tak bisa ku lupakan. Kala malam itu dia menatapku dalam senyumnya di tengah ramainya ribuan orang yang ada diantaraku. Akupun tak bisa berpaling dari tatapannya, bukan mataku yang hanya tertuju padanya. Tapi rasa ini, suatu rasa yang entah apa kata tepat untuk mewakilinya. Meski mata ini tak ada dalam pandangannya tapi bibir ini tak bisa berbohong apalagi hati.
Dia begitu manis, begitu nyaman ku rasa sepanjang waktu kala itu, dia bercengkrama dengan para temannya, itu hanyalah pelengkap keadaan saja. iyaa aku tau itu, begitu juga dengan diriku yang tiba - tiba terdiam tak bisa menjawab apa yang teman ku tanyakan, kuping ku ada tapi tidak bisa mendengar, pas giliran ikutan ngomong, sungguh ternyata aku salah tingkah.
Malam kian larut. Tapi hening belum pula menjemput, hatiku kian tak menentu, resah, gundah. Campur aduk menjadi satu, aku ingin tetap berada disini meski ku tau itu tidaklah mungkin, aku ingin dia menyapaku tapi ku tau itu adalah hal yang sangat tidak mungkin. Kalau pun mungkin pasti aku juga bingung, antara iya atau tidak untuk jawabnya.
Tidak butuh waktu lama rasa nyaman itu hadir. Tapi ternyata tidak enak juga merasa di perhatikan, aku jadi merasa tidak bebas dalam ruang pribadi bersama para teman - temanku. Ku rasa itu juga terjadi padanya.
Tiada pertemuan tanpa perpisahan. Tiada perpisahan yang indah.
"Semoga kita masih akan bertemu lagi di kemudian hari" dan dia membalas dengan menyalakan lampu flas nya.
Setelah lama waktu berlalu aku tak sedikitpun bisa melupakannya, "rasanya itu terlalu lebay buat di tulis huh". Namun pada masanya kita bertemu. Sama dalam sebuah majlis sholawat dan kali ini dia berbeda. Sangat berbeda dari waktu dulu, dia tidak lupa padaku. Dia menghampiri ku dan tanpa ragu dia mengucapkan salam "Assllmualaikum" dan dengan cepat ku balas salamnya "Waalaikum sallam". Akupun kini sudah tak segundah waktu itu. Ku coba atur santai nafas ku menunggu dia berbicara.
"Badhe wangsul jam pinten mangke?" begitu tanyanya. Klu dalam bahasa Indonesia itu artinya nanyain ke aku "Mau pulang jam berapa nanti?" ya begitu kira - kira. "Pulang sekarang, pulang sekarang" dua teman ku yang langsung ikut menjawab nya. Tapi enggak lah. Aku jawab nanti nunggu acara selesai saja. Karena tak enak sendiri di pandang banyak orang yang lewat akupun melangkah untuk pergi. Dan dia membiarkannya hanya dengan mengangguk sebagai isyarat bahwa diapun paham dengan keadaan saat ini. Aku pikir dia akan melarang atau mengikutiku dari jauh tapi ternyata tidak.
Siapa sangka keesokan harinya dia datang ke rumah ku. Pastinya aku sangat amat seneng pake banget. Ku persilahkan dia masuk, dia datang bersama satu orang temannya. Mungkin dia malu kalau datang sendiri. Ternyata bukan seperti yang ku bayangkan. Dia itu datang untuk pesan meja belajar buat adik temannya itu. Kecewa aku rasanya, udah bahagia eh.. Gak jadi. Tapi aku gak patah harapan, aku berharap masih akan ada kejutan lainnya di hari yang lain, ku tunggu dengan sabar dengan banyak doa. Hingga akhirnya aku harus kembali ke ponpes tapi dia belum juga datang ke rumahku. Dalam hati " udah lah yaa semua kan udah Allah yang menghendaki" dalam hari - hari aku pasrah. Tiada ku sangka saat acara PenSi dia hadir tanpa ku sadari. Dia datang dengan membawa satu mawar putih. Tapi aku gak mau punya harapan yang lebih, ya kali saja itu bunga bukan untuk diriku. Perlahan dia semakin dekat langkah menuju padaku. Dia menyapaku dengan salam. Suaranya begitu lembut dan sopan. Setelah ku jawab salamnya, eeeh malah keceplosan tanya "kenapa waktu itu kok kakak biarin aku pergi?"
Dia malah balik nanya "yaa emang kenapa?"
"Ya kenapa gak nanyain nama aku kak?"
"Nanyain nama kamu, umur kamu, rumah kamu, emangnya saya ini petugas bikin KTP?". huh mendengar dia ngomong kaya gitu rasanya gemes banget.
"Kamu tau kenapa saya biarin kamu pergi?"
"Mmm iyaa kenapa kak" jawabku dengan cepat, dengan menipuk pundakku pakai bunga mawar yang dia bawa dia berkata
" dalam sebuah hadist mengatakan Jika kau mencintanya biarkan dia pergi. Jika dia kembali, dia adalah jodoh mu.
Romantis bangett yaa kisah di atas itu. Bisa bertemu dengan idola hati adalah dambaan semua orang tentunya, punya karier, kerjaan, rumah mapan, soleh soleha, hidup nya damai ketemu orang dan jatuh hati, kemudian doa untuk jadi jodohnya di ijabah, sungguh bahagia sepertinya. Tapi bukan itu yang kan ku tulis, itu terlalu singkat dan hanya manisnya saja yang terlihat.
Kelap-kelip pelita yang berbahan bakar minyak tanah, menyatu dengan ruang kehangatan yang di dapatkan dari hati yang beriman, lidahnya terus melafadkan keagungan tuhannya ia terus memperbanyak dzikirnya, sejuk nya. Kesegaran udaranya tidak akan pernah di rasakan di kala waktu yang lainnya. Begitu tenang sampai pikiran terasa sangat damai. Kedamaiaannya serasa teresap dalam relung hati. Tidak lah gelap tidak pula terang. Sunyi bukanlah sepi, tak ada kata yang tepat untuk mewakilinya. Mungkin jika di lambangkan. Bisa kau rasa bagaikan ada di tengah sungai yang sangat jernih yang sekelilingnya adalah bunga-bunga nan indah mempesona di sebagiannya lagi terdapat bukit - bukit kecil yang hijau dengan eloknya awan yang mengitarinya. Tapi kata-kata itu pun belum tepat untuknya.
Di remang-remang kegelapan dia bagaikan cahaya bagi yang mencarinya. Di saat waktu masih terselimuti embun dia bagaikan kehangatan mentari bagi yang memerlukannya.
"Dingiiiiinnnyaaaa" kata Fhido yang baru saja keluar rumah. Menuju tempat berwhudlu. "Aaaaaaaa setannnn" katanya sambil menerungkupkan sarung yang hendak dia pakai. Dan langsung berlari,
"Hadehhh itu anak kebiasaan kalau mau masuk bukannya wajahnya di buka malah di tutup pake sarung nya" mbah Sukimin yang keheranan melihat Fidho yang lari ngacir tanpa menengok ke belakang nya. Dan sampai di pintu musholla sudah terlihat ada seorang di dalam. Dia adalah seorang yang senantiasa menunggu waktu untuk sholat berjamaah. Gelap bukan penghalang, dingin bukan rintangan. Meski umurnya Sudah tak lagi muda, tapi semangatnya untuk belajar ba' api yang masih menyala-nyala.
"Eeh cah bagos sudah masuk waktu subuh ya?" tanya mbah Mulyo kepada Fihdo "Haduuh ada setan mbah" ucap Fihdo gemeteran karna dingin. Tapi mbah Mulyo hanya tertawa "Sudah sana ambil wudhu dulu sepertinya waktu subuh sudah segera tiba"
"Baik mbah" ujar Fihdo yang juga segera melangkahkan kakinya.
Adzan pun di kumandangkan, suara termerdu yang mendamaikan hati, seperti biasa sesaat Fihdo selesai dengan Adzannya mbah mulyo yang memulai sholawatan. di antara rona sunyi. Gelap menipis di hadirkan dengan sholawat yang penuh khikmad, dengan suaranya yang apa adanya, sholawatan pun terkadang menjadi berbeda nadanya. Yang penting tidak merubah niatnya.
Asstaghfirrullah robbal baroya
Asstaghfirrullah minal khotoyaRobbi zidni i'lman nafi'aa
Wawa fiqli amalam maqbula
Wawahabli risqon wasi'aa
Watub alaina taubatannasuha
Yaa hannanu yaa mannanu ya dzaiyanu yaa sultonu
Wes subuh podo tangi wuhdu
Wes subuh podo tangi wuhdu
Elingo lan nyembaho mareng dzat paring moho mulyo maring dzat paring moho mulyo
Mumpung eseh urip durung mati
Mumpung eseh urip durung mati
Enggal tobato anggonmu ngabekti
Enggal sregepo anggonmu sholat ngaji.
Seperti itulah sholawat andalannya. Selain karena belum faham sholawat yang lainnya. Tapi sholawat tersebut memiliki arti yang sangat mendalam bagi si pemilik hati yang hidup Sholawat yang sederhana tapi bisa mencangkup banyak perihal yang menyinggung dengan keimanan seseorang. Sholawat tersebut menggunakan bahasa daerah. Dan jika di artikan di dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Sudah subuh, bangunlah, ambilah whudlu, ingatlah, dan sembahlah dzat maha menyayangi. Selagi masih hidup sebelum mati. Segera tobatlah sebagai baktimu. Rajin-rajinlah untuk sholat dan mencari ilmu. Ngaji.
Membahas tentang mati, tidaklah ada yang tau kapan ajal itu akan datang. Berapa banyak orang mati saat mereka tidak sedang sakit, berapa banyak orang mati hanya karena hal sepele, bukankah itu takdir. Dan manusia di beri batasan untuk mengetahui akan hal itu, sebagai manusia kita di wajibkan memiliki aturan, dan meski takdir. Janganlah menyalahi aturan yang sudah di tentukan. Jangan kau kira matinya orang yang terbunuh atau karena teraniaya itu adalah takdir. Dan jika itu takdir, lalu apakah sudah di takdirkan pula bagi si pelaku pembunuh itu?.
Bagitu juga adanya kekisruhan dalam dunia ini, apakah mereka memang terlahir untuk menjadi pengkianat. Inilah yang di maksud dengan NGAJI.
Manusia terlahir ke dunia memang dengan tangan kosong dan telanjang tanpa sehelai benang. Namun Allah berikan bekal kepadanya. Yaitu : raga. Hati. Dan nyawa. Tanpa adanya salah satu dari ketiga tersebut. Bisa di katakan dia bukanlah manusia. Dalam contoh, dia punya raga tapi tak punya nyawa. Itu di sebut dengan mayit, dia ada nyawa tapi tak ada raga. Tentu itu bukan manusia, dan dia punya nyawa juga punya raga tapi tak punya hati, itupun tak bisa di sebut dengan manusia, yang di maksud dalam hal ini adalah Hati, rasa belas kasih terhadap sesama dan semua mahluk yang Allah ciptakan, dan sebagaimana tersebut di dalam hadist "ada satu danging dalam diri setiap manusia. Jika satu daging itu baik, maka baik semuanya. Dan jika daging itu buruk maka buruklah keseluruhannya" begitu yang ku catat. Orang yang berhati hidup mampu mengubah kebodohan menjadi ilmu, sedang hati yang mati bagaikan ikan yang tak bernyawa. Kala hidup dia tak akan terbaur dengan rasa asin meski sepanjang waktunya berada di lautan, sementara jika sudah mati. Sedikit garampun mampu menembus ke daging-dagingnya. Adzan sudah di kumandangkan, beberapa langkah manusia-manusia istimewa mulai hadir, gelap adalah teman setianya namun hati mereka yang menuntun dengan cahaya ilahi. Terdengar merdu di waktu yang sama dan masih juga sama. Suara anak-anak kecil mulai terdengar. Mereka yang sedang berebut untuk menimba air untuk wudhu bersama-sama. Terkadang memang ada yang iseng menakut-nakuti untuk menambah keramaian dan itu adalah hal biasa.
Tapi itu adalah waktu lalu. Kenang mbah Amrip. Mengenang hari yang lalu. Dan kini dia sedang sendiri. Di dekat perapian yang menghangatkan badannya. Air matanya mulai bercucuran, dia sangat merindukan mereka. Mereka yang selalu semangat untuk datang ke musholla, dan kini mereka sudah besar. Sudah tidak lagi datang untuk sholat subuh bersama-sama, ada sebagian yang melanjutkan ke Pondok pesantren ada pula yang merantau.
Dan waktu-waktu itu telah terlewati. Masapun berganti tak lagi sama seperti yang dulu dimana anak-anak kecil yang dulu sangat bersemangat belajarnya untuk menjadi orang yang di utamakan dalam bidang agama, dan kini semangat belajar mereka demi pekerjaan.
Tetesan demi tetesan air mata di usap dengan tanganya yang kasar, keriput kering karna usia. Kenangan hanya tinggal kenangan tak bisa di minta kembali. "Mbah mbah Amrip" panggil Fidho kepada beliau. "Iya Fid tunggu sebentar" jawab mbah Amrip
"Mari mbah kalau mau ambil wudhu saya antar" bujuk Fidho "Soalnya sebentar lagi iqomat mbah" tambahnya lagi "Oh iya mari saya sudah wudhu dari tadi nak Fidho, cuma berasadingin jadi sambil nunggu mbah sukimin dan mbah mulyo sholawat saya bikin perapian dulu nak" jawab mbah Amrip. "Iya mbah pagi ini memang terasa dingin mungin karena sudah mulai musim penghujan ya mbah". "Ya karena saya sudah tua nak, oh iyaa kamu imamnya pagi ini ya nak pidho". "Bukan mbah bapak kan sudah pulang"."Mak! ada ayam mak" teriak Fidho panggil ibunya. "Ayam apa Fid, kamu uruslah mamak sedang bikin api ini nanti masaknya telat mateng" dan Fidho pun menghampiri ibunya "Nie mak ayamnya". "Asstaghfirrullah ayam , ayam. Di kasih makan ya udah malah kaya gini yaa matikan Fid" keluh ibunya, "yaa gimana lagi mak, manusia bisa apa Allah yang memberi nyawa dan yang punya hak juga untuk mengambilnya" Fidho pun langsung terdiam kala melihat bapaknya datang
"Fidho sudah sana mandi nanti keburu kesiangan di jalan biar ibumu masak ayamnya nanti kamu makan lehernya" Fidho pun hanya mengangguk dan melangkah pergi. "Bukan masak ayam pak, ini ayamnya mati tenggelem tadi di ember belakang".keluhnya kepada suami, "Loh kirain mau bawain bekel buat Fidho ke Pesantren mak" jawab suaminya iseng "Istihfar pak istihfar, Fidho itu bukan biawak pak". "Oh iyaa bapak itu suka lupa sekarang, ya sudah terserah kamu saja". Jawabnya dengan santai.
Sementara menunggu masakan matang ibunya Fidho membantu suaminya yang sedang berkemas barang yang hendak di bawanya ke Pesantren. "Kenapa sich pak mukanya seperti itu, udah kaya mau di tinggal Fidho ke luar negeri saja" ucap ibunya Fidho "Iya mak, bapak ini lagi susah lagi bersedih, sangat dan sangat bersedih mak" jawab suaminya yang tambah bikin suasana hening. "Anak kita kan pergi untuk cari ilmu pak, ya kita harus semangat" hiburnya kembali tapi suaminya berkata yang tak terduga "bukan itu mak, yang bikin bapak sedih seperti ini, bapak itu sedih kok kamu jam segini belum minta uwang kepadaku, apa kamu sudah tidak butuh uwang" tanya suaminya. Memang kata-kata itu sengaja untuk menghibur istrinya, karena tiap kali waktu Fidho berpamitan untuk berangkat ke Pesantren pasti kegalauan melanda. Dan ini hanya ingin merubah suasana, karena meski bagaimana pula Kesedihan akan selalu terasa karena perpisahan.