Satu minggu berada di Rumah Sakit, aku sudah mulai merasa penat, aku rindu kamarku, dan aku juga bosan menyantap makanan Rumah Sakit, yang lebih sering diberi bubur dengan menu supnya yang kurang MSG.
Akhirnya pagi ini Mama memberi kabar baik kepadaku, bahwa Dokter sudah memperbolehkanku pulang.
Selain aku jenuh dengan suasana Rumah Sakit, aku juga merasa tidak bersemangat lagi, karena Bagas sudah pulang sejak dua hari yang lalu.
Sebenarnya Bagas masih ingin tetep menjagaku di sini, sampai aku benar-benar sembuh.
Hanya saja, dia harus sekolah, aku juga yang memaksanya pulang. Dia sudah berhari-hari tidak masuk ke sekolah, dan itu bisa membuatnya ketinggalan banyak pelajaran.
Lain halnya dengan diriku, Elis dan Jeni selalu datang menjengukku, dan memberikan materi pelajaran hari itu, bahkan mereka juga sampai menyalinkan pelajaran hari itu ke dalam flashdisk, kadang juga menulis langsung di buku tulisku.
Mereka memang benar-benar sangat baik.
Semenjak Bagas pulang ke Semarang, aku merasa kesepian, tidak ada lagi tertawanya dan perhatian yang selalu aku dapatkan darinya.
Aku pura-pura tidak nyaman di depan Bagas, padahal aku sangat nyaman dengan perhatian itu.
"Mel, ayo udah siap belum? Kita pulang sekarang!" ajak Mama.
"Ya udah dong, Ma!" sahutku.
"Kamu kuat jalan enggak? Kalau gak kuat jalan biar Mama pinjamkan kursi roda?" kata Mama.
"Kuat, Ma! Mel ini beneran udah sehat!" sahutku dengan penuh yakin.
"Jangan begitu, Mel! Walaupun Dokter udah bilang kalau kamu boleh pulang, tapi kamu tetap harus istirahat untuk sementara waktu," ujar Papa menasehatiku. Lalu Tante Diani juga turut menasehatiku.
"Denger kata Papa kamu itu, Mel! Kamu harus istirahat dulu di rumah, jangan kelayapan!" kata Tante.
"Iya, Tante," sahutku dengan nada rendah.
***
Setelah masuk ke dalam mobil, ponselku bergetar, ada pesan masuk dari Bagas.
[Mbak Mel, kata Tante Diani, hari ini Mbak Mel, udah boleh pulang ya?] tulis Bagas.
"Ah dasar, Tante Diani, ember banget," gumamku.
"Siapa yang ember?" tanya Tante Diani, sepertinya dia hanya mendengar samar-samar gumamku tadi. Untung hanya mendengar samar saja, kalau sampai mendengar jelas Tante, bisa mencekik leherku. Dan gak lucu banget dong kalau sampai aku sembuh dari DBD, tapi malah mati karena dicekik Tante sendiri?
Aku kembali fokus kearah ponselku lalu membalas pesan Bagas.
[Iya, Gas, aku udah pulang alhamdulillah. Terima kasih ya atas doanya,] tulisku dalam pesan itu.
Dan tak lama Bagas membalas pesanku lagi.
[Syukurlah, Mbak, aku senang mendengarnya. Mbak Mel, banyakin minum air putih ya, jaga juga pola makan, dan jangan jajan sembarangan,] tulisnya.
Tak sadar aku tersenyum membacanya, Bagas, sudah mirip seperti Mama, dia sangat bawel dan sekarang malah sok-sokan menyuruhku segala,
Tapi aku senang dengan ini semua. Aku mersa seperti adiknya, padahal usiaku lebih dewasa 2 tahun ketimbang Bagas. Tapi sikap Bagas jauh lebih dewasa dari aku.
Kemudian kubalas lagi pesan itu. [Siap, Boss!] tulisku. Lalu Bagas mengirimkan stiker berupa gambar ibu jari, dan itu menutup obrolan kami lewat pesan.
Kadang aku berpikir, apa aku salah jika merasa bahagia mendapatkan perhatian dari Bagas?
Dan apa aku juga salah kalau aku menikmati perhatian itu?
Ini benar-benar membuatku merasa bingung. Laras sekarang juga hampir tak pernah mengabariku, apa dia merasa kesal denganku, karena selama beberapa hari ini aku sering menghabiskan waktu bersama Bagas?
Ah ... entalah aku benar-benar tidak tahu harus bagaiamana?
Selama aku masih merasa suka dengan Bagas, aku jalani saja dan kunikmati perasaan ini.
Sekali lagi aku meyakinkan pada diriku sendiri, jika perasan ini akan terhapus dengan sendirinya.
Buktinya saja aku yang dulu sangat mencintai Dion, kini aku bisa melupakan Dion.
Padahal dulu Dion adalah segalanya.
Kupikir selamanya aku tidak akan bisa melupakan Dion. Dan ternyata aku bisa!
Ini adalah pelajaran yang berharga bagiku, apapun yang dilakukan secara berlebihan itu tidak baik.
Apalagi mencintai seseorang yang belum tentu jodoh kita.
Kita tidak tahu dengan apa yang terjadi di masa depan.
Jadi lakukan apapun dengan sewajarnya.
Begitu pula dengan perasaanku saat ini terhadap Bagas.
Aku tahu aku menyukainya, aku juga cinta kepadanya, tapi aku tidak mau terlalu membesarkan perasaan ini.
Apalagi sekarang dia miliknya Laras. Suatu hari nanti ada kemungkinan jika Bagas dan Laras putus lalu Bagas kembali mendekatiku, tapi bisa juga, 'kan kalau mereka benar-benar saling jatuh cinta lalu hubungan mereka semakin langgeng dan sampai ke jenjang yang lebih serius?
Sekali lagi kita tidak tahu!
Oleh karena itu, aku berusaha untuk biasa saja menanggapi perasaan ini. Aku tidak boleh terlalu memperbesar perasaan cintaku terhadap Bagas. Sehingga apapun kemungkinan yang akan terjadi nanti, maka aku sudah siap. Jika Bagas dan Laras tetap melanjutkan hubungan mereka, maka aku tidak akan terlalu sakit hati, bahkan bisa jadi tidak sakit hati sama sekali.
***
Sepulang dari rumah sakit aku beristirahat di rumah selama 2 hari.
Dan tepat di hari ini aku mulai berangkat ke sekolah seperti biasa.
Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Elis dan Jeni.
Yah walapun selama sakit mereka juga sering menengokku.
Tapi rasanya berbeda, saat berada di sekolah bersama mereka.
"Mel!" teriak Jeni dari kejauhan.
Gadis itu berlari menghampiriku, kemudian memelukku dengan heboh.
"Mel, aku kangen sama kamu! " ucapnya penuh ekspresif.
"Tapi, kemarin kita, 'kan baru aja ketemu, Jen," protesku.
"Hehe, iya juga sih, tapi tetap kangen ...," ucap Jeni dengan manja.
"Iya! Iya! Tapi si Ratu Kepo, mana?" tanyaku pada Jeni.
"Elis, maksudnya?" tanya Jeni memastikan.
"Iya, siapa lagi!" sahutku.
Kemudian Jeni melepaskan pelukannya.
"Gak tahu juga ya, Mel, tapi dari semalam aku kirim pesan ke dia gak dibalas, aku telepon gak di angkat juga! Nomornya gak aktif," jelas Jeni.
"Tumben?" ujarku agak heran. Dan Jeni menggelengkan kepalanya.
Tak lama dari depan pintu gerbang kulihat Elis yang berjalan gontai dengan raut wajah yang murung.
"Eh, itu dia!" teriakku seraya menunjuk kearah sahabatku itu.
"La iya itu, Elis!" ujar Jeni.
Kami menghampiri Elis, dan dari jarak yang begitu dekat aku melihat kedua mata Elis yang sembab dan membengkak.
Sepertinya Elis habis menangis semalaman.
"Elis, kamu kenapa?" tanyaku sambil memegang pundaknya.
"Pasti kamu habis disakiti sama, si Jul, ya?!" tebak Jeni yang secara terang-terangan menyebut nama, Julian.
"Jeni, jangan gitu dong! Kalau bertanya pelan-pelan," ujarku memperingatkan Jeni. "Lagian belum tentu juga Elis sedih karena Julian,"
"Ya habisnya karena siapa lagi, Mel! Aku udah nebak sejak awal kalau tuh cowok emang gak bener!" sengut Jeni.
"Ya tapi—"
"Udah, kamu putus aja sama si Jul, El!" suruh Jeni.
Bersambung ....