webnovel

Mediterania: 87 Days

indriapendi · สมจริง
เรตติ้งไม่พอ
2 Chs

Ben and His Past

"Aih, sialan!" Anna meraih Zippo-nya lantas melemparkannya ke arah Jade. Selang tiga detik, "Tapi ucapanmu ada benarnya juga." sambung Anna kemudian, yang membuat keduanya tertawa.

Lampu merah menyala, Anna menghentikan mobilnya sekitar 70cm dari mobil hitam di hadapannya. Sembari menunggu, dia mengecek ponselnya yang menampilkan empat notifikasi di layarnya.

Martin (07.59 PM) :

Anna?

Martin (08.24 PM) :

Anna? Apa yang sedang kau lakukan sampai-sampai mengabaikan chat-ku seperti ini?

Anna tersenyum kecil membaca pesan itu. Memang, Martin itu tipikal lelaki posesif, yang dibiarkan sebentar saja bisa membuatnya kesal bahkan tak jarang marah.

Martin (08.25 PM) :

Ann?

Martin (08.29 PM) :

Meet me tomorrow. We need to talk.

Anna mulai mengetikkan pesan balasan, tapi belum sempat dia menyelesaikannya, suara keras dan goncangan di sekitar mobil yang dia tumpangi membuatnya kaget bukan main.

"What the hell?!" seru Jade, tak kalah paniknya dengan Anna--yang kini memutuskan untuk keluar dari mobil.

"Hey! Keluarlah!!!" teriak Anna pada pria pengemudi mobil Mitsubishi Strada Triton itu. Dia baru saja keluar mundur dari jalan semacam gang yang hanya muat satu mobil dan satu motor, dan berkat kecerobohannya, bagian belakang mobilnya pun mengenai body samping mobil yang Anna kemudikan.

Pria itu membuka pintu mobilnya, menatap Anna dengan bungkam untuk beberapa detik hingga akhirnya membuka suara. "Aku pasti bertanggung jawab." ujarnya selagi mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Hubungi saja aku dan katakan berapa yang harus kubayar untuk perbaikannya. Itu rumahku," dia menunjuk rumah dua tingkat berwarna putih yang ada di samping kanan gang.

"Kita tak tertarik untuk bertamu." ujar Jade --yang baru saja mengamati body mobilnya yang bonyok-- padahal bukan itu yang pria itu maksud.

"Kau bisa menagihnya ke sana jika aku berbohong dan uangnya tak kunjung kutransfer." sambung pria itu, masih mengarahkan pandangannya pada Anna tanpa menghiraukan ucapan Jade.

Awalnya Anna tak percaya kalau yang ditunjukkan pria itu memang rumahnya, tapi setelah dicocokkan dengan alamat dalam kartu nama, rupanya dia memang tak berbohong.

Begitu Anna dan Jade kembali duduk dalam mobil, mereka saling bertatapan bersama senyum penuh arti.

"Sepertinya kita memikirkan hal yang sama." ucap Anna yang kemudian segera melajukan mobilnya, menyadari pengemudi di belakangnya sudah menyalakan klakson yang mengganggu pendengaran.

◾◾◾

7 Januari 2012

Anna merebahkan dirinya di atas kasur, menarik napas panjang lalu menghembuskannya kasar. Siang tadi telah diputuskannya sebagai pertemuan terakhir dengan Martin setelah 7 hari mereka menjadi sepasang kekasih.

Sebenarnya, Martin saja yang menganggap Anna pasangannya. Berbeda dengan sebaliknya, Anna hanya menganggap Martin sebagai orang yang kemudian akan memberikan 'sebuah' keuntungan.

Tiba-tiba ponsel dalam tas Anna berdering, intro lagu One Last Breath milik Creed terdengar sebagai tanda masuknya telepon. Dengan malas dia pun meraih benda pipih itu.

"Halo!"

"Ya, halo Anna!"

"Ada apa, Jade?"

"Aku punya dua kabar baik."

"Katakan saja."

"Pertama, aku melebihkan 1/3 dari biaya perbaikan mobilnya pada Elvan, dan dia sudah mentransfer uangnya ke rekeningku."

"Maksudmu lelaki yang kemarin--"

"Iya! Lelaki yang menabrak mobil itu!" saking semangat dan terburu-buru, Jade sampai memotong ucapan Anna.

"Lalu?"

"Kedua, dia meminta nomor teleponmu!"

Anna mendengus, mengerti apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Padahal, dia baru saja mengakhiri misinya yang ditujukan pada Martin. Tapi kawannya itu sudah kembali menyuguhkan sasaran baru yang tak jarang membuat Anna harus memutar otak dan mengeluarkan banyak energi. Ya... meskipun di sisi lain, dia juga begitu menikmati hasilnya.

"Kenapa dia tak mau berhubungan denganmu saja, huh?"

"Hey! Manfaatkanlah wajah cantikmu itu sebaik mungkin! Ini kesempatan emas Anna, aku yakin isi rumah Elvan dipenuhi barang-barang mahal, jadi jangan sampai kau melewatkan--"

Biiip.

Anna yang jengah mendengar ocehan Jade, langsung saja memutuskan sambungan teleponnya. Tapi belum sampai satu menit dia bisa merasakan suasana yang tenang, ponselnya kembali berbunyi. Dengan kesal, dia pun terpaksa mengangkatnya, "ADA APA LAGI?!"

"Halo!"

Suara berat seorang lelaki membuat Anna tertegun dan langsung menjauhkan ponsel untuk melihat layarnya. Ternyata memang bukan nama Jade yang tertera di sana, melainkan nomor tak dikenal.

"Halo, siapa ini?"

"Aku Elvan, yang tak sengaja menabrak mobilmu kemarin."

"Oh ya, ada apa?"

"Bisakah kita bertemu?"

◾◾◾

Pukul 4 sore, Anna tiba di kediaman Ben, sahabatnya, membawa gaun yang dipakainya ke acara pernikahan untuk kemudian dikembalikan pada Sonia, adik perempuan Ben. Tak lupa, dia juga membelikan satu bungkus donat kesukaan adik kakak berkulit hitam itu.

"Bagaimana dengan mobil yang kau rental dari Abimana?" tanya Ben, sembari melahap donat rasa green tea. "Kudengar dari Jade, body sampingnya rusak."

"Elvan sudah mentransfer biaya perbaikannya." jawab Anna lalu meniupkan asap berbau tembakau.

"Penabraknya bernama Elvan?"

"Ya, dia membawa mobil pick up merek Strada Triton." Ujar Anna, seraya mengetukkan rokoknya ke pinggiran asbak untuk menjatuhkan abunya. "Kurasa dia orang yang sangat berada." Kini Anna menujukan pandangannya ke arah tangga, sambil mengingat apa saja yang kemarin ia perhatikan dari seorang Elvan. "Di pergelangan tangannya, melingkar jam tangan merek rolex."

"Hey, supir taxi saja bisa menggunakan jam tangan rolex." sahut Ben, menatap Anna intens. "Rolex palsu." sambungnya kemudian, diikuti senyum yang memperlihatkan gigi putih yang begitu kontras dengan warna bibirnya.

Anna tak tertarik untuk ikut tersenyum, ia masih tampak serius dan berpikir keras. "Dia ingin bertemu denganku, aku mengiyakannya dan sekarang aku membutuhkan bantuanmu."

"Kenapa kau bilang 'sekarang'? Dari dulu aku selalu ada untukmu, kan?"

Anna menggeleng kecil, balik menatap Ben lekat. "Maksudnya, aku ingin kau terlibat langsung."

Ben refleks mengerutkan kening, mencoba untuk mencerna ucapan Anna sebaik mungkin. "Kau serius?"

Anna menggigit bibir bawahnya,keraguan menggumpal di benaknya saat ini. Dia tak mungkin lupa cerita Ben saat itu...

"Tahun 2003 lalu, aku angkat kaki dari rumah, tak tahan dengan segala kekangan yang diberikan orang tuaku. Saat aku bolos sekolah satu hari saja, ayah akan memarahiku habis-habisan. Padahal aku hanya ingin melihat temanku mural di dinding besar Jl. 88. Saat aku tak boleh melakukannya, setidaknya aku melihat bagaimana orang lain melakukannya. Itu yang kupikirkan saat itu.

"Aku bahkan tak boleh merokok, padahal aku tak membelinya dari uang ayah. Dia bilang, itu berpengaruh pada kesehatanku. Dia bilang, aku tak bisa jadi atlet basket jika mengisap barang itu.

"Aku berlatih basket setiap hari minggu, padahal itu sama sekali bukan passion-ku. Aku melakukannya karena kurasa.. itu membuat ayahku senang.

"Hingga kemudian aku lelah menuruti semua ingin mereka dan memutuskan pergi. Dan rupanya, tak semudah yang kupikirkan untuk hidup di luaran. Aku berpikir bagaimana caranya agar bisa mengisi perut kosongku. Aku pun mencoba jadi pengamen, tapi suaraku benar-benar sumbang. Tak jarang orang-orang mengusirku dengan kasar. Sempat terpikirkan untuk kembali ke rumah, tapi nyatanya, gengsi menahanku untuk tetap berada di jalan yang kupilih. Lebih dari itu, aku juga ragu; apakah kedua orang tuaku masih mau menerimaku kembali?

"Suatu hari aku bertemu seseorang dan ikut bersamanya untuk mencopet. Dari sana aku mendapat cukup banyak penghasilan. Aku pun mulai berani mencuri ke rumah-rumah. Hingga kemudian, hari sabtu itu, orang rumah tak sengaja melihatku. Aku takut, aku juga panik bukan main. Kedua perasaan itu membuatku kalut dan menusuk pemilik rumah dengan pisau yang kubawa.

"Pemilik rumah lainnya datang, dia terlihat sangat marah, sementara dia pergi ke ruang lain, aku segera berlari namun terhenti saat seseorang menembakku.

"Aku dan pemilik rumah pun dilarikan ke rumah sakit. Dan ketika itu, ayah yang bekerja sebagai polisi meninggalkan kami. Entahlah, mungkin dia malu punya anak sepertiku. Ibu pun bekerja siang malam, tak kenal lelah. Siang hari dia bekerja sebagai asisten rumah tangga, menjelang malam dia datang ke kafe, mencuci piring di sana. Malam hari dia membuat adonan kue untuk dijual esok pagi. Dengan kesibukannya itu, dia masih bisa menjengukku secara rutin.

"Lalu suatu hari, dia jatuh dari tangga rumah majikannya, setelah sebelumnya sering mengeluhkan kepalanya yang terasa berat. Dan kau tahu? Dokter tak bisa menolongnya."

◾◾◾

"Aku serius, Ben." ujar Anna meyakinkan.

"Apa Jade kau libatkan juga?"

"Mmm.. mungkin tidak. Masalahnya Elvan sudah mengenal Jade."

Ben tampak berpikir, sudah empat menit dilewatinya hanya dengan diam. Dia tengah menimbang-nimbang keuntungan dan juga resiko--yang tentunya diberatkan oleh kejadian di masa lalu. Masa bodoh jika saat ini dia hidup sendiri. Tapi masalahnya, dia harus memikirkan Sonia, keluarga satu-satunya yang dia punya. Dia takut Sonia akan menjadi korban seperti ibunya, seandainya dia kembali gagal seperti kala itu.

Perlahan diseruputnya teh manis dalam cangkir, hingga kemudian dia memutuskan...

◾◾◾