webnovel

Mahesa Arnaf

(CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA) Mahesa Sulaiman Arnaf, seorang pria tampan penyandang disabilitas sensorik ini sudah biasa menerima cacian dan hinaan dari teman sekelas mereka hanya karena kondisinya yang kurang sempurna. Kecerdasan dan kemahiran otaknya yang membawa Mahes masuk ke dalam lingkup cerita orang-orang yang memandang awal manusia dari fisik, pun sebuah takdir yang membawanya menjadi anak baru di salah satu sekolah negeri. Ada banyak romansa klasik yang akhirnya mengundang Balqis -teman sekelasnya, untuk menjadi tameng dari aksi pembullyan sang arogan Dito terhadap Mahes. Walaupun dia bisu, tapi hati dan pikirannya masih tetap berusaha mencari di tempat mana dia harus pergi berlabuh. Berlabuh menemui keluarga, harapan, cita-cita dan..., cintanya. Selamat Membaca~

SitiMaisyaroh2_ · วัยรุ่น
Not enough ratings
297 Chs

Bertemu Ayahnya Balqis

Karena waktu sudah cukup siang, akhirnya aku dan Zaid memutuskan untuk kembali ke yayasan.

Matahari pun semakin menyorot silau ke arah kami. Cuaca di sini memang sudah agak berbeda seperti saat terakhir aku kemari sepuluh tahun yang lalu.

Mungkin karena lahan-lahan kosong yang dulu masih ada sekarang sudah digantikan dengan bangunan, membuat suasana di sini agak sedikit gersang.

Agak sih.

Tapi belakang Yayasan masih tetap sama. Asri dan hijau karena para pengurus di sini sengaja menjaganya agar keindahan alamnya tak terhapus oleh waktu.

"By the way kita mau pulang kapan?" tanya Mahes.

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya aku juga agak bingung kalau ditanya pertanyaan seperti ini.

Bukannya aku tak bisa menjawab, justru aku tak tahu harus menjelaskannya seperti apa.

"Sore ini?"

"Ah engga." tandasku. "Aku nggak bisa sebentar kalau di sini. Masih kangen."

"Jujur aku juga masih kangen sih." serunya. "Tapi mending gini aja. Aku suruh para pengurus lain buat pulang sama anak-anak dan kita di sini dulu untuk beberapa hari."

"Emang bisa?" tanyaku agak ragu.

"Bisa. Itu mah gampang. Biar aku yang urus. Pokoknya kamu tenang aja."

Kita kembali berjalan di pinggiran kota yang begitu indah dengan segala keadaan di dalamnya.

Kendaraan sudah biasa berlalu-lalang di sini. Suaranya pun seperti sudah menjadi nada dering dan nada pengantar tidur karena tidak ada kota yang tidak ada kendaraan.

Aku menikmati semuanya bahwa masih ada yang kurang.

Tidak apa.

Aku yakin yang pergi pasti akan kembali. Walaupun mungkin tidak untuk bersama, tapi setidaknya kami masih bisa bertemu.

"Eh, Mahes!" Zaid tiba-tiba menahan tanganku. "Itu coba lihat!" dia menunjuk seorang pria yang sepertinya sedang dipalak oleh dua orang pria berjaket hitam di ujung sana.

Tanpa perlu berpikir panjang lagi, aku seketika berlari menghampiri orang itu untuk menolongnya. Tak peduli resiko yang akan aku hadapi nanti yang terpenting aku harus membantu pria itu.

Zaid mengikutiku dari belakang dan aku sama sekali tak menggubris ucapannya.

Benar saja penglihatanku tadi.

Bapak ini sedang dipalak uang dan kunci mobil tapi aku segera menghentikan aksi keduanya.

Salah satu dari mereka ada yang membawa senjata tajam.

Tapi alhamdulilah.

Allah masih melindungiku dengan sedikit kekuatan yang aku miliki untuk bisa melepaskan senjata itu dari tangan mereka.

Ketika pisaunya jatuh, lantas kulemparkan benda itu ke dalam selokan yang tinggi dan airnya cukup deras.

Mereka ketakutan lalu melemparkan barang-barang yang yang tadi ia palak.

Cukup sengit sebenarnya perkelahian aku dan keduanya. Hingga ketika kedua orang itu sudah pergi, aku mendapati bapak-bapak ini terduduk karena dia merasa lemas.

Sementara itu ketika aku berhadapan dengan keduanya, Zaid berusaha menenangkan sang bapak karena dia merasa lelah sudah berusaha membela dirinya sendiri.

"Bapak tidak apa-apa?" tanyaku kemudian sambil berhadapan dengannya.

Pria itu mendongakkan kepalanya.

Ketika melihat wajah beliau, aku seketika tertegun. Tubuhku membeku sesaat dan bibir terasa kelu.

Beliau juga terdiam dan sama-sama terkejut.

"P-pak Nanda?" gumamku pelan.

"M-mahesa?" ujarnya meyakinkan ku.

Aku mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya Mahes."

Beliau tersenyum kemudian memelukku dengan erat. "Ya Allah. Kamu sekarang sudah bisa bicara, Nak. Alhamdulillah."

Aku mengangguk sambil menciumi punggung tangannya berulang kali. "Iya, Pak. Semuanya karena bantuan dari bapak juga. Terima kasih banyak. Saya nggak tahu bisa membalasnya dengan apa. Tapi saya akan selalu berdoa sama Allah semoga Bapak selalu sehat dan panjang umurnya."

"Aamiin...." beliau mengelus kepalaku dengan mata berkaca-kaca.

Zaid menatapku kebingungan.

Aku lantas mengusap air mata kemudian mengenalkan beliau kepadanya.

"Ini, Zaid. Beliau adalah pak Nanda. Ayahnya Balqis sekaligus orang yang sudah membantu aku agar bisa bersuara."

Zaid terperangah. "Serius?"

"Iya."

"Masya Allah pak." dia juga ikut mencium punggung tangannya. "Terima kasih banyak sudah membantu teman saya. Bapak orang yang sangat baik dan perhatian sekali. Terima kasih sekali lagi. Saya enggak tahu harus berbuat apa agar bisa membalas semua kebaikan bapak terhadap teman saya."

Beliau mengelus punggung Zaid. "Engga ada yang perlu dibalas. Lagipula Mahesa bisa berbicara karena sudah takdir dari Allah. Bapak di sini hanya sekedar perantara. Toh yang sudah mengembalikan suara kamu itu Allah."

"Iya pak. Hati bapak begitu mulia sekali." tambahku.

"Bapak juga makasih banyak karena kalian berdua sudah menolong bapak dari dua orang tadi. Bapak nggak tahu kalau nggak ada kalian, mungkin bapak kayak gimana sekarang."

"Semuanya sudah kehendak Allah. Saya senang banget bisa kembali ketemu sama bapak."

"Iya." serunya. "Padahal hampir setiap hari Bapak ngelewat lho ke yayasan. Tapi bapak nggak pernah lihat kamu. Ini Zaid kan?"

Dia mengangguk.

"Bapak juga nggak lihat kamu. Emangnya kalian berdua kemana?"

"Kami ditugaskan buat jadi pengurus di cabang Yayasan Bunda Kasih." jelas Zaid. "Dan udah sepuluh tahun kami baru lagi ke sini, pak."

"Oh pantas saja." beliau mengangguk paham. "Gimana sekarang keadaannya sehat?"

"Alhamdulillah, pak." jawab aku dan Zaid bersamaan. "Kalau bapak?"

Beliau tertawa. "Ah. Yang namanya sudah tua ya gini. Kadang sehat kadang sakit-sakitan. Biasalah sakit sehatnya tua kan kayak gitu rata-rata. Nggak bisa kita pastiin mau sehat seratus persen."

Aku tersenyum.

"Sekarang kita bisa bilang sehat, tapi kita nggak tahu kan besok gimana. Bisa aja meninggal."

"Aduh pak jangan bilang gitu." seruku. "Saya selalu mendoakan yang terbaik buat Bapak. Bapak ini orang yang berhati baik dan mulia sekali. Jadi Bapak harus selalu sehat dan jangan berpikir buruk."

Pak Nanda menganggukkan kepalanya.

"Kamu berdua juga anak yang kuat, nak. Bapak sangat bangga bisa mengenal kalian. Tak terasa ya waktu berlalu begitu cepat. Bapak waktu itu lihat kamu dan Zaid masih kecil-kecil. Lucu. Dan sekarang kan sudah besar, sudah gagah dan tampan sekali. Bapak sangat menaruh harap banyak pada kalian agar bisa menjaga yayasan dengan sepenuh hati."

"Aamiin pak. Terima kasih banyak." aku begitu senang kalau ada orang yang mendoakanku sampai seperti itu.

Sebenarnya aku sangat ingin sekali menanyakan sesuatu hal kepada Pak Nanda.

Tapi aku terlalu malu dan ragu untuk mengutarakan itu semua.

"Pak. Kalau boleh tahu Balqis sekarang di mana?" tanya Zaid tiba-tiba yang seketika membuatku bernafas lega.

Oh Ya Allah. Untung saja Zaid bisa mewakilkan pertanyaanku ini.

Pak Nanda tersenyum. "Dia abis pulang dari luar negeri, terus kerja di luar kota."

"Oh..., belum pulang?" tanyanya lagi sementara aku diam.

"Belum. Dia terakhir pulang dua tahun yang lalu."

Cerita tentang Bu Anita atas kedatangan dia dua tahun yang lalu seketika teringat di kepalaku.

"Sebenarnya Bapak udah minta dia pulang akhir-akhir ini. Cuma karena Balqis anaknya pegiat kerja, jadi dia masih mengulur-ngulur waktu."

"Jadi Bapak nggak tahu Balqis ke sininya kapan?"

"Kurang tahu pastinya kapan. Tapi kayaknya antara seminggu atau dua minggu lagi dia bilang mau ke sini. Kemarin habis teleponan."

...