webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · อะนิเมะ&มังงะ
เรตติ้งไม่พอ
43 Chs

32

Ino menyerahkan sebuah brosur makanan kepada Hinata, dan membuat gadis berambut panjang itu menengadah ke arahnya. "Kau mau datang kemari bersamaku?" Hinata mengedipkan matanya sampai beberapa detik, mencerna kata-kata Ino, mencerna pula maksud Ino. Apa-apaan gadis ini, pikir Hinata, merasa dibingungkan. "Kudengar mereka buka cabang dekat sekolahan kita, hanya dua kilo dari sini kurasa, dan ada beberapa menu baru yang bisa dicicipi secara gratis kalau kita memesan paket khusus."

"Mengapa aku harus pergi bersamamu?" Ino membuang pandangannya sebentar, lalu kembali memandangi Hinata, terlihat bingung mendadak. "Kau tidak punya teman?" dan Ino hanya mengamatinya secara datar. Mungkinkah gadis itu bakal marah? "Aku tidak ada waktu untuk pergi ke sana."

"Apa karena kau ingin belajar? Sepanjang malam?"

"Tidak. Aku perlu pergi ke suatu tempat sepulang sekolah, dan kemungkinan kakakku tidak akan mengizinkan aku pergi dengan siapa pun nanti. Akhir-akhir ini penjagaanku ketat. Banyak larangan yang aku terima, memutuskan datang ke toko buku untuk membeli beberapa buku yang diperlukan, kemudian kembali ke rumah, bagiku itu sudah menjadi pilihan yang paling tepat."

"Bagaimana kalau aku yang meminta izin kepada kakakmu?" Hinata tidak tahu lagi harus berbuat apa. Beberapa hari ini Ino selalu menempel padanya, juga memberondong pertanyaan-pertanyaan yang nyaris memusingkan kepalanya. Gadis itu memang butuh teman, seperti yang Neji bilang. Tidak ada salahnya untuk sekali menyetujui, hati nuraninya memerintahkan demikian.

Hinata kembali mendongak ke arah Ino, setelah sempat menunduk bingung. "Oke, aku akan pergi ke kelas kakakku, dan meminta izin untuk pergi denganmu sepulang sekolah. Tapi, tidak masalah kalau kita diantar olehnya? Untuk memastikan kalau aku benar-benar pergi ke tempat semestinya denganmu, jika dia memerintahkannya seperti itu."

Ino mengangguk menyetujui, lalu dia kembali duduk ke bangkunya.

Gadis pirang itu tidak mau menutupi betapa senangnya dia akan pergi jalan-jalan sepulang sekolah bersama anak baru di sekolahnya itu. Padahal, awalnya dia hanya ingin tahu mengapa Hinata bisa menggeser namanya dari urutan ke satu sampai akhirnya menjadi urutan kedua, mengingat sejak kelas satu, daftar peringkat sesuatu yang monoton dan tidak akan pernah berubah, dan anak-anak di kelas ini tahu itu.

Hinata kemudian keluar dari kelas, untuk menuju ke kelas kakaknya. Dan sesampainya di sana, sang kakak sedang berdiri di depan kelas bersama Naruto Namikaze. "Neji," pemuda itu menoleh sembari mengikat rambutnya. "Aku ingin memberitahumu," lanjutnya. "Sepertinya sepulang sekolah aku akan pergi bersama Ino."

"Nongkrong?" tebak Neji, lalu adiknya mengangguk. "Tidak biasa. Akur sekarang?"

Hinata nyaris tertawa. "Tidak, aku hanya tidak enak saja untuk menolak, mengingatkanku ketika malam sewaktu kita mengobrol bersama, seharusnya aku tidak menolak, bukan?" Neji mengangguk mengerti. "Aku akan pergi naik bus, atau mungkin perlu mengantar kami ke tempat tujuan?"

"Sepulang sekolah aku juga akan pergi bersama Naruto, kebetulan sekali," aku Neji. "Aku akan hubungi Miru untuk tidak menjemput kita karena urusan masing-masing, atau mungkin aku akan berbohong karena kita ada kegiatan sepulang sekolah mengingat akan ada acara festival."

"Berbohong?" Hinata hampir tertawa. "Kau bisa melakukannya? Sungguh?"

"Sudah kuduga, bukan hanya aku saja yang merasa aneh dengan kata-kata itu," sambung Naruto, ia memandangi Neji dengan ketidakpercayaan juga, sama seperti Hinata yang benar-benar hampir melemparkan tawanya. "Semoga berhasil untuk melakukannya. Tapi kalau dia menaruh curiga, serahkan itu padaku, aku akan berbicara pada mereka."

"Mengapa harus kau yang berbicara kepada mereka?" Naru terdiam sejenak, memandangi Hinata yang melemparkan pertanyaan dengan raut muka aneh, dan hal itu membuatnya tidak benar-benar nyaman. "Itu terdengar aneh."

"Berbicara sebagai seorang teman, aku akan pergi bersama Neji, apakah aneh?" Neji memisahkan kedua orang di depannya itu, karena dia tidak ingin menjumpai pertengkaran ketika mereka masih di koridor. "Adikmu ini benar-benar tidak beres."

"Sudah, hentikan Hinata," gadis itu menghela napas. "Aku akan bilang ke Miru agar tidak memerintahkan sopir kita untuk menjemput sepulang sekolah karena masing-masing dari kita ada kegiatan. Jadi, kembalilah ke kelas."

"Oke, kalau begitu aku pergi dulu."