"Eh, em ... Enggak kok, Mas!" Aduh mati aku kalau sampai ketahuan, ini belum waktunya.
"Terus kenapa sampai air mata keluar gitu?" Mas Bram semakin mendekat, membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat. Tamat sudah riwayatku.
Aku asal memencet ponselku, hingga tanpa sengaja memutar sebuah video drama korea.
"I-ini, Mas gara-gara nonton ini!" Aku memperlihatkan layar ponselku, sebuah drama yang entah ada adegan sedihnya atau tidak. Semoga saja Mas Bram percaya dengan alasanku.
"Hem, dasar emak-emak korban sinetron," ucapnya kemudian yang terlihat jengkel. Tidak apa, asal jangan sampai ketahuan.
Aku segera mematikan ponselku dan bangkit dari sofa menuju ranjang, sementara Mas Bram kembali asik dengan ponselnya, sembari rebahan di tempat tidur. Sepertinya, Mas Bram melanjutkan dengan perempuan si*lan itu.
Aku pun segera berbaring pura-pura tidur, sambil memikiran kegilaan Mas Bram. Aku harus cari tau siapa perempuan yang berani mengatai aku kampungan dan bodoh itu, tetapi bagaimana caranya?
Ah, ini benar-benar membuatku pusing. Aku terus mengubah posisi berbaringku, mata ini begitu sulit untuk terpejam.
"Kamu kenapa sih, Dek? Dari tadi kayak gelisah gitu?" tanya Mas Bram menyadari tingkahku.
Aku bergeming sejenak. Apa kutanyakan saja perihal siapa perempuan itu? Tidak, aku tidak boleh gegabah. Mereka harus diberi pelajaran terlebih dulu agar kapok.
"Em, gak apa-apa, Mas," jawabku lalu kembali menghadap Mas Bram dan Rania. Berusaha sebisa mungkin memejamkan mata, dan akhirnya aku pun tertidur.
***
Usai subuh, seperti biasa aku sudah sibuk di dapur, meski hari ini libur, tetapi tidak berlaku dengan pekerjaanku. Justru aku harus beraktifitas lebih extra dari biasanya.
Pagi ini aku masak nasi goreng cumi, dengan irisan bawang daun. Tidak lupa telor ceplok sebagai pelengkapnya.
Usai masak aku segera menghidangkannya di atas meja lima porsi nasi goreng dengan dua gelas susu dan tiga gelas teh sudah tersaji sempurna. Biasanya Mas Bram dan Rania pagi-pagi begini lebih suka minum susu ketimbang teh.
Hari ini aku berencana ngajak Mas Bram pergi, Selagi libur tidak ada salahnya kalau aku ngajak dia liburan bersama. Rania pasti senang.
Aku berniat memanggil Mas Bram untuk mengajaknya sarapan. Namun, Mas Bram ternyata sudah menuju ke sini. Setelahnya Mama sama Mita pun datang. Kami pun sarapan bersama seperti biasanya.
"Mas, hari ini, 'kan libur. Bolehlah ajak Rania jalan-jalan," ucapku saat kami tengah makan.
"Mas capek, Mas mau istirahat saja di rumah," tolak Mas Bram sembari menyuapkan sarapannya.
Tidak bisa dipungkiri, rasa kecewa atas penolakan Mas Bram membuat hati ini terasa nelangsa. Aku mencebik. Tetapi, Mas Bram tetap tidak peduli.
"Halah, sok banget pake mau jalan-jalan segala, emang kamu pikir gak pake duit apa?" celetuk Mama tidak suka.
"Ya biasalah, Ma holang kaya," timpal Mita lalu terkekeh. "Dari pada jalan-jalan, mending uangnya buat, Mita ke salon, iya gak, Ma?" tanya Mita ke Mama.
"He em," balas Mama. Sementara Mas Bram hanya cuek saja.
"Kalau begitu, aku pergi berdua sama Rania boleh gak, Mas?" tanyaku.
Mas Bram menghentikan aktifitas makannya, lalu menatapku. "Gak Boleh! temani, Mas di rumah aja," jawab Mas Bram dingin, kemudian melanjutkan makananya.
Aku menghela nafas, hari ini aku juga tidak bisa pergi mengunjungi Oma. Bagaimana dengan keadaan Oma, semoga saja keadaannya sudah lebih baikan.
"Mas, Mita mau ke salon, minta uang!" tangan Mita terulur. Mengadah seperti anak kecil yang lagi minta dikasih permen.
"Mama juga pengen, udah lama Mama gak ke salon," timpal Mama.
Mas Bram mengularkan dompet dari sakunya dan memberikan sebuah kartu kredit dan beberapa lembar uang berwarna merah. Aku hanya bisa menggigit bibir rasanya ingin sekali protes, tetapi bagaimana pun mereka adalah Mama juga adik iparku.
"Jangan iri ya, Mbak!" ucap Mita dengan nada mengejek.
"Gak, kok Mbak, senang kalau kalian senang," jawabku berbohong.
"Ya baguslah memang seharuanya begitulah sikap sebagai menantu," tegas Mama.
Dalam hati rasanya ingin sekali protes atas sikap dan prilaku Mas Bram yang pilih kasih. Tetapi apalah dayaku.
"Kamu itu harusnya bersyukur, bisa jadi menantu sekaligus istri anak saya yang ganteng ini," lanjut Mama percaya diri. Entah apa maksudnya. Akan tetapi, sebagai manusia kita memang harus senantiasa bersyukur, bukan?
"I-iya, Ma," jawabku getir.
"Ya sudah, Mama mau siap-siap dulu!"
"Mita, juga ah!"
Mama dan Mita pun pergi, tidak lama kemudian Mas Bram pun pergi ke ruang tengah. Tinggalah aku dan Rania yang masih melanjutkan makan.
Usai makan, aku segera membereskan piring dan gelas lalu mencucinya di wastafel. Rania sengaja kusuruh bermain sama Papanya. Setelah itu lanjut mencuci, dan menjemur pakaian. Pekerjaan rumah tidak boleh ada yang terlewatkan.
Pukul 10 lebih 15 akhirnya semua pekerjaan rumah selesai, aku pun berniat kembali ke kamar untuk mandi dan membersihkan diri.
Usai mandi, kulihat Mas Bram sudah terlihat rapi, sepertinya dia akan pergi. Bukannya tadi dia bilang capek dan mau istirahat, lalu kenapa dia malah mau pergi?
"Mas, mau kemana?" tanyaku penasaran sembari mengeringkan rambut dengan handuk.
"Em, Mas mau pergi sebentar ketemu teman." jawabnya sambil mengambil kunci mobil di atas nakas.
"Lho, bukannya tadi kamu bilang capek?" sanggahku.
"Em, cuma sebentar kok, soalnya ini masalah pekerjaan, penting," jawab Mas Bram.
Ponselku bergetar sebuah notif pesan masuk, buru-buru aku pun membukanya.
[Mas, aku tunggu di tempat biasa ya] rupanya pesan dari perempuan itu lagi, jadi ini Mas yang kamu maksud teman, pekerjaan dan penting.
Mas Bram buru-buru ke luar kamar. aku segera menyusulnya mereka tidak boleh pergi berdua, aku harus ikut jika tidak aku akan memaksa biar saja, Mas Bram akan marah aku tidak peduli. Kali ini aku tidak boleh tinggal diam.
"Mas, aku ikut," ucapku sambil menyusul langkah Mas Bram, kulihat Mama dan Mita pun sudah bersiap hendak pergi.
Saat semuanya tiba diambang pintu, sebuah mobil yang kukenali pemiliknya sudah terparkir di halaman rumah, lalu seseorang keluar dari dalam mobilnya sembari mengucapkan salam.
"Assalamualaikum." Seketika kedatangannya membuat Mama, Mita dan Mas Bram tidak jadi pergi. Aku tersenyum.
Bersambung ...