webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · อะนิเมะ&มังงะ
Not enough ratings
43 Chs

18

Kertas putih baru saja ditempel pada papan pengumuman, di sebelah papan tulis yang besar berwarna hijau. Seluruh anak-anak di kelas, satu demi satu maju setelah guru mereka mengakhiri sesi pengumuman penting tentang festival yang akan diadakan setelah ujian.

Tujuan mereka ke sana bukan karena ingin melihat nilai-nilai monoton mereka sendiri—dari mereka yang ada di depan sana, sudah cukup menghafal setiap urutan nilai yang tak pernah berubah, sampai akhirnya kali ini mereka lebih penasaran tentang Hinata Hyuuga, berhasil menggeser Ino Yamanaka, membuat seisi kelas tidak percaya, sebaliknya dengan Hinata, dia berjalan keluar dari kelasnya sembari merasakan perut lapar. Ia harus pergi ke kafetaria, Neji tidak sempat membuat sarapan karena bangun kesiangan, dan gadis itu tidak mampu menahan perutnya yang keroncongan.

"Bagaimana bisa dia mengalahkan Ino? Sepintar itukah? Apakah berarti dia sudah pantas tinggal di kelas ini?"

"Meski begitu, aku masih tidak terima dia masuk kelas akselerasi, kudengar peraturannya tidak bisa begitu, dia harusnya memulai dari kelas satu."

"Bisa saja kalau kau sepintar dia."

Di tempat duduknya, Ino melihat daftar nilainya, tidak ada yang berubah—nilai sempurna tanpa sebuah tanda yang diinginkannya—dia tidak pandai matematika dan tidak terlalu pandai sains, tapi dia selalu mendapatkan nilai sempurna. Nilainya seharusnya sama, yang membedakannya adalah tanda 'plus' tidak berada di samping nilainya. Barangkali, hipotesis anak itu lebih ahli, dan Ino mengakui itu. Ia menulis jawaban seperti robot, tidak terlalu lihai untuk merangkai rangkuman penelitian, ia sungguh menyesal dalam hal itu.

Ino sudah tertekan selama ini karena ayahnya masih belum puas, dan ketika dia hari ini mendapatkan urutan kedua, bagaimana reaksi ayahnya? Ino nyaris menggigil karena merasa begitu ketakutan. Protes pasti bakal dilayangkan kepadanya sampai dia kembali mendapatkan urutan pertama. Belajar setiap hari akan terus dipantau atau diberikan jadwal tambahan. Kalau begini, dia mungkin akan benar-benar lelah, dan satu-satunya jalan pintas yang dapat diambilnya hanya tentang kematian.

Dengan embusan napas pasrah, Ino mendorong kursinya ke belakang hingga membuat kaki-kaki kursi bergesekan dengan lantai, dan anak-anak lain mulai memandanginya seolah mereka semua cukup senang dengan kegelisahan yang Ino rasakan.

Gadis berambut pirang itu keluar dari kelas, menyusuri lorong yang tenang tanpa kehadiran anak-anak lain di jam istirahat. Pasti kebanyakan dari mereka pergi ke kafetaria, atau pergi ke taman secara berkelompok hanya untuk pergi makan siang bersama, lalu menggosipkan sesuatu sesama anak perempuan.

Lalu, sebagian lagi dibagi untuk pergi ke lapangan, Neji Hyuuga sedang bertanding basket, Ino juga tertarik kalau menyangkut Neji—dan secara menyebalkannya, dia kakak dari Hinata. Kalau dia ke sana, apakah dia bakal bertemu dengan anak baru itu?

Kemudian Ino berhenti melangkah, ia memutuskan untuk memandangi lapangan yang ramai, mendekati jendela setelah itu, mencoba menonton permainan Neji dari tempatnya berdiri. Meneliti sesaat apakah di setiap kerumunan anak perempuan ada anak itu.

Oh, mata jeli Ino tak menemukan anak itu di mana pun. Ia cukup gembira mengetahuinya, dan bergegas pergi, dengan langkah yang santai pastinya, berharap anak-anak lain tetap tidak tahu, kalau sebenarnya dirinya pun sangat menyukai Neji seperti yang lainnya—menyukai sebagai seorang wanita tentu saja.

Di tengah perjalanan ketika Hinata akan sampai di kafetaria, dia melihat Naru bersama seorang wanita berambut panjang, berpelukan di dekat taman bagian gedung barat. "Aku menyayangimu," kata pemuda itu, Hinata mencari tempat untuk bersembunyi dengan terburu-buru. "Kau tidak harusnya ke sini hanya untuk mengantar bekal," pemuda itu berkata lagi, Hinata masih bersembunyi di deretan pagar tanaman, berjongkok di area sana, dan merasa begitu amat penasaran. "Ada apa?"

"Sebentar, sepertinya tadi ada seorang gadis di belakang sana."

"Gadis? Di mana? Aku tidak lihat."

Kushina berjalan perlahan, kemudian berjongkok di depan Hinata, yang terkejut bukan main. "Ketemu," kata wanita itu penuh senyum gembira. "Kenapa kau bersembunyi?" tanyanya.

Hinata buru-buru bangkit berdiri, mengatur martabatnya, secara tidak sopan menguping itu adalah hal yang tak boleh dilakukan seorang putri seperti dirinya. "Saya sedang mencari barang. Jepit rambut saya hilang," gadis itu berdusta, tampak kentara. "Mungkin ketinggalan di kelas."

"Kau mirip sekali dengan Neji," ujar Kushina.

Kemudian putranya menyela, "Dia adik, Neji, bu," Hinata terkesiap. "Sikapnya bertolak belakang dari Neji," Hinata ingin menyemburkan kemarahannya, tapi apa boleh buat, dia tidak boleh melakukan hal tersebut ketika ada ibu pemuda itu di sini. "Mau apa kau?"

"Aku akan pergi ke kafetaria."

"Kenapa kau malah bersembunyi di sana? Kau menguping?"

"Tidak!" sepertinya ia benar-benar terlalu kentara untuk mencoba menyangkal. "Aku benar-benar ingin ke kafetaria, tapi jepitan rambutku tiba-tiba terjatuh."

"Kau memang aneh," kata Naru, lalu dia berpaling dari Hinata, kembali untuk berbicara dengan sang ibu. "Jangan hiraukan dia, bu, dia memang aneh, bodoh, dan idiot!"

"Kau tidak sopan mengatai seorang gadis seperti itu," Hinata telanjur marah, dan kali ini dia tidak peduli. "Kau masih dendam karena waktu itu?"

"Tidak," Naru menengok ke arah Hinata lagi. "Lagi pula, sebenarnya aku lebih menyesal menolongmu."

"Apakah dia gadis waktu itu?" dengan wajah cemberut dia memandangi ibunya. "Sepulang sekolah, gadis yang membuatmu marah hebat."

"Iya, dia gadis bodoh itu. Aku sarankan ibu jangan dekat-dekat dia."

"Kau tidak boleh kasar," Kushina menahan tawa. "Maaf atas kelakuannya, padahal dia tidak pernah seperti ini."

Naru mulai tidak terima. "Kenapa ibu malah meminta maaf, aku salah apa?"

"Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Ibu!" Naru merengek, mencoba menarik ibunya keluar dari percakapan ini. "Sudahlah, ibu pulang saja, aku akan makan bekalnya, terima kasih sudah datang ke sini untuk mengantarkannya langsung."

Kushina menepuk-nepuk punggung putranya, dan kembali lagi menghadap Hinata. "Maukah kau datang untuk makan malam di rumah kami? Sebentar lagi akan ada acara pesta kecil-kecilan untuk hari pernikahanku,, kuharap kau bisa datang dengan kakakmu, dia sering bermain di rumah bersama Naru, kupikir dia juga akan senang dengan undangan dariku."

"Ibu, mengapa mengajak orang asing ke pesta pernikahanmu!"

"Dia bukan orang asing, dia adik temanmu," Naru memutar bola matanya kesal, dia tidak berharap gadis itu datang ke rumahnya—meski diam-diam ada harapan bahwa mungkin mereka bisa dekat sebagai sesama manusia. "Aku menunggu kedatanganmu."

Sebelum Hinata berhasil menjawab, Kushina sudah buru-buru pergi.