Entah apa yang terjadi. Intinya, sejak kedatangan Putra Duke Frederick, semuanya berubah. Lebih tepatnya, semua sifat yang orang-orang dalam kediaman ini tunjukan.
Mereka jadi sangat menghormati Ilona. Berbaik hati padanya, kemudian selalu memperlakukan Ilona selayaknya tuan rumah. Ya, sebenarnya itu wajar. Sangat wajar.
Hanya saja, Ilona ini adalah tokoh utama yang dikucilkan. Lalu dalam sekejap, ia menjadi tokoh utama yang dihormati di kediaman Berenice.
Jika saja peran Cinderella tahu. Ia pasti akan iri terhadap Ilona.
"Nona Ilona, apa Anda menginginkan sesuatu?"
Ilona menggeleng. Rasa-rasanya sangat ngeri melihat semua dayang yang sejak tadi berbaik hati padanya. "Tidak ada."
Dayang itu tersenyum dan mengangguk. Kemudian kembali diam dan tetap berdiri pada tempatnya.
Sementara Ilona?
Perempuan itu duduk di kursi, di ruang utama. Lalu entah mengapa, ia menjadi tidak nyaman. Hanya Audrey yang dapat menjadi dayang ternyamannya.
Ilona bangkit dari duduk. "Aku ke kamar," ucapnya yang langsung berjalan menuju kamar. Masuk ke ruangan yang kini jauh lebih mewah dari kamar Jeanne.
"Wah, gila …. Pengaruh tokoh utama pria sungguh …–" Ilona bahkan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Yang jelas, itu amazing.
Dia hanya bertemu dengan Count sekali setelah kejadian kemarin. Itu pun, hanya ketika berada di meja makan. Count sangat aneh. Ia tidak lagi dingin. Bahkan, tadi pria paruh baya itu berusaha berbicara dengan Ilona. Yang pastinya, langsung membuat tiga saudari dan ibu tiri menahan amarah.
Ilona memilih duduk pada sebuah kursi, yang akhir-akhir ini menjadi tempat favoritnya. Berada di samping jendela yang dibuka. Sehingga di sini, Ilona dapat merasakan udara segar yang berhembus masuk. Beberapa kali menyibak rambut indahnya.
Lalu dihadapkan oleh meja sederhana terbuat dari kayu. Ilona biasa meletakkan buku yang hendak ia baca di sini. Atau barang-barang penting pada laci meja. Tempat favoritnya di pojok kamar.
"Sepertinya bagus. Akan menarik jika aku benar-benar ada di pesta Kerajaan." Ilona tersenyum. Sekilas ada sebuah ingatan kemarin yang melintas di kepalanya.
{ "Bolehkah jika aku menjadikanmu pendamping pada sebuah pesta di Kerajaan? Kau bisa menolaknya, jika tidak mau." }
Ya, itu adalah hal baik. Di novel, Ilona hanya melihat sekilas mengenai Berenice, dan Frederick saja. Padahal sebenarnya, ada beberapa hal menarik dalam dunia novel ini. Salah satunya, adalah wilayah Kerajaan.
Terlebih, Ilona sangat penasaran sekali akan dunia luar dalam novel ini. Dirinya dulu hanya membaca tulisan. Tidak ada gambaran atau ilustrasi, sehingga Ilona tidak dapat memastikan benar-benar aslinya.
Oh, dan, ya. Ilona baru melakukan dua sesi belajar berkuda. Tidak terlalu payah sebenarnya, tetapi juga tidak bisa dikatakan ahli.
Count hari ini sedang pergi ke luar, sehingga tampaknya Ilona tidak bisa belajar berkuda. Mengingat bahwa Ilona selalu meminta izin ketika dirinya ingin melakukannya.
Ilona menatap buku yang terletak di atas meja. Tangan kanannya meraih, tetapi berhenti saat terasa bahwa pintu kamarnya dibuka.
Perempuan itu lantas menoleh ke arah pintu sana. Ibu tiri yang datang bersama putri-putrinya.
[Apa yang ingin mereka lakukan, kali ini?]
"Ilona! Ikut aku!"
Ibu tiri mencengkram kuat lengan Ilona. Lantas perempuan itu langsung meringis menahan sakit. Tubuh tokoh utama yang terbilang lemah; harus melawan energi ibu tiri yang kuat.
"I–ibu—"
"Cepat!"
Memotong pembicaraan Ilona, dan tanpa basa-basi lagi. Ibu tiri menarik lengan perempuan itu keluar dari kamar. Seolah menyeretnya dengan kuat hingga ke bagian belakang. Diikuti oleh tiga saudari tiri di belakangnya.
"Kau semakin lama semakin kurang ajar! Ilona, kau seharusnya itu sadar!" Ibu tiri membentak. Suaranya sungguh langsung menancap ke hati, ia jahat, dan ia kejam.
Melepaskan cengkraman pada lengan Ilona begitu saja. Kemudian mendorong tubuh perempuan itu sampai tersungkur di lantai.
Kali ini lebih parah, dari Count.
Ilona tersungkur. Dengan kepalanya yang membentur lantai. Itu sungguh sakit, terbukti saat darah mulai merembes keluar. Perlahan, tetapi lebar. Bahkan hingga menetes pada lantai, membanjirnya penuh darah.
Kepala yang mendadak terasa begitu pusing. Ilona tidak kuat lagi, semuanya terjadi sangat cepat. Ia bahkan kesulitan bernapas, semuanya sangat sakit.
Pandangan Ilona berangsur-angsur kabur. Seolah dirinya memang sudah menyerah.
"Dasar! Kau harusnya mati! Tak tahu diri—"
"I–ibu!"
Jeanne mendekat ke arah ibunya. Menghentikan aksi wanita itu yang hampir saja menendang tubuh Ilona.
Jeanne mencari mati. Ia menghentikan ibunya sendiri.
"Jeanne!" Ibunya membentak tak percaya. Putri sulungnya ini, sama sekali tidak pernah menghentikan atau ikut campur urusannya. Tapi, kini?
"S–sudah, Ibu. Cukup sampai sini saja," ujarnya lirih.
"Ka–kakak …." Dua saudari lainnya, hanya bisa menatap dari jarak cukup jauh. Mereka takut, sungguh. Kakak tertuanya saat ini, telah membuat ibu mereka marah.
"Apa!? Katakan sekali lagi! Kau berani menghentikan ibu?!" Ibu tiri menatap tajam putrinya. Wajahnya sudah benar-benar kentara jelas akan kemarahan tiada tara.
"Ti–tidak, Ibu. Saya tidak bermaksud seperti itu." Jeanne menggelengkan kepalanya kuat. Lantas rambut panjang yang dikuncir itu menjadi berhambur ke kanan- dan kiri. "T–tuan Count dapat mengetahui ini. Beliau … akan marah. Terlebih, Ilona baru saja menarik hatinya, karena ia kenal dengan Putra Duke."
Ibu tiri berhenti sejenak. Ekspresi marah perlahan-lahan terasa tenang.
"Kau pintar."
Jeanne menghembuskan napas, kemudian tersenyum. "Terima kasih, Ibu."
"Cepat panggil dayang untuk mengobati anak kurang ajar ini."
***
Kepala ini terasa sangat nyeri. Bahkan ketika Ilona bergerak dari tidurnya sedikit saja, itu seperti tulang patah. Rasanya sakit, itulah mengapa sejak tadi, Ilona tak sekalipun bisa beristirahat dengan tenang.
Sampai 6 jam sejak kejadian tadi, Ilona perlahan membuka kedua kelopak matanya. Mengedipkan pelan. Kemudian, lenguhan panjang keluar dari bibirnya. Sakit.
Kedua mata telah terbuka. Tapi, perempuan itu masih belum dapat melihat secara jelas. Hanya samar-samar yang memperlihatkan semburat-semburat cahaya. Entah, apakah penglihatannya berangsur-angsur menghilang. Atau, hanya akan terjadi sementara saja.
Jangan sampai Ilona buta. Tokoh utama tidak bisa bahagia jika dirinya buta.
Ilona menghela napas dengan penuh perjuangan. Tubuhnya terasa remuk, karena alas tidur yang sebenarnya tak memadai. Bahkan tumpukan kardus jauh lebih nyaman.
"N–nona Ilona? Anda sudah bangun?" Suara itu terdengar terkejut. Kemudian langkah kaki mendekat ke arah ranjang Ilona.
Lalu, tangan lemas Ilona terasa dingin. Air mata. Seseorang menangis dan tak sengaja menjatuhkannya.
"H–hah …." Ilona menghirup napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Sesak. "... Ah–Au … drey …."
Dengan cepat, Audrey menganggukkan kepala berkali-kali. "Ya, ya, Nona Ilona. Katakan, katakan."
"Apa …." Ilona menghembuskan napas terlebih dahulu, ia kesulitan tuk berbicara. "ti–tidak … terjadi apa-apa, 'kan, pa–pada … wajah … ku? Audrey …."
"... sebenarnya, ada, Nona Ilona. Tapi—"
"Tapi, apa wajahku masih cantik?" Pertanyaan Ilona terdengar menuntut.
"I–iya, Nona."
"... baguslah …."
Setelahnya, Ilona menghembuskan napas panjang. Bersamaan dengan kedua matanya yang kemudian ia tutup.
[Syukurlah, masih bisa sandingan sama Ramos.]