Beranjak dari tempat duduknya, "Kak Ardi mau ke dalam dulu, Ingat apa yang kakak katakan sebelumnya, Itu memang mood orang yang lagi hamil, terlebih Rino pasti seperti itu karena dia adalah seorang pria" Dielusnya surai hitam Randa kemudian pergi.
Memandang kepergian Ardi, Ia hanya diam saja, Tidak menanggapi. Namun pikirannya terus berjalan, "Mungkin yang diomongin Kak Ardi ada benernya" Monolognya.
Saat menoleh lagi ke sebelahnya, Randa hampir serangan jantung waktu Lintang tau-tau sudah duduk di sampingnya.
Randa mengumpat, "Setan Lo! Main ngagetin! Ngapain Lo di sini, Sono pergi!" Usirnya.
Lintang memutar matanya, "Harusnya itu gue yang nyuruh Lo pergi, Ini kan rumah gue!" Balasnya tak mau kalah.
Randa berkata-kata pedas, "Tapi kan gue yang duluan duduk di sini, Jadi Lo yang seharusnya minggat!"
Malas membalasnya, Ekspresi Lintang berubah serius, "Lo percaya apa yang Mas Ardi omongin?" Menatapnya sebentar remaja itu, Randa bisu di tempatnya.
Rasa percayanya lebih besar daripada ragu. Ranti adalah wanita cantik menurutnya, Randa tidak heran jika Ardi mencintai kakak iparnya sendiri sampai saat ini.
Randa, "Percaya sih, Emangnya kenapa?" Tanyanya balik.
Sekilas Lintang berdengus pelan, "Gak, Gue juga baru tau"
Randa curiga, "Sejak kapan Lo nguping?"
Lintang, "Kebetulan lewat" Jawabnya asal.
Yang sebenarnya adalah Lintang bersamaan Ardi saat keluar rumah. Dia jenuh bila harus di rumahnya sendiri tanpa diperbolehkan menjenguk Rino di kamar kakaknya. Tetapi ia sadar bahwa Ardi kembali lagi ke rumah dan keluar bersama sebotol minuman di tangannya.
Terus memperhatikan sang kakak hingga kedua keningnya berkerut melihat Ardi berhenti lalu memberikan minuman tersebut kepada Randa yang Lintang baru sadari ternyata sudah lebih dulu duduk di sana.
Mencibir, Randa kembali fokus memperhatikan mobil ataupun motor lewat lubang sela-sela pagar.
"Gue benci sama Lo" Bersamaan mereka berucap. Lintang dan Randa saling tatap, Mendengus keduanya membuang muka.
Berbalik arah, Lantas yang lebih tua bertanya, "Apa alasan Lo benci sama gue?"
Randa, "Jawab gak ya..." Membuat pose berpikir.
Lintang, "Ck! Jawab napa!" Desaknya.
Randa, "Iya-iya kepo! Pertama tuh gue gak suka cara Lo natap Abang gue"
Dahi Lintang berkerut, "Gue liat dia gimana?"
Randa mencibir, "Tatapan Lo mirip kayak mau nelanjangi Abang gue!"
Lintang menyeringai, "Gue kan suka sama Rino, Ya... Walaupun dulu gue belum nyadar aja" Jelasnya enteng, "Terus yang kedua gegara apa?" Sambungnya penasaran.
Yang lebih muda menghela nafasnya, "Kedua setelah gue tau dari Bang Rino kalau Lo suka ngebully dia!" Ungkapnya memberikan Lintang lirikan penuh benci.
Ditatap demikian, Lintang meringis menggaruk tengkuknya, "Sorry, Tapi itu kan dulu kalo sekarang gue cinta sama dia" Jawabnya bersungguh-sungguh.
Tanpa menatapnya Randa menaikkan bibir atasnya, Menyinyir, "Kena karma ya gitu, Lo ama Dina sama aja, Sama-sama suka ngebully. Tuh adik sepupu Lo dulu juga pernah ngebully teman sekelas kita yang cupu, Tapi ujung-ujungnya mereka malah jadian"
Lintang, "Itu kan dia, Gue beda" Bantahnya tidak terima, Enak saja menyamakannya dengan adik sepupu cerewetnya itu.
Randa menyanggah, "Cih, Beda apaan!"
Lintang pun menjawab, "Dina sama cowoknya kan jadian, Lah gue? Yang ada Arwin yang bakal nikahin dia" Kesalnya.
Randa tertawa, "Kenapa bukan Lo aja yang merkosa Abang gue waktu itu?"
Lintang, "Karena gue gak mau nyakitin orang yang gue sayang"
Sebuah senyum tulus Randa perlihatkan untuk pertama kalinya di depan Lintang, Ia menaik turunkan alisnya menggoda, "Gue salut sama Lo" Pujinya.
Bagai patung, Lintang terpaku menyaksikan senyum remaja tersebut. Segera setelah itu ia menggeleng ribut kemudian mendongak sombong,"Gue gitu!"
Randa, "Dih narsis!" Ejeknya dan tertawa lepas.
Lintang "Kita damai?" Ia mengulurkan tangannya kepada remaja sawo matang disampingnya.
Diliriknya yang lebih tinggi, Berdecih seketika, "Ogah!" Kemudian lari masuk kedalam rumah.
Ujung bibir Lintang terangkat samar lalu turut tergelak pelan, "Gila!" Umpatnya sambil menggeleng kepala.
***
Arwin gelagapan, "Itu karena..."
Rino, "Karena apa?" Tuntut remaja hamil tersebut. Tidak sadar jika telapak tangan Arwin masih menempel di perutnya.
Garuk-garuk kepala, Arwin akhirnya menjawab, "Gu-gue cemburu"
Ia terbelalak tak percaya, "Apa yang Kakak katakan barusan?" Ia ingin mendengar lebih jelas.
Arwin berdecak, "Gue cemburu! Puas?"
Namun yang ada Rino malah membisu.
Arwin, "Kenapa diem? Mana tanggapan Lo?"
Rino, "I-itu berarti... Kakak suka denganku?" Ucapnya ragu-ragu.
Arwin mengulum bibirnya, "Gue masih ragu, Mungkin gue perhatian sama Lo gegara benih gue diperut Lo itu"
Mendengar ucapannya, Manik Rino berembun dan juga perih disaat yang bersamaan. Dia menoleh ke arah lain, "Ooh" Sambil menggigit bibirnya berusaha menahan tangis. Setelah banyak waktu yang mereka lalui rupanya hanya dia saja yang merasa bahagia, Pria ini hanya bersimpati pada bayi di perutnya.
Tubuhnya direngkuh dari atas, Rino terkejut, "Gak usah sedih, Bentar lagi kita bakalan nikah jadi kasih gue kesempatan buat belajar cinta sama Lo, Gue ini bandel terus keras kepala, Jadi harus tegas sama gue, Jangan letoy" Arwin menghadiahi kecupan di pipi kanan Rino sebelum melepas pelukannya dan kembali duduk.
Bukannya bahagia, Rino menangis sejadi-jadinya dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan.
Arwin frustasi, "Ah! Sebel ngomong sama orang bunting! Bawaannya bikin stres!" Lalu berbaring di sebelah Rino, "Gue salah apa lagi?" Tanyanya berusaha melembutkan nada bicaranya.
Sesenggukan, Rino langsung memeluknya, "Aku senang..." Hanya itu yang diucapkannya, Kepalanya ia pindahkan ke dada Arwin dengan posisi membelakangi.
Rino, "Kak Win, Sejak melihat kakak saat masa MOS di hari pertama, Rino jatuh cinta pada Kakak, 1 tahun Aku memendamnya hingga naik kelas 2 Rino memutuskan untuk menyatakan perasaanku pada kakak walau Kak Win selalu cuek dan menganggapku sebagai mainan, Yang Rino rasakan saat itu hanya kecewa namun untuk cinta, Tak pernah sekalipun luntur" Ungkapnya tak diduga oleh Arwin, Dia diam dan terus mendengarkan.
"Waktu kakak menciumku untuk kedua kali di toilet itu, Perasaan Rino campur aduk, Ada rasa bahagia yang pasti ada dan ada pula rasa kecewa karena setelahnya Rino tahu dari anak-anak sekolah jika kakak baru saja putus dengan Sinta, Dari situ Rino menebak jika kakak pasti butuh pelampiasan, Orang itu pastilah Rino sendiri" Sambung Rino.
Arwin menyela, "Napa Lo gak mutusin gue? Lo itu pinter, ganteng, terus tinggi, Banyak kok yang mau jadian sama Lo, Tuh Adek gue ampe naksir berat" Pujinya tiba-tiba, Wajah Rino memerah.
Rino, "Tapi kalau cuma Kakak yang mengisi hatiku, Rino harus cari siapa lagi?"
Arwin, "Makasih udah sabar punya cowok kayak gue, Gue gak janji tapi setelah kita nikah gue bakal usahain cinta buat Lo"
Lalu mendadak ia merasa jikalau jas pengantinnya basah, Arwin menghembuskan nafasnya, "Jangan nangis mulu!"
Rino tidak menjawabnya, "Cinta Kakak, Tuan playboy" Lanjut membenamkan mukanya lebih dalam ke garis lengkung di tengah-tengah dada Arwin.
Arwin terkekeh, "Buat sekarang cinta gue mungkin cuman setengah, Tapi kedepannya gue gak tau" Dielusnya surai hitam remaja yang tengah mengandung anaknya. Kejadian tadi membuatnya sadar bahwa Rino memang benar hamil anaknya, Juga dari bentuk perut remaja itulah keyakinannya bertambah.
Suara perut keroncongan mengagetkan Rino, Ia bangkit lalu memandang penuh tanya kepada Arwin yang nampak meringis malu.
Rino, "Kakak lapar?"
Arwin, "Mungkin, Dan... Gue cuma pengen makan satu menu sekarang" Matanya turun ke baju miliknya yang tengah dipakai Rino.
Rino bertanya polos, "Menu apa kak? kalau Rino bisa nanti Rino buatin" Tawarnya.
Geleng kepala, Arwin mengulas senyum miring, Dengan nakalnya menyusupkan jari-jarinya lewat bagian bawah baju Rino.
Rino panik, "Kak!" Tangan yang hendak masuk lebih jauh tersebut dicegahnya.
Arwin memiringkan kepalanya, "Kenapa? Katanya mau buatin, Udah ada di depan gue jadi gak perlu Lo buatin segala"
Si remaja yang tengah hamil 3 Minggu semakin gelagapan, "Na-nanti Rino buatin makanan aja kak!" Demi apapun ia masih sedikit trauma akan kejadian pemerkosaan lalu.
Tertawa renyah, Arwin menarik tangannya keluar, "Hahaha... Gue bercanda kali" Segera Rino bernafas lega.