Pak Kliwon dan istrinya sudah kembali ke kamar, sedang Airin dan Haikal pergi ke gudang penyimpanan barang-barang yang belum sempat mereka susun. Diterangi cahaya lampu petromaks yang tadi dinyalakan Pak Kliwon. Lukisan-lukisan, mesin jahit, berbagai mainan Elang, dan beberapa perkakas lainnya tampak bersusun sembarang dalam gudang.
"Lihat lukisan ini. Kamu masih ingat bagaimana aku mendapatkannya?" tanya Haikal saat Airin membersihkan debu di lukisan kolam darah dan ikan piranha. Wanita itu melirik sekilas.
"Hasil berburu di lelang musium dua tahun lalu. Aku hampir batal menikah denganmu gara-gara cemburu dengan lukisan itu," jawab Airin. Haikal terkekeh, ia kembali memandangi lukisan wanita cantik dengan pakaian Korea.
Dua puluh lukisan sudah mereka bersihkan dalam waktu satu jam. Bermacam gambar seperti kelinci tanpa gigi, boneka tak bertangan, mobil ringsek, wanita hamil botol, kolam darah dengan ikan piranha, hantu wanita cantik korea, dan banyak lagi yang lain. Sekarang giliran untuk memajangnya di dinding rumah. Lukisan dipindahkan ke ruang tengah agar mudah memilah tempat yang sesuai. Lampu petromaks turut pula berpindah tempat.
Dimulai dengan ruang tamu yang dihiasi enam lukisan. Suara palu tokok-menokok memenuhi suasana malam, bersahutan dengan lolongan anjing di luar sana. Dapur mendapat jatah dua lukisan, dipajang di dekat meja makan. Tersisa satu lukisan lagi.
"Rumah ini lebih kecil dari tempat tinggal kita di Kota Bengkulu," keluh Haikal.
"Bukan rumahnya yang kecil, tapi Mas sendiri yang menambah lukisan tepat saat kita akan pindah ke sini," cetus Airin. Haikal bergeming. Tak mau terpancing mengomentari perkataan istrinya.
"Gimana kalau kita jual saja? Bukannya Pak Heru juga menginginkan lukisan ini kemarin?" usul Airin dengan wajah berbinar.
"Gak! Aku tak mau menjualnya. Lukisan ini memiliki seni yang tinggi, Ay," tampik lelaki itu, sedikit emosi. Akhirnya ia terpancing juga untuk marah.
"Cuma gambar wanita gak ada mata, Mas. Ay bahkan bisa bikin yang lebih bagus," tandas Airin.
"Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk lukisan ini," tukas Haikal.
"Hobi bukan hanya menghabiskan uang, Mas, tapi juga bisa menghabisi nyawa. Kita sekeluarga bisa mati kalau kamu beli lukisan terus." Airin mengomel.
"Yang penting aku gak main perempuan. Pokoknya lukisan ini jangan dijual. Mas akan pajang di dinding dekat tangga menuju kamar Bapak dan Ibu." Haikal meninggalkan istrinya yang memberengut.
"Terserah!" gumam Airin. Dia menyambar senter di atas meja kemudian bergerak ke dapur. Minum teh mungkin dapat melegakan perasaan yang bergejolak.
"Ay, bantu aku!" pekik lelaki itu. Airin tak mau peduli. Dia malas kalau ujung-ujungnya bakalan ribut lagi. Lebih baik mendamaikan diri dulu.
Suara ketukan palu masih terdengar, Airin sedang menikmati teh racikannya sambil menggigit keripik perut punai. Rasa manis dari gula merah keripik tersebut berpadu dengan teh yang sengaja dibuat tawar.
Aroma melati mendadak menguar lagi. Airin mendekatkan gelas teh ke hidung. Jelas minuman ini tidak mengandung melati, lalu dari mana aroma itu berasal? Tengkuk wanita penyuka warna biru ini meremang. Seperti ada angin yang bertiup ke sana.
"Kamu gak bikinin aku minum?" Haikal menyusul ke dapur. Membuyarkan pikiran kalut dalam benak sang istri.
"Eh, Mas cium bau melati, gak?"
Haikal mengendus-enduskan hidung, lalu menggeleng. Lampu petromaks diletakkannya di atas meja makan.
"Kenapa emang?" tanya Haikal bingung. Airin menggeleng sambil mematikan senter, sebab cahaya lampu petromaks sudah cukup terang.
"Gak pa-pa, lupain aja. Ehm, kamu mau dibikinin teh apa kopi?" tawar Airin.
"Teh aja, jangan kemanisan," pinta lelaki itu.
Airin lekas membuka termos, memindahkan air hangat ke dalam cangkir enamel yang berisi teh celup. Gula satu pertiga sendok dicemplungkan lalu diaduk. Dirasa cukup, gelas diletakkan di hadapan Haikal.
"Terima kasih, Sayang. Kamu memang yang terbaik. Makasih juga udah bantuin nopang lukisan tanpa mata. Asli, berat banget lukisannya," ucap Haikal yang membuat Airin menganga.
Bantuin kamu nopang tulisan? gumam Airin dalam hati. Mana mungkin? Sejak tadi aku di sini.
Baru saja hendak menanyakan kembali pada suaminya, Airin mendengar tangisan Elang. Dengan terburu-buru, ia mengambil senter, lalu lari ke kamar. Sampai menabrak Bik Nuri yang tiba-tiba keluar dari kamar.
"Aduh!" Airin jatuh terduduk, sedang senter terpental dan terburai. Tangannya memegangi tulang kering yang terasa sekali sakitnya dibanding bagian tubuh lain. Bik Nuri juga terlihat meringis. Haikal ingin membantu, tetapi ditepis Airin.
"Liatin Elang aja, Mas," jawabnya lemah. Airin bersandar di dinding, berusaha menetralkan napas yang masih naik-turun. Beberapa kali menelan liur untuk membasahi tenggorokan yang kering. Perlahan, rasa iba muncul ketika melihat wanita paruh baya di hadapannya tertunduk.
"Bibik kenapa tiba-tiba keluar dari kamar?" selidik Airin.
"Tadi ... Bibik mau panggil Bu Airin, sebab Elang bangun dan gak mau sama Bibik," jawabnya.
Airin melihat sorot mata dan raut ketakutan diwl wajah Bik Nuri. Namun, mungkin itu hanya perasaannya saja. Segera ditepisnya dugaan itu.
"Bibik apanya yang sakit?" Airin merasa bersalah, lalu memeriksa keadaan wanita itu.
"Bibik gak pa-pa, Bu."
"Yaudah, Bibik silakan istirahat. Maaf tadi Ay udah nabrak Bibik."
"Gak pa-pa, Bu. Bibik permisi," ucap Bik Nuri kemudian berlalu.
Airin meraih baterai dan kepala senter yang terpisah dengan bagian badan. Beberapa menit kemudian mencoba berdiri, kakinya sedikit pincang saat berjalan ke kamar. Elang tampak sudah kembali tidur dalam pelukan ayahnya. Syukurlah, wanita itu lega dan bisa membaringkan tubuhnya ke kasur.
***
Airin terjaga ketika mendengar suara kucing mengeong-ngeong. Tak biasanya hewan peliharaan keluarga ini bikin ribut. Sambil mengucek-ngucek mata, wanita penyayang hewan ini perlahan duduk. Netranya menatap jam yang dipajang persis di dinding sebelah kiri.
Sekarang masih pukul 02.30. Mungkin kucing yang biasa dipanggil Mendung —karena bulu-bulunya berwana abu-abu dan berwajah gelap—menemukan tikus dan itu membuatnya heboh. Airin hendak membaringkan tubuhnya kembali, tetapi Mendung terus menjerit. Tak tahan, akhirnya wanita itu beringsut turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar.
"Mendung ...." Airin memanggil kucing jenis persia himalaya yang mengeong di bawah tangga. Kucing itu menoleh, tetapi kembali mengeong.
"Hei, Mendung ... sini!" Airin meletakkan senter ke atas meja, lalu meraih dalam dekapan. Kucing itu mendadak diam.
"Kamu lihat tikus, ya? Duh, gak bagus buat badan kamu." Airin mengajak kucingnya mengobrol seraya membelai bulu-bulu halus hewan tersebut.
"Nih, makan ini aja. Gak usah makan tikus, ya!" Airin mengambil makanan khusus kucing dalam laci meja, lalu menumpahkan makanan tersebut ke dalam wadah dan mendekatkannya ke mulut hewan itu. Namun, Mendung bergeming. Tak mau makan meski sudah dibujuk.
"Mendung, kamu kenapa?"
Airin membalik posisi kucing itu, hingga mereka bertatapan.
"Aaah!!"
Airin menjerit panjang saat melihat mata hewan peliharaannya berubah menjadi merah menyala. Kucing itu dilepasnya begitu saja hingga tubuhnya terbanting ke lantai.
Meoong ....
Airin mundur selangkah saat Mendung maju ke arahnya. Kucing itu mendadak mengerikan. Bulu-bulunya berdiri seperti landak, matanya merah dan meneteskan darah. Suaranya juga membuat bulu kuduk merinding.
"Me-Mendung? Kamu kenapa?" tanya Airin sedang hewan itu terus mendesaknya mundur.