webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
93 Chs

Akan Hilang Dengan Sendirinya

Bagas masih duduk di sampingku, dan aku juga masih berpura-pura tidur.

Padahal mata ini terasa pegal dan ingin kubuka saja.

Tapi aku tidak mau kalau Bagas mengajakku mengobrol yang tidak-tidak.

Aku harus menunggu sampai Mama pulang baru akan membuka mata dan pura-pura terbangun dari tidur.

Kemudian kudengar suara ponsel Bagas yang berbunyi.

"Halo, ada apa, Ras?"

[....]

"Iya, sebentar lagi aku juga pulang ke Semarang, tapi gak tahu hari apa,"

[....]

"Iya, aku memang lagi sama, Mbak Melisa, dia lagi sakit dan terpaksa harus di rawat di rumah sakit,"

[....]

"Iya, Mbak Mel, kena Demam Berdarah,"

[....]

"Yaudah dulu ya, sampai bertemu di kampung nanti,"

Bagas menutup panggilan teleponnya.

Entah mengapa perasaanku bercampur aduk saat Bagas berbicara dengan Laras, di sisi lain aku merasa tidak enak dengan Laras. Karena setiap dia menelepon Bagas, pasti Bagas selalu bersamaku.

Aku yakin Laras pasti cemburu, dan dia merasa kesal kepadaku. Kerena aku yang masih tak tahu malu dan dekat-dekat dengan Bagas. Padahal aku sendiri yang mendukung mereka agar berpacaran.

Tapi di sisi lain pula aku juga merasa cemburu mendengar Bagas yang sedang mengobrol bersama dengan Laras.

Mereka sekarang semakin dekat, itu artinya kemungkinan untuk Bagas jatuh cinta dengan Laras semakin besar.

Tapi ... bukankah itu yang aku mau?

Aku tidak tahu kenapa aku malah tersiksa dengan rencanaku sendiri, yang sudah menjodohkan Bagas dengan Laras.

Dan sekarang aku mulai menyukai Bagas.

Walau aku terus mengelaknya, tapi tak dapat dipungkiri, jauh dari lubuk hatiku yang terdalam ... aku merasa sangat senang jika Bagas ada di dekatku. Perhatian Bagas membuatku merasa nyaman sekaligus merasa menjadi wanita yang sangat berarti di matanya.

Tak lama aku dengar derap langkah kaki Mama yang memasuki ruangan.

Aku langsung membuka mata.

"Gas, udah dari tadi di sini?" tanyaku pura-pura baru melihat Bagas.

"Eh, Mbak Mel, udah bangun?" Bagas sedikit tersentak.

"Kebetulan kamu udah bangun, Mel! Mama beliin kamu Sari Kurma, katanya ini baik dikonsumsi bagi orang yang terkena DBD kayak kamu," ujar Mama.

Beliau mulai membongkar isi tas belanjaanya, dan mengeluarkan benda yang ia maksud.

"Oh iya, Bagas, Tante juga beliin kamu camilan lo, biar gak ngatuk pas tungguin, Melisa," kata Mama.

"Makasih, Tante," ucap Bagas.

Baru saja duduk dan membongkar tas belanjaannya, tiba-tiba Mama menepuk keningnya dan bertingkah heboh.

"Astaghfirullahalazim!" ucap Mama ber-istigfar

"Ada apa sih, Ma?!" tanyaku yang ikut panik.

"Sandal punya Mama ketinggalan, Mel!" jawab Mama.

"Hah! Kok bisa, lah itu yang di kaki Mama apaan namanya, kalau bukan sendal?" tanyaku, "sepatu kaca?" celetukku.

Mama malah tertawa sambil menepuk keningnya lagi.

"Sepatu kaca? Emangnya Mama Cinderella?" ujar Mama dengan nada bercanda.

"Ya kali aja, habisnya Mama heboh banget," sahutku.

"Gini lo, Mel, tadi Pas Mama mau berangkat ke mini market ada bazar sandal murah, akhirnya Mama beli satu, berhubung Mama lagi mau ke mini market, ya akhinya Mama titipin ke Abang-abang Tukang Sandal-nya. Gitu cerita, Mel!" tutur Mama menjelaskan.

Setelah itu Mama kembali keluar dari ruangan, dan kini tinggalah aku dan juga Bagas.

Padahal sejak tadi aku sengaja pura-pura tidur supaya tidak mengobrol bersama Bagas di saat berduaan begini, tapi Mama malah kembali meninggalkan kami.

"Mbak Mel, gimana keadaannya sekarang? Apa udah mendingan?" tanya Bagas.

"Yah, udah lumayan mendingan sih, Gas!" jawabku.

"Mbak, aku khawatir banget lo sama keadaan, Mbak Mel," kata Bagas dengan suara lirih, "Mbak Mel, cepet sembuh dong, biar aku bisa pulang ke Jawa dengan tenang," ucap Bagas.

"Gas, maafin aku ya, kerena aku jadi nyusahin kamu," ucapku.

"Nyusahin? Mbak Mel, gak nyusahin kok,"

"Tapi karena aku kamu jadi bolak-balik ke rumah sakit, Gas! Padahal kamu itu harusnya nemenin Bunda kamu yang lagi kangen dan sampai jatuh sakit itu," ujarku dengan perasaan yang tidak enak terhadap Bagas.

"Mbak Mel, Bunda udah gak apa-apa kok, dia udah gak sakit," kata Bagas.

"Tapi, Bunda kamu pasti kesel lihat kamu malah kelayapan mulu, bukanya ada di dekat dia!" ujarku lagi.

"Aku gak kelayapan! Aku udah bilang sama Bunda kalau aku lagi nengokin, Mbak Mel! Dan Bunda malah titip salam buat Mbak Mel, dan Bunda juga minta maaf karena gak bisa jengukin, Mbak Mel," tutur Bagas.

"Tapi—"

"Oh, iya alasan Bunda gak bisa jengukin Mbak Mel, karena sekarang Bunda dan Ayah sedang pergi ke rumah Kakek dari keluarga Ayah, di sana sedang ada acara,"

"Tapi harusnya kamu ada di sana, Gas! Kamu ikut acara keluarga,"

"Gak apa-apa saya gak ikut, Mbak! Lagian saya kurang begitu nyaman dengan keluarga Ayah Tiri saya, yah walaupun mereka baik-baik semua tapi saya masih belum terbiasa," kata Bagas.

Bagas terus menyangkal segala hal yang membuatku merasa tidak enak kepadanya.

"Mbak, saya di sini sekalian mau buktiin sama, Mbak Mel, kalau saya ini pria yang bisa diandalah," ucap Bagas. Entah apa maksud dari ucapan Bagas, aku pura-pura tak menangkapnya.

"Jadi pada intinya, kalau Mbak Mel, pilih saya untuk menjadi pacarnya Mbak Mel, maka Mbak Mel, gak bakalan nyesel sampai kapan pun!" tukas Bagas dengan penuh percaya diri.

Aku menelan ludah mendengarnya. Bagas benar-benar sangat ambisius, sepertinya keberadaan Laras benar-benar tak mengusik hatinya untuk berpaling dariku.

Dan beberapa hari di Jakarta ini malah semakin membuatnya menyukaiku.

"Gas, udah dong jangan ngomong kayak gitu, ingat kamu sekarang punya Laras," kataku memperingatkan Bagas.

"Oh, iya saya sampai lupa. Saya bakalan ngomong kayak begini kalau sudah ganti tahun nanti, Mbak!" ucap Bagas. Lagi-lagi dia sangat percaya diri bahwa hatinya tidak akan berubah.

"Udah kamu itu jangan terlalu yakin, Gas! Bisa aja kamu jatuh cinta beneran sama Laras!"

"Ah, masa?" Bagas seakan meledekku.

"Kamu jangan kayak gitu, Gas! Laras itu cantik, pintar, baik, suaranya juga bagus, gak fals kayak aku! Dan hal itu membuat aku yakin kalau beberapa bulan lagi kamu bakalan jatuh cinta sama, Laras,"

"Oh, ya! Gitu ya, Mbak?" Bagas malah bersikap santai dan seakan menyepelekan ucapanku.

Dia masih yakin jika di dunia ini hanya aku yang ia cintai, dan tidak bisa tergantikan lagi.

Aku juga bingung harus senang atau bersedih.

Jujur kuakui, jika saat ini aku memang sudah mulai menyukai Bagas, dan ini bukan hanya perasaan kagum, tapi memang aku jatuh cinta sama Bagas.

Hanya saja aku ingin membuang perasaan ini, karena aku tidak tega kalau harus melihat Laras bersedih saat Bagas meninggalkannya nanti.

Dan kalau masalah perasaanku ini, aku yakin lama-lama akan hilang dengan sendirinya, seiring berjalannya waktu.

Bersambung ....