pernah bosan.

Sasya sangat menyukai ketika dia tersenyum.

"Kenapa kau melakukan ini?" Tanya sosok itu setelah mereka sama-sama terdiam.

Sasya mengerjap pelan. Gadis itu tersenyum manis. "Karena aku ingin bertemu dengan mu." Jawabnya jujur.

Pria itu menyentuh wajah Sasya lembut. Sebelum menipiskan jarak di antara mereka.

"Bagaimana jika kamu ikut ke dunia ku?" Tanya Bryan lagi.

Sasya terkejut, setelahnya gadis itu terkekeh.

"Tapi aku belum mati Bryan."

_____

Dunia Nyata

_____

"Tapi aku belum mati Bryan." gumam Sasya pelan.

Bryan yang tengah terjaga tersentak mendengar kata-kata Sasya. "Sayang?" panggilnya lirih, Bryan khawatir. Ia mengguncang lengan Sasya pelan, berharap Sasya terbangun. Dan sepertinya rencana Bryan berhasil, Sasya membuka matanya pelan.

"Eum.. Bryan?" panggilnya agak ragu.

"Iya sayang, ini aku." Bryan berkata lembut, lalu memeluk Sasya. "Maaf aku baru sampai tadi... maaf aku tak bisa menemanimu." Bryan menatap Sasya. Lalu teringat dengan igauan sang istri tadi. "Apa kamu bermimpi tadi?" tanyanya lembut.

Seketika Sasya teringat apa yang dialaminya tadi. Jadi semua itu mimpi? Kenapa terasa sangat nyata? pikirnya.

Melihat istrinya melamun, Bryan mengusap kepala Sasya pelan. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku hanya bertanya. Istirahatlah lagi, aku akan menjagamu."

Sasya pun kembali berbaring sambil tetap menggenggam jemari suaminya.

"Mimpi yang aneh." gumam Sasya.