webnovel

LOVE WITH [ OUT ] LOGIC

Judul Sebelumnya: Ranu-Bhiru / Mencuri Hatimu diganti menjadi LOVE WITH [ OUT ] LOGIC ** Bhiru Alodya Teng gadis ceria yang sedang semangat-semangatnya ingin menikah dengan tunangannya, Langit. Hingga Bhiru harus kerja keras demi mewujudkan konsep pernikahan idamannya. Namun di sisi lain masa lalunya yang kurang beruntung di masa remaja membuat impiannya terancam pupus. ** Ranu Tama, lelaki tampan namun dingin pernah dijebak dalam sebuah skandal pemerkosaan 10 tahun yang lalu yang membuatnya dipermalukan dan mendekam di penjara. Tak hanya itu, ia pun harus merasakan dibuang oleh keluarganya dan kehilangan posisi sebagai putra mahkota dalam perusahaan besar milik keluarganya. Namun diam-diam ia sedang berusaha menyelidiki dan akan membalas dendam kepada para pelakunya.

OctoSunday · สมัยใหม่
Not enough ratings
28 Chs

Sengaja Ya Pak?

"Jangan lupa nanti malam ke apartemen aku ya. Love you, Sayang." Sebelum pergi Kania mendaratkan ciuman singkatnya di bibir pak Ranu yang bahkan membalas dengan hangat pun tidak.

"OK." Pak Ranu yang sama sekali tidak mau turun dari mobil untuk mengantar, menjawab singkat, padat dan jelas.

Sementara di jok belakang, Bhiru mengulum senyum geli sambil pura-pura tidak memperhatikannya dengan asyik bermain game 'cacing' di gawainya.

Beberapa saat kemudian setelah Kania meninggalkan mereka, pak Ranu belum juga menjalankan kemudi mobilnya.

Awalnya Bhiru membiarkan saja, mengira pak Ranu sepertinya ingin melihat kegiatan pemotretan Kania dari jauh. Tapi lama-lama ia gemas juga dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "masih lama nunggunya, pak?"

"Harusnya sih nggak. Tapi kamu nggak sadar-sadar juga!"

Hah! Bhiru tersentak kaget. Jadi dari tadi pak Ranu itu sedang menunggunya?

"Pindah ke depan!" perintahnya dengan sewot.

"Maaf pak maaf!" Bhiru bergegas keluar dari mobil dan pindah ke kursi depan. Bhiru baru ingat kalau pak Ranu paling tidak suka jika bawahannya duduk di belakang dan membuatnya terlihat seperti seorang supir taksi online.

"Maaf ya pak. Harusnya bapak bilang dong dari tadi." Bhiru sekali lagi mengucapkan maaf sambil nyengir lebar menatap wajah kecut pak Ranu yang akhirnya menginjak pedal gas mobilnya.

Dalam perjalanan yang hening, gawai Bhiru tiba-tiba berdering. Bhiru yang sempat kaget, senyumnya merekah lebar.

Dari Langit.

Akhirnya Langit menghubunginya juga. Bhiru mengangkat dengan senang.

"Hallo, Sayang." Bhiru sengaja menirukan gaya Kania dan ulahnya itu membuat pak Ranu melirik dan merasa Bhiru sedang mengejeknya.

"Kamu lagi di mana? Kenapa sebelumnya nggak bilang-bilang hari ini mau nyobain baju?" suara Langit terdengar kesal karena untuk hal sepenting itu Bhiru tidak memberi tahunya lebih dulu.

"Pulang kantor nanti jemput aku ya. Nanti aku ceritakan, OK?" Bhiru sengaja berbisik tak ingin pak Ranu mengupingnya.

Tapi entah kenapa pak Ranu tiba-tiba batuk-batuk dan suaranya terdengar hingga ke telinga Langit.

"Kamu lagi sama siapa, Bhi?" Langit langsung curiga.

Bhiru menepuk keningnya, lalu melirik pak Ranu dengan kesal. Entah mengapa Bhiru merasa pak Ranu sengaja melakukannya. Tapi bosnya itu memasang wajah datarnya seperti biasa.

"Mmm…sama pak Ranu. Habis meeting di luar."

"Ooh…Belakangan ini kamu sering banget ya keluar sama dia?" Langit menyindir membuat Bhiru yakin kalau kekesalan Langit yang sebelumnya semakin bertambah gara-gara hari ini. Salahnya juga karena terlalu jujur.

"Nggak sering lah. Kamu jangan mengada-ada deh." Bhiru tak lagi berbisik. Ia sudah tak peduli pak Ranu akan mendengarnya. Kesal rasanya.

"Oh ya? Jadi mana yang benar? Pergi meeting atau pergi nyobain gaun pengantin? Kamu mau nikah sama aku atau sama dia, Bhi?"

"Astaga! Kamu salah paham, Langiiiit! Nggak seperti dugaan kamu. Makanya nanti kalau ketemu aku ceritain semuanya." Bhiru mengakhiri pembicaraannya dengan Langit secara sepihak.

Menghela nafas kesal, Bhiru melirik pak Ranu yang tampak tenang-tenang saja mengemudi mobilnya.

"Bapak sengaja batuk ya tadi?" tukas Bhiru kesal. Gara-gara suara batuknya, Langit jadi salah paham dan semakin kesal padanya.

Tapi pak Ranu seperti pura-pura tidak mendengar tuduhannya dan membiarkan Bhiru melanjutkan percekcokan dengan tunangannya melalui chat yang panjang hingga berbaris-baris.

Sedang kesal dengan kecemburuan Langit, Bhiru dikejutkan dengan pak Ranu yang tiba-tiba menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah minimarket.

"Kenapa berhenti, Pak?"

"Tenggorokan saya kering, tolong belikan saya air mineral dan permen pelega tenggorokan." Pak Ranu menyerahkan selebar uang berwarna merah pada Bhiru yang masih bengong menatapnya. "Tunggu apa lagi?!"

"Iya, bapaaaak..." Bhiru mengambil uang itu lalu keluar dari mobil menuju ke minimarket.

Ketika Bhiru hendak mencapai pintu minimarket, tiba-tiba ia dikejutkan dengan seseorang yang mencoba memeluk pinggangnya dari belakang.

"Hei, mau apa?!" Bhiru memekik kaget dan hampir saja tangannya akan menggampar orang yang tiba-tiba memeluk pinggangnya, tapi ia urung melakukannya. Dengan kedua tangan yang masih menggantung di udara, Bhiru melirik bingung pak Ranu yang kini berdiri tepat di belakangnya dan sedang melilitkan jas miliknya ke pinggang ramping Bhiru.

"Maksudnya apa ini, Pak?" Bhiru tak mengerti mengapa pak Ranu tiba-tiba menyergapnya dari belakang hanya untuk melilitkan jas miliknya di pinggang Bhiru.

"Kamu nggak sadar? Ada―maaf darah di rok kamu," jelasnya sontak membuat Bhiru panik dan kelimpungan. Bhiru tidak menyadari kalau hari ini tamu bulanannya tiba-tiba datang.

"Haduuuh?!" Bhiru sontak panik. Malu rasanya karena pak Ranu melihat darah haidnya yang tembus hingga ke rok warna kremnya dan malah menolong menutupinya dengan jasnya. Bhiru semakin tidak enak hati. Ingin rasanya ia menangis malu tapi justru akan semakin memalukan jika ia melakukannya.

"Cepat sana beli pesanan saya." pak Ranu mengingatkan. "Jangan lupa beli juga keperluan kamu," tambahnya sebelum kembali menuju ke mobilnya.

"Ba-baik, Pak!" Bhiru segera mendorong pintu masuk ke dalam minimarket.

Lima belas menit kemudian, setelah sempat meminjam toilet minimarket dan berbelanja pesanan pak Ranu, pembalut dan celana dalam khusus menstruasi karena Bhiru harus mengganti celana dalamnya, Bhiru kembali ke mobil dengan menenteng belanjaannya.

Membuka pintu mobilnya, Bhiru tidak langsung naik dan duduk. Ia malah memandang jok mobil yang rupanya juga telah ternoda oleh bercak darah haidnya. Bhiru lalu mengambil berhelai-helai tissue yang ia basahi dengan hand sanitzer, mencoba menghapus noda itu hingga bersih. Sementara pak Ranu meliriknya dengan mencibir.

"Maaf ya pak. Setelah sampai di kantor, saya akan bawa mobil bapak ke pencucian mobil," tutur Bhiru dengan menyesal. Meski pun ia berhasil menghapus noda darah di jok mobil pak Ranu, tetap saja Bhiru merasa joknya belum bersih benar dan pak Ranu pasti bakalan jijik karenanya.

"Pesanan saya mana?" pak Ranu mengabaikan kata-kata Bhiru.

"Ini Pak." Bhiru mengulurkan kantong plastik berisi air mineral dan permen pelega tenggorokan.

Tanpa berbicara, pak Ranu membuka botol kemasan air mineralnya lalu menenggaknya hingga separuh sebelum menjalankan mobilnya. Sedangkan Bhiru duduk menunduk dengan dengan bibir yang ia tutup rapat-rapat sambil terus menatap jas biru dongker pak Ranu yang melilit di pinggangnya.

Pak Ranu bibirnya memang suka kejam bin sadis saat berkata-kata dan tidak pernah ada ramah-ramahnya sama orang lain. Tapi tindakan pak Ranu hari ini di minimarket membuat Bhiru jadi merasa terharu. Ingin rasanya ia menyematkan sebuah kata sanjungan untuk bosnya itu. Namun Bhiru tersadar bahwa ia belum mengucapkan terima kasih atas pertolongan pak Ranu.

"Ngomong-omong, saya lupa belum berterima kasih untuk pertolongan, bapak," ucap Bhiru ketika mereka sampai di parkiran gedung kantor mereka.

Pak Ranu tidak menyahut, hanya memandang jasnya yang telah ia lilitkan di pinggang stafnya itu.

Sadar pak Ranu memandang ke arah pinggangnya, Bhiru buru-buru berkata, "soal jasnya, saya akan segera bawa ke binatu dan lusa akan saya kembalikan."

"Nggak perlu." Pak Ranu membalas dengan cepat. "Buang saja jasnya. Sudah kena najis."

"Hah?"

"Sebelum pulang kantor kamu bawa mobil saya ke pencucian." Pak Ranu melemparkan kunci mobil ke arah Bhiru yang menangkapnya dengan sigap.

"Baik, pak!"

Setelah pak Ranu pergi, Bhiru bersungut-sungut sambil bersandar di body mobil pak Ranu.

"Pak Ranu―pak Ranu, kenapa cuma jas aja yang dibuang? Mobilnya nggak sekalian aja dibuang? Bukannya udah kena najis juga? Aku akan dengan senang hati menerimanya, pak." Bhiru mengusap-usap mobil hitam pak Ranu sambil terkekeh geli.