webnovel

Mantra Cinta

Ketika cinta ditolak, dukun bertindak. Kisah petualangan cinta Ganang dan Arumi yang tak kunjung bersatu. Masa lalu menjerat mereka pada hubungan yang rumit. Akankah Ganang dan Arumi dapat bersatu?

D_Poetry · สมัยใหม่
Not enough ratings
21 Chs

Prolog

Ganang berjalan melalui jalan setapak di sekitar pinggiran sungai. Jalannya cukup terjal, membuat kaki harus ekstra hati-hati memillih jalan agar tidak terpeleset, beresiko masuk ke dalam sungai dengan air berwarna kehitaman itu.

Rerumputan basah setinggi betis orang dewasa dilewati Ganang dengan hati-hati. Takut kalau saja terdapat ular atau pun binatang berbisa lainnya yang akan menggigitnya.

Baru kali ini Ganang melewati jalanan ini. Bahkan ia tidak pernah tahu bahwa di daerah ini terdapat sungai berwarna kehitaman dengan jalanan yang terjal bebatuan.

Sebenarnya Ganang ragu untuk menuruti ucapan Aryo, sahabatnya. Namun, hasrat hatinya sungguh tak mampu menunggu lebih lama. Ingin sekali dia mendekati Arumi dengan cara yang baik, melakukan pendekatan pada umumnya. Mengajaknya nonton bioskop bersama, makan malam bersama, atau hanya sekedar menikmati suasana sore di pinggir pantai.

Sikap Arumi yang apatis bahkan anti pati sungguh membuatnya tak sanggup menahan. Ada rasa sakit menusuk-nusuk hatinya ketika tatapan sinis mata Arumi yang indah menghunjam jantungnya. Dia sungguh memikat hati. Laki-laki mana yang tidak akan terpikat akan kecantikannya.

Setelah berjalan sekitar empat puluh lima menit, Ganang berada di penghujung sungai berair kehitaman itu. Di tengah-tengah sungai terdapat pondokan terbuat dari kayu jati tua dengan atap terbuat dari rumbai-rumbai.

Pondok dengan posisi atas mengerucut itu menambah kesan mistis di penglihatan Ganang. Di ujung atap terdapat kepulan asap berbentuk silinder melingkar, membumbung tinggi ke angkasa. Sesuatu yang aneh bagi penglihatan Ganang. Di cuaca panas, tapi basah, sisa-sisa hujan semalam rasanya tidak mungkin menyalakan perapian di dalam pondok sempit dengan satu pintu dan satu jendela yang tertutup.

Ganang menghentikan langkahnya, ragu untuk melanjutkan langkahnya menuju ke sana. Bulu halus di sekitar tengkuknya meremang, membuat Ganang menggosokkan tangan pada tengkuknya. Tanpa menunggu lama, Ganang memutar balik tubuhnya, ingin mengurungkan niat untuk menemui penghuni pondok tersebut.

Namun, hal aneh terjadi padanya. Tubuhnya seolah terpaku pada posisi semula. Kedua kakinya tergerak dengan sendirinya, melangkah kearah jembatan kayu yang hampir putus menuju ke tengah-tengah sungai.

Berkali-kali Ganang menahan kakinya agar tidak melangkah menuju jembatan. Sekuat apa pun ia menahan, tak kuasa melawan dorongan kuat yang seolah memaksanya untuk terus berjalan meniti jembatan kayu itu.

Keringat dingin membasahi pelipis dan keningnya, berusaha sekuat tenaga menahan dorongan mistis yang mengarahkannya menuju pondokan. Akhirnya, Ganang pasrah, mengikuti dorongan yang tak kasat mata seolah mendorong kedua kakinya melangkah melewati titian kayu.

Ganang menundukkan kepala, menatap kakinya yang melangkah melewati kayu yang tadinya terlihat rapuh. Sontak Ganang terkejut bukan kepalang, melihat titian kayu tersebut seolah melayang di atas air. Tubuhnya gemetar menahan rasa takut. Tanpa disadari, kakinya kini telah menapak di lantai bertanah tepat di tengah-tengah sungai berair hitam.

Ganang mengedarkan pandangan ke lingkungan sekitarnya. Bagaimana mungkin di tengah-tengah sungai terdapat sebuah gundukan tanah tepat di bawah pondok misterius yang dilihatnya tadi.

Kedua kaki yang tadinya dirawa berat akibat dorongan yang tak terlihat, kini begitu ringan. Kali ini kedua kakinya bergerak karena keinginan hatinya sendiri, bukan lagi dorongan yang apa pun yang berada di sekeliling Ganang.

Tatapan Ganang terhenti pada pintu pondok yang berada di depannya. Pintu tua terbuat dari kayu jati yang secara asal dipotong kemudian dipaku membentuk pintu. Bangunan pondok yang tampak aneh dengan bentuk tidak simetris di kedua bagian sisinya. Tampak ganjil dan tidak biasa.

Pintu pondok tersebut tiba-tiba terbuka lebar, membuat jantung Ganang berdetak kencang karena terkejut. Aroma asing tercium, menelusuri rongga hidungnya. Aroma basah dan menyengat, tapi sangat asing ditangkap oleh indera penciumannya. Tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam pondokan tersebut. Lagi-lagi kedua kaki Ganang seolah di tarik menuju ke dalam pondok. Ganang menahan kedua kakinya lagi, tapi tak mampu melawannya.

Kini, kedua kakinya telah memasuki pondok misterius. Pintu berdebam, tertutup dengan sendirinya. Ganang menatap takjub isi di dalam pondokan yang tampak kecil dari luar. Siapa yang menyangka bahwa pondok ini ternyata begitu luas, dengan sekat-sekat terbuat dari jerami yang telah dikeringkan.

Di bagian sudut sebelah kirinya terdapat sebuah lemari besar berisikan ratusan bahkan ribuan botol berukuran kecil dengan cairan berbeda warna. Di sudut sebelak kanannya terdapat sebuah dipan terbuat dari kayu beralaskan tikar pandan. Terdapat satu buah meja berukuran rendah tepat di tengah-tengahnya.

Ganang melangkah memasuki ruangan bagian tengah yang begitu luas dan kosong. Kemudian tepat di bagian ujung sisi rumah terdapat sebuah tungku pembakaran dengan api besar. Herannya, tidak dirasakannya hawa panas dari perapian. Hawa ruangan ini cenderung dingin mencekap.

Ganang mendekati tungku pembakaran tersebut, di atasnya terdapat bejana terbuat dari tanah liat berukuran sangat besar, setinggi perut orang dewasa. Di dalamnya terdapat cairan yang meletup-letup dan mengeluarkan aroma. Kini Ganang tahu dari mana aroma asing yang ditangkap indera penciumannya tadi. Karena aroma tersebut kini menguar tajam dari bejana besar tersebut.

Di dalam bejana tersebut terdapat sebuah kayu berwarna-warni. Ganang tidak dapat mengenali dengan baik jenis kayu-kayuan tersebut. Air dalam bejana yang meletup-letup itu berubah warna berkali-kali. Sesaat berubah warna menjadi biru terang, kemudian berubah menjadi hijau, merah, kuning, bahkan menghitam seperti air sungai yang tadi dilewatinya.

"Ehem …." Terdengar suara deheman, membuat Ganang lagi-lagi terlonjak, mundur satu langkah dari tempatnya berdiri.

Dari balik lemari yang berada tepat di sampingnya, muncul seorang lelaki tua berambut putih awut-awutan mengenakan pakaian berbahan dasar kaos dan celana jins belel yang yang sudah berlubang di beberapa bagian.

Pria berpenampilan eksentrik tersebut tersenyum lebar memperlihatkan gigi-giginya yang sebagian telah ompong. Kemudian terkekeh sambil berjalan tertatih-tatih mendekati bejana besar tersebut.

"Sudah puas, liat-liatnya?" tanya si mbah mengambil sebuah kayu panjang berukuran sekitar satu meter yang ujungnya pipih seperti sendok. Kemudian memasukkannya ke dalam bejana. Sesekali tangannya memutar, mengaduk cairan yang berada dalam bejana. Letupan kecil muncul di tengah-tengah bejana.

Ganang menelan ludah, dengan jantung berdebar-debar. Keringat dingin muncul di keningya. "Su-su-sudah, Mbah. Ma-ma-af, s-s-saya tidak sengaja masuk, t-t-tanpa seizin mbah," ucapnya gugup.

Mbah Sukoh, nama pemilik pondok tersebut kembali tertawa terkekeh, panjang dan lama. Kemudian tiba-tiba tawanya hilang seketika. Ganang menatap kearah Mbah Sukoh dengan tatapan menyelidik. Mengapa tiba-tiba tawanya menghilang.

"Ayo kita duduk-duduk di sana," ucap mbah Sukoh setelah meletakkan kayu panjang untuk mengaduk ramuan di atas sebuah meja kecil di sebelah lemari.

Mbah Sukoh berjalan perlahan diikuti oleh Ganang menuju dipan yang terdapat sebuah meja lesehan di atasnya. Langkahnya yang perlahan seolah tak menimbulkan suara yang dapat didengar oleh telinga Ganang.